2 minggu kemudian,
"Emmeric!" Aku berkata lirih, nyaris tak ada tenaga. "Ini ulah Emmeric."
Sudah berhari-hari mencari Kela, tapi putriku itu bagai hilang ditelan bumi. Entah sudah berapa liter air mata yang tumpah setiap malam, berdoa agak anakku segera ditemukan. Reva membujukku walaupun wajahnya juga bengkak, dia merasa bersalah karena tadinya Kela berada dalam penjagaannya.
"Kak, tapi menurut detektif yang dikirim untuk mengawasi Emmeric, dia bahkan nyaris gila mencari Kela."
Tanganku mengepal, kemarahan dalam kelemahan. Masih teringat olehku akting Emmeric yang sangat hebat saat Kela tidak ditemukan. Dia mengamuk.
"Dia akan berbuat apa saja untuk mendapatkan Kela." Air mataku mengalir dengan sangat deras. Reva memapahku ke kamar, aku mendengar suara X menangis, putraku juga sudah terabaikan selama beberapa hari. "
"Kak, kakak harus tetap kuat. Jangan sampai kehilangan semangat." Reva masih membujukku sekalipun dia tahu itu akan sia-sia.
"Reva, tolong bawa X ke sini." Aku berbaring di atas tempat tidur. Reva mengangguk.
"Mamaaa ..." Panggilan manja X saat dia memelukku. Tangisnya berubah jadi tawa saat aku menciumi pipinya yang bulat. Aku berusaha tersenyum, agar X tidak mengetahui kesedihan yang menyelimuti rumah ini. Namun, X juga merasakan. Dia kerap mencari-cari Kela yang selalu bermain dengannya.
"Kak, ada telepon dari Kak Zola." Reva meraih ponselku yang berdering.
Aku tersentak dan segera terbangun lagi, begitu mendengar informasi dari Zola. Aku segera beranjak dari tempat tidur.
"Reva, kamu jaga X. Jaga dengan baik. Jangan biarkan siapapun masuk ke dalam rumah, jangan biarkan dia lepas sedikitpun dari pantauanmu." Hidup kami diselimuti kengerian, entah sampai kapan.
Reva mengangguk. Aku bersiap-siap karena tuan muda akan datang menjemputku, dia telah mendapat kabar mengenai keberadaan Kela di perbatasan. Ada saksi mata yang melihat ciri-cirinya. Tanganku gemetaran, berdoa kalau putriku tidak akan kekurangan sesuatu apapun. Tak sabar aku menunggu suamiku datang menjemput. Waktu terasa bagai mati.
"Selma." Zola telah sampai dan keluar dari mobil kemudian membuka pintu untukku.
"Zola, bagaimana?" Suaraku bahkan terasa gemetar.
Dengan segera suamiku mencengkram kedua bahuku, dia menatap mataku kemudian berkata. "Apapun yang terjadi, kamu harus siap. Seburuk apapun itu."
Bagai tersambar halilintar aku mendengar kata-katanya, kakiku sangat lemas seketika dia menopang tubuhku.
"Kalau kamu tidak kuat kamu tidak boleh ikut." Dia berkata dengan sangat tegas dan serius. Aku tak lagi bisa memperhatikan tuan muda karena mataku berkabut.
"Nggak, aku harus tau." Aku menguatkan diriku. A-aku tidak bisa diam saja menunggu di rumah seperti orang bodoh.
Tuan muda melajukan mobil dengan kencang, sepanjang perjalanan aku gemetaran. Meremas bajuku sendiri sampai kusut. Beberapa hari kami tidak mendengar kabar tentang Kela, dan Zola memintaku untuk tetap tenang atas apapun yang terjadi. Bisakah aku tetap waras? Apa yang terjadi?
Perjalanan memakan waktu satu jam ke arah barat, langit mulai gelap. Aku menghentak-hentakan kaki tak sabaran.
"Tenanglah." Zola terus menenangkanku, tapi aku tahu dia sendiri merasakan keresahan yang amat sangat, itu terlihat dari urat-uratnya yang menegang.
Samar di jalan yang remang, aku melihat kerumunan petugas berseragam dengan garis polisi. Seketika jantungku seakan berhenti tatkala mataku mulai menangkap sebuah mobil terbalik dengan kondisi hangus terbakar.
"T-tidak." Aku dengan cepat melepas seatbelt, aku merasa angin berputar di sekitarku. Berharap apa yang aku pikirkan tidak terjadi. Aku berlari dengan cepat menuju, tapi seketika langkahku terhenti. Tuan muda dengan sigap menahan tubuhku. Aku meronta kuat.
Beberapa petugas polisi dengan wajah prihatin mendatangi kami.
"Kami turut berduka." Ucapan itu membuatku hancur sampai ke tulang-tulang. Dan aku sadari suaraku berubah menjadi lolongan.
****
Aku bertahan untuk tetap sadar dan waras, saat mengetahui Kela telah pergi untuk selamanya. Bahkan jasadnya tak lagi bisa diindentifikasi karena hangus terbakar. Polisi berkata mereka akan berusaha mengindetifikasi DNA, karena tubuh yang rusak. Hatiku terasa sangat perih, dan seakan jiwaku melayang satu persatu. Aku terus menangis dan meratap. Berharap jenazah yang terbakar dan membujur kaku bukanlah anakku.
Beginikah akhirnya? Aku duduk mematung di bangku rumah sakit, sekelilingku ramai berlalu lalang tetapi aku tidak bisa memikirkan apapun. Suamiku menangis dalam diam, namun dia mengurusi segala sesuatunya. Aku berkali-kali menggigit tanganku berharap ini hanya mimpi dan aku segera terbangun.
Samar aku mendengar suara langkah kaki, kemudian seseorang mencengkram bahuku dengan keras.
"Katakan kalau itu tidak benar!" Emmeric menguncang-guncang tubuhku. Tampaknya dia datang segera setelah mendapat informasi terjadi kecelakaan di jalan menuju perbatasan dengan luar kota.
"Emmeric, hentikan!" Aku mendengar suara Zola. Seketika Emmeric melepas cengkramannya.
"Ti-tidak mungkin." Emmeric berkata bagai kehabisan nafas. Bagai mayat hidup aku berdiri dan menyerangnya.
"Kembalikan anakku! Kembalikan anakku, kembalikan Kela!" Aku berteriak histeris sambil terus banjir air mata. Tuan muda menahan tubuhku yang meronta dan beberapa perawat juga polisi mendekat.
"K-kamu menuduhku?" Emmeric bagai orang linglung menatapku tak percaya. "Kamu menuduhku? Apa kamu sudah gila, Selma?"
"Siapa lagi, siapa lagi kalau bukan kamu. Kamu bajingan, brengsek!" Aku menjerit-jerit.
"Emmeric, pergilah." Tuan muda berkata.
"Tidak! Aku tak akan meninggalkan tempat ini, jangan bicara seolah kamu yang paling benar, Selma." Emmeric berkata marah. "Kalau kamu membiarkan Kela bersamaku, ini semua tidak akan terjadi."
Aku menangis lagi dengan keras.
"Kalian terlalu sibuk mengurusi anak kalian, membuat anakku mengalami---" Belum sempat Emmeric menyelesaikan ucapannya, satu tinju dari suamiku melayang ke wajah pria itu.
"Sebaiknya hentikan." Suara suamiku yang selalu tenang terdengar bergetar.
Emmeric tersungkur di lantai, tapi dia lalu meratap di sana dengan pedih. Aku masih menuduhnya berpura-pura. Seandainya ini semua karena Emmeric, kali ini aku akan membunuhnya, tak peduli apapun.
Zola memanggil Hu, menyuruhnya mengantarku kembali ke rumah. Tapi aku menolak keras, berjanji aku akan tenang walau aku tak yakin bisa melakukannya atau tidak. Aku tak sanggup pulang.
Hatiku semakin hancur saat mengetahui, kalau satu jenazah di dalam mobil telah dapat diidentifikasi melalui sidik jari, itu adalah baby sitter Kela yang ikut menghilang saat pesta. Dikatakan kalau ada dua orang dewasa dan satu anak kecil di dalam mobil, jenazah selain baby sitter belum dapat di identifikasi, di duga Kela dan yang satunya, pria dewasa yang tidak dikenali.
Kata-kata Emmeric terngiang dalam kepalaku, seandainya kami tidak terlalu fokus pada X. Apakah Kela masih ada? Ataukah target sebenarnya adalah Kela. Kalau bukan Emmeric, siapa pelakunya? Kalau Nyonya Besar apa kepentingan beliau? Apa mungkin penculikan untuk tebusan? Aku mungkin berharap Emmeric pelakunya karena dengan begitu aku yakin Kela akan baik-baik saja. Tapi kenapa semua jadi begini?
Ya Tuhan ... Kenapa tidak kau ambil saja nyawaku? Aku begitu nelangsa, bahkan tersayat sembilu belum ada apa-apanya. Air mataku mengalir makin deras, tak pernah kurasakan kepedihan begini rupa dalam hidupku. Bahkan, di saat aku merasa paling menderita dulu.
Malam terasa panjang, dan udara dingin menusuk tulang, tapi aku bahkan tak bisa bergerak dari posisi dudukku yang membeku sejak tadi. Hati siapa yang tak pecah berserakan kala belahan jiwanya pergi dan tak kembali lagi. Berkali-kali bertanya kenapa ini terjadi? Di dunia ini, apakah aku tidak boleh bahagia?
****
08/05/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Wounded Heart (END)
RomanceHR #1 in Romance Kekasih dan cinta pertamaku, Emmeric dengan teganya memintaku menjadi istri kedua karena dia akan menikahi wanita pilihan orang tuanya. Setelah menolak keras, Emmeric menjebakku dan menghancurkan masa depanku, setelahnya kehidupanku...
