10. Misteri

10.9K 848 19
                                    

Sebulan berada di villa tuan muda tanpa terasa. Bulek di rumah desa menelpon dan mencemaskan kami, tapi begitu menyebutkan Villa Hadikusumo, bulek tak lagi banyak bertanya, hanya berpesan supaya menjaga diri dengan baik.

Terdengar suara perkelahian dari dalam kantor tuan muda, aku segera menyuruh Reva membawa Kela ke kamar. Seingatku hanya dua orang pria berjas hitam yang masuk ke sana untuk menemui tuan muda, mereka keluar dengan pakaian robek dan bibir robek. Aku bergidik, teringat pada ucapan kakak kedua tuan muda, Melly. Bahwa pria itu tak segan membunuh orang.

Dalam hati aku berpikir seandainya kemampuan tuan muda Zola dipergunakan untuk melindungi kami, aku mungkin sangat senang. Aku bisa memberikan pelayanan terbaik untuknya, maksudku bukan pelayanan di atas ranjang tapi mengurus dan merawat dengan baik. Selama hidupku jatuh cinta pada seorang pria, kemudian merasa hancur, aku sudah tak bernapsu menjalin hubungan lagi. Tuan muda keluar dari ruang kerjanyanya, topeng masih melekat dan bajunya rapi tanpa terlihat habis menghajar dua orang. Dia melihatku, maksudnya topeng bagian depan menghadap ke arahku.

Tuan muda tinggi dan bertubuh proporsional, sebagai wanita yang memiliki tubuh ramping sedikit tinggi, aku dulu selalu bersembunyi dalam pelukan Emmeric selama enam tahun, merasa senang karenanya. Tuan muda naik tangga dan menghilang, kami tidak pernah naik ke lantai dua. Itu akses terlarang kecuali diberi perintah. Pelayan saja punya jadwal rutin untuk dapat ke sana, mengantar makanan dan apabila dipanggil oleh tuan muda dengan bel.

Aku pergi ke ruang kerja dan melihat gelas kaca pecah, buku-buku berantakan, juga kursi yang terbalik. Aku membereskan ruang kerja itu.

"Apa yang kamu lakukan?" Seketika suara yang dalam membuat udara di sekitarku berhenti mengalir, detak jantungku tak beraturan.

Kenapa dia cepat sekali kembali?

"Membereskan." Aku menjawab setelah berpikir beberapa saat.

"Begitu." Suara tuan muda terdengar dingin dan membuat tulang-tulangku seperti membeku di kutub. Tuan muda berjalan melewatiku, mencium aroma kayu dari tubuhnya membuat perasaanku nyaman. Sekalipun dia dingin, aku pikir hanya karena jarang bersosialisasi dengan manusia.

Tuan muda diam mengawasiku membersihkan ruang kerjanya, hanya yang ringan-ringan saja karena pelayan wanita marah kalau melihat aku ataupun Reva banyak bekerja, dia bilang kami tamu di rumah itu. Reva tentu saja gembira, sepanjang tahun dia akan bermalas-malasan seperti beruang di masa hibernasi sekarang.

Aku pergi keluar dan membuatkan tuan muda secangkir teh. Setelah meletakkan di meja, aku perhatikan sarung tangan tuan muda bewarna putih dan ada sedikit bercak merah di tangannya. Dia habis memukuli orang-orang tadi? Tanpa sadar aku menyentuh tangannya.

Tuan muda seketika menarik tangannya dan berdiri gusar dari kursinya,

"Sarung tangannya kotor." Aku berkata. Aku mengangkat wajahku dan melihat ke arahnya. Jantungku seperti menciut melihat penolakan.

Tuan muda tanpa bicara pergi meninggalkan aku, selama sebulan jarang sekali saling berbicara, bahkan membiarkan teh menjadi dingin. Tidak mengerti kenapa tuan muda menahan kami di sini. Aku memutuskan untuk pergi keluar dan memotong beberapa mawar di taman untuk menghias ruangan kerjanya.

Mengambil beberapa mawar bewarna merah, putih juga pink. Aku kembali ke ruang kerja tuan muda.

"Nona." Pelayan wanita memanggilku, sekalipun telah melahirkan seorang anak, pelayan itu tetap memanggilku nona. Memang tidak salah, aku belum pernah menikah.

"Ya bu?" sahutku.

"Sebaiknya tidak usah repot merapikan ruangan ini. Ruangan ini akan segera hancur lagi dalam sekejap." Dia menjelaskan.

Aku mengerutkan kening. "Kenapa tuan muda selalu bersikap kasar pada orang yang datang mencarinya?"

"Mereka sepertinya suruhan istri pertama ayah tuan Zola, tidak tau apa yang diperbincangkan karena selalu babak belur pada akhirnya."

"Tuan muda cukup hebat mampu menghajar dua orang sekaligus."

Pelayan wanita mendekatiku dan berbisik, "Tuan muda pernah membunuh seseorang."

Aku menatapnya dengan mata membulat, membunuh orang?

"Waktu umur tujuh belas tahun. Tuan muda pergi ke rumah keluarga besar, dia mencekik seseorang hingga tewas dan menenggelamkannya di kolam renang."

Seketika es kutub menyapu wajahku, di balik topeng yang menyeramkan apa bersemayan sosok yang menyeramkan juga?

Pelayan wanita melanjutkan, "Di rumah keluarga besar banyak misteri tersimpan, tuan muda tidak suka tiap berada--"

"Bu!" Suami pelayan wanita muncul di belakang kami. Dia menegur istrinya yang membicarakan orang yang memberi mereka makan. Pelayan wanita tidak suka bergosip, tapi denganku dan Reva paling suka membicarakan tuan muda. Aku rasa pelayan wanita juga kesepian berada di villa ini.

Aku dan pelayan wanita meninggalkan ruang kerja tuan muda. Dia mengomeli suaminya karena sedikit dibentak tadi. Aku pergi ke kamar untuk melihat Kela, dia tidur dengan sangat lelap. Sedang Reva, memanfaatkan kondisi Kela yang pulas untuk maskeran.

"Kak. Kakak berencana kabur tidak?"

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, adikku melanjutkan,
"Sekalipun di sini diperlakukan dengan baik, membosankan seperti terpenjara."

Aku juga berpikir demikian, rumah kami bersama ayah selama tujuh bulan telah ditinggalkan. Sekarang meninggalkan rumah di desa. Akhirnya setelah cukup berpikir, aku rasa memang kami harus meninggalkan villa tuan muda. Sekiranya mau pergi meninggalkannya, setidaknya memiliki tata cara. Datang dengan baik pergi juga dengan baik.

"Besok kakak akan minta izin pada tuan muda."

"Kak, apa kakak masih memikirkan Emmeric?"

Aku menatap Reva dengan pandangan terkejut, selama beberapa bulan terakhir dia sendiri tak mau menyebutkan nama itu. Dibilang tidak punya perasaan lagi juga salah, sekilas aku memikirkannya saat melihat Kela. Membuatku ingin menangis, seandainya kami menikah dengan baik dan dia tidak memilih harta, mungkin saat ini kami semua berbahagia tentu dengan ayahku juga.

"Memikirkannya, mungkin saja." Helaan nafasku begitu panjang saat mengucap kalimat itu.

"Sebaiknya benci lelaki brengsek itu, baru-baru ini istrinya yang jahat telah mengumumkan kalau dia sedang hamil."

Dalam hatiku selintas terpecut oleh rotan, Emmeric berkata tidak akan pernah menyentuh istri pertamanya. Hanya aku cinta dalam hidupnya sampai dia mati. Ucapan seorang pria seperti Emmeric dulu selalu aku percaya, bagaimana orang dapat berubah dengan begitu cepat?

Aku pergi membawa Kela keluar, dia sangat gendut dan rakus. Melihatnya begitu bersemangat, mirip dengan adikku membuatku sangat terhibur. Aku tertawa dan bermain dengan Reva dan Kela di ruang duduk.

Tuan muda menatap dari atas, melihat, tapi tidak turun hanya mengawasi saja.

"Kak, sebaiknya aku memanggil tuan muda bermain dengan kita?" Reva melambaikan tangan, seketika tuan muda berbalik dan pergi.

"Sangat sulit." Reva mengeluh. "Kak, kenapa kita memanggil tuan muda dengan sebutan tuan muda? Apa menurutmu itu tidak terlalu kaku?"

"Mungkin saja."

"Lebih bagus kita memanggilnya, Kak Zola. Kata kakak yang kemarin dia sebentar lagi berusia yang ke - 27, umurnya bahkan tidak jauh darimu."

"Nanti saja, kita lihat situasi dulu."

Reva mengangguk-angguk setuju, "Kak, apa menurut kakak. Sekarang kita bahagia?"

"Tentu saja," ucapku sambil tersenyum. "Kakak memiliki kamu, juga Kela. Sekarang hidup tanpa gangguan dan bernafas dengan bebas. Kamu bagaimana?"

"Samaa!!" Reva memelukku. Aku tertawa.

Keesokan paginya aku pergi mengecek ruang kerja tuan muda, bunga mawar-mawar yang aku susun di dalam vas semuanya berada di tong sampah. Diam-diam hatiku  merasa kecewa.

☘️

20/03/20

Rencananya aku mau membuat cerita ini panjang dan mendetail, kalau bisa sih 😅. Maaf kalau membosankan.

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang