Masa lalu biarlah menjadi kenangan, sekalipun itu terus membayangi masa depan. Matahari bersinar hangat di rumah keluargaku. Vonis terhadap Nyonya Besar telah dijatuhkan, hanya tujuh tahun penjara. Aku berpikir nantinya beliau akan mendapat remisi dan lain-lain. Dalam waktu lima tahun Nyonya Besar akan keluar. Nyonya Besar dan pengacaranya bersiap banding. Tetapi takdir berkata lain. Dalam perkelahian antar tahanan di dalam sel, Nyonya Besar tanpa sengaja terbunuh. Tetapi kabar mengatakan kalau Nyonya Besar telah dibunuh oleh musuhnya yang lain.
Suasana berkabung kembali melingkari keluarga Hadikusumo, suamiku berkata dengan sangat dingin sampai menembus tulangku, kalau itu adalah pembalasan untuknya. Tak ada rasa berduka sedikitpun di wajahnya. Suamiku kembali ke masa saat menjadi tuan muda bertopeng. Dengan aura membunuh dan kemarahan. Aku takut dia berselimut kebencian. Apa kematian Nyonya Besar ada hubungannya dengan? Aku menggelengkan kepala, suamiku bukan seorang pembunuh.
"Zola." Aku semakin khawatir, tuan muda tak menyentuh masakanku sedikitpun. Setelah kembali bekerja, dia mandi dan berbaring. Aku merasa sangat sedih.
"Ya?" Bahkan dia menjawab tanpa menoleh.
"Kamu nggak makan?" Aku bertanya.
"Tidak lapar."
Aku diam,
"Zola, kamu udah dua hari tidak makan di rumah." Aku berkata lagi, wajah suamiku begitu tegang."Aku lelah dan ingin tidur."
Aku mendekati dan duduk di sampingnya, "Sayang. Apa ada masalah?"
Tuan muda menoleh ke arahku, tapi dia tak tersenyum. Dia tidak lagi pergi ke psikiater, tetapi kenapa aku merasa dia sangat dingin. "Apa harus ada masalah di dalam hidup ini?"
Entah kenapa aku sangat tersinggung mendengar ucapannya, rasanya seperti menusuk hati. Kata-kata tuan muda sangat datar dan terasa dingin. Padahal aku sedang berjuang untuk kedamaian, tapi kenapa dia bersikap seperti itu. "K-kamu nggak mau makan masakanku lagi." Mataku berkaca.
"Selma sudah aku katakan aku nggak lapar." Tuan muda bahkan menyebut namaku saja, tidak memanggil sayang.
"Kenapa kamu membentakku?" Aku seketika menangis.
Tuan muda menatap dengan bingung, "Selma, aku tidak membentak kamu?"
"Aku tidur di kamar tamu." Dengan sedih aku beranjak dari tempat tidur. Tuan muda menarikku cepat.
"Aku tidak membentak, sungguh." Dia memelukku erat. Tapi itu malah membuatku menangis kencang, seperti semua kegelisahanku tumpah. Suamiku sangat bingung. Aku berkata kalau dia sudah mengabaikanku dan bersikap dingin. Juga marah atas sikapnya yang datar tanpa kehangatan. Aku berkata kalau dia berubah. Aku bahkan memukulinya, tak peduli kalau tuan muda juga tengah dilanda masalah terkait ayahnya. Aku hanya ingin marah dan berteriak.
Tuan muda mencengkram kedua tanganku, berkata berkali-kali kalau dia tidak berubah dan jangan terlalu sensitif. Tapi aku masih menangis.
🌿
Aku terbangun dengan mata berat, tercium aroma bubur yang menggugah selera. Aku tersadar kalau tadi malam aku belum makan. Aku melihat suamiku duduk di sampingku.
"Zola, apa kamu nggak pergi bekerja? X mana?" Aku lalu tersadar akan semua perilakuku tadi malam dan menjadi malu karenanya. Apa suamiku tidak berangkat kerja karena aku?
Suamiku mengusap rambutku dia tersenyum, meminta agar aku makan dan beristirahat lagi kalau aku lelah.
"Zola, maaf. Tadi malam aku ---"
Dia menggeleng. "Apa kamu PMS?" Dia tertawa geli.
Seketika aku tersadar akan sesuatu. "A-aku...."
"Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wounded Heart (END)
RomansaHR #1 in Romance Kekasih dan cinta pertamaku, Emmeric dengan teganya memintaku menjadi istri kedua karena dia akan menikahi wanita pilihan orang tuanya. Setelah menolak keras, Emmeric menjebakku dan menghancurkan masa depanku, setelahnya kehidupanku...