52. Benih yang Bersemi

9.7K 666 70
                                    

Tuan muda mencium keningku, aku merasa tangannya membelai pipiku juga. Setelah aku terjatuh tadi, kurir bunga membawaku ke atas sofa. Bibi Ana sedang pergi, sehingga tukang kebun yang menelepon suamiku. Dia datang sambil tersenyum. Aku heran tuan muda tersenyum saat melihatku begitu lemah, padahal biasanya dia sangat panik. Dia menggendongku ke kamar dan membuatkanku susu hangat.

"Aku nggak enak badan, bunganya..." Aku mengeluh.

"Aku pikir ini sakit pertanda baik." Wajah tuan muda sangat cerah.

Aku mengerutkan kening. Melihat wajah tampannya lagi-lagi tersenyum dan menggenggam tanganku lembut. Oh, aku tersentak. Mungkinkah?

"Aku sudah membeli testpacknya." Kalimat tuan muda membuatku kaget.

"Kapan?"

"Hemm ... beberapa hari yang lalu."

"Zola, apa kamu mengingat tanggal aku datang bulan?"

Dia mengangguk, astaga, karena itu dia tidak mengizinkanku minum kopi lagi?

"Aku ingin mengenang masa lalu." Dia berbisik.

Aku tersentak, masa lalu? Tuan muda berbaring menyamping di sebelahku, memelukku dengan mesra.

Saat kehamilan pertama, tuan muda yang membeli test packnya. Tapi saat itu aku sangat hancur.

"Itu kenangan yang buruk, a--aku tak ingin mengingatnya." Aku mengeluh, bayangan masa lalu membuat tubuhku lemas, aku menyembunyikan diriku dalam dekapan tuan muda.

"Kenangan buruk? Bukankah saat itu aku lelaki pertama yang berada di samping kamu? Jadi ... aku merasa sangat bahagia, karena takdir kita seperti saling terkait."

Aku menatapnya. Tuan muda melanjutkan.

"Membuatku yakin kalau aku memang layak menjadi ayah dari Kela."

Air mata menggenang lagi di sudut mata, bagaimana bisa aku dipertemukan dengan pria ini? Seseorang yang membuatku melihat kehancuran di masa lalu menjadi sebuah kenangan yang menyenangkan.

Aku merapatkan kepalaku di dadanya, "Bagaimana kalau salah? Aku nggak mau kamu kecewa?"

Aku baru menyadari kalau aku sudah telat, tetapi melupakannya karena begitu banyak permasalahan yang terjadi.

"Ya, dicoba lagi, terus." Seulas senyum menawan muncul di wajahnya, penuh makna mendalam. Melihat senyum tuan muda saja sudah lebih dari cukup.

"Apa kita coba sekarang? Atau menunggu besok pagi?" Aku bertanya.

"Sekarang." Tuan muda menjawab cepat.

Aku jadi tertawa geli, sudah tidak sabar sekali rupanya. Aku mengulurkan tanganku, sekilas terasa tuan muda mengelusnya dan kemudian dia membantuku berdiri. Aku pergi ke kamar mandi membawa wadah dan menampungnya. Kemudian aku membawanya lagi keluar, melihat wajah tuan muda sangat gelisah membuatku tertawa geli, aku jadi melupakan kalau tadi terjatuh ke lantai. Tuan muda membeli bermacam test pack jumlahnya sampai sepuluh buah.

"Kamu membuang uang saja." Aku berkata. Tuan muda tidak peduli, dia membuka lima buah test pack. Berkata, seandainya garisnya sore ini tidak terlihat, kami akan mencoba lagi besok pagi.

Tuan muda memangku aku saat menyaksikan pelan-pelan muncul garis samar kedua di test pack-nya. Aku merasa tubuhnya begitu kaku, memelukku kuat seakan tak ingin aku terlepas. Tuan muda bahkan memahan nafasnya.

Kemudian dia menciumiku dengan mata berkaca, aku menertawai kehidupanku. Kehamilanku yang kedua ditemani lagi olehnya, kali ini sebagai suamiku, kali ini dinantikan dengan gembira. Bahkan lelaki yang seakan memiliki banyak kepribadian sejak pertama kami berjumpa itu sampai mau menangis.

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang