59. Pusaran Takdir

2.8K 442 36
                                    

"Papaku cukup licik bukan?" Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh tuan muda. "Tak peduli itu istrinya, anaknya bahkan cucunya, selagi itu untuk keinginan dia, semua dilakukan."

Aku mengusap-usap bahu tuan muda, terasa sekali tubuhnya menegang kaku.

"Dia tak akan berhenti sebelum mati, bahkan setengah mati saja dia masih sempat merencanakan ini. Oh ... rasanya tak percaya dia sungguh koma."

Aku biarkan suamiku berkeluh kesah, seperti apa kerasnya kehidupan yang dia lalui, dia pasti memiliki kecemasan apalagi menyangkut anak-anaknya. Aku tadinya juga begitu, tuan besar pura-pura tak sadarkan diri. Tetapi ... mengingat bagaimana Tuan Besar telah memanggil pengacara untuk menunjuk pewarisnya, aku merasa dia sungguh sakit.

Strategi tuan besar sangat tepat, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, itulah istilahnya. Aku bukannya tidak paham rencana itu, tuan besar ingin suamiku yang melanjutkan bisnisnya. Hanya saja dengan sifat dan kemarahan Zola padanya selama ini, tuan besar tahu kalau Zola akan menolak.

Seandainya dia menunjuk Zola, maka dengan serta merta Zola akan menolak tegas. Tidak peduli apapun. Tetapi tuan besar memilih X, bayi yang bahkan baru lewat dua tahun usianya untuk duduk di singgasana Keluarga Hadikusumo. Tidak bisa menolak, karena itu adalah hak X. Setelah dewasa X baru bisa memutuskan. Hanya sampai dia dewasa, tuan muda lah yang akan mengurusi segala sesuatunya.

Dengan begitu, semua berjalan sesuai keinginan tuan besar. Membuat kami tinggal di sisinya, tak peduli bahaya mengancam.

Hari itu juga kami memutuskan untuk meninggalkan rumah utama keluarga Hadikusumo, sekalipun dalam wasiat tuan besar, rumah menjadi milikku, aku tetap memandang Nyonya Besar. Bagaimana bisa beliau tidak dianggap sama sekali? Tuan besar hanya memesankan dalam wasiatnya agar memberi sejumlah nominal perbulan pada istrinya itu.

Sebagai seorang perempuan diperlakukan begitu oleh suami, rasanya aku bisa merasakan sakit hati Nyonya Besar. Karena itu aku tak mau berlama-lama membiarkan keluargaku terbakar api amarah.

X dan Kela berlarian ke sana kemari saat kami bermaksud untuk pindah, Melly menangis mengetahui kami akan pindah, karena sudah menyayangi X. Siapa yang tidak jatuh cinta pada anak kecil pastilah hatinya terbuat dari batu.

Mendadak X berhenti berlari, dia muntah sambil berdiri. Aku seketika berteriak histeris. Tuan muda segera mengangkat X dan membaringkannya. Sekalipun wajahnya pucat bagai mayat dia sangat tenang, berbeda denganku yang seketika menangis histeris melihat X lemas. Tuan muda menyuruhku mengambil susu dan meminumkan pada X. Dia muntah lagi, dengan cepat Tuan muda menggendong X. Aku meminta pelayan wanita membawa Kela, aku berharap Kela tidak ikut shock. Kami bergegas pergi ke rumah sakit.

Aku melihat wajah tuan muda yang semakin menyeramkan, dingin dan gelap. Beliau memandang X dari kaca pembatas ruangan di rumah sakit yang memisahkan kami dan X. Tangannya mengepal begitu keras, untuk pertama kalinya dalam kehidupan ini aku tak mampu menenangkannya. Karena aku juga sangat gemetaran, ternyata bahaya mengancam jiwaku selama ini belum ada apa-apanya ketimbang seandainya itu terjadi pada anak-anak.

Dan Kela, yang biasanya bisa membantu kami menenangkan diri dengan tingkah menggemaskan, tidak boleh masuk ke dalam rumah sakit.

Ketika akhirnya dokter keluar dan berkata kalau X tidak apa-apa, barulah akhirnya aku berdiri dan ketegangan tuan muda mencair, saat itu aku segera memeluknya. Tuan muda balas memelukku dan mencium keningku. X dibawa ke kamar perawatan.

Aku dan tuan muda bergantian melihat Kela dan menunggu X di kamar perawatan. Wajah X sudah terlihat lebih baik dibanding tadi, dia juga sudah aktif kembali. Aku berkali-kali mengucap syukur. Kata dokter X keracunan makanan, aku sampai kaget, apa mungkin ada kejadian begitu?

Ucapan dokter seketika membuatku menatap tuan muda, matanya yang kelam semakin kelam. Ekpresinya kembali mengerikan, bagai badai salju.

Ketika dia pergi setelah melihat Kela wajahnya berubah menjadi lembut lagi. Tuan muda pria penyayang, semarah apapun dia di hadapan anak-anaknya bisa menahan emosi. 

Aku sangat bersyukur. Aku sebaiknya nanti memeriksa susu atau bubur X, mungkin ada yang kemasannya bermasalah.

***

Pelayan wanita mengunjungi kami sehari setelah X keluar dari rumah sakit, tuan besar belum ada tanda-tanda akan siuman. Sedang, perusahaan masih di tangan Elysa begitupun rumah utama belum ada tanda-tanda Nyonya besar akan meninggalkannya. Dapat dipastikan mereka tidak akan mundur begitu saja, pastilah akan menggunakan berbagai cara. Pertikaian antar anak-anak keluarga Hadikusumo saat tuan besar koma, akhirnya terendus media. Mereka mulai mengerubung, mencari apapun yang bisa menjadi berita.

"Selma." Pelayan wanita berkata sambil berbisik.

"Kenapa ibu bisik-bisik?" Aku menatapnya heran.

"Kamu tau, saat X di rumah sakit. Tuan muda dan orang kepercayaannya menyiksa seluruh pelayan di rumah utama."

Aku terkejut mendengarnya, "Kenapa?"  Orang kepercayaan yang dimaksud pastilah Hu, tak ada yang mengetahui namanya kecuali kami.

"Bahkan ada yang sampai muntah darah dan dilarikan ke rumah sakit, huh! Tidak heran, di rumah utama semua pelayan sudah disuap oleh Nyonya besar."

Aku tidak mengerti arah pembicaraan itu, "tapi ... Aku nggak ngerti bu, kenapa bisa begitu?"

"Astaga, kamu ini polos atau bagaimana Selma?" Pelayan wanita memarahiku, memang aku dan dia sudah sangat dekat. Dia tidak sungkan padaku. "Bapak bilang, salah satu pelayan mengaku memasukkan makanan kadaluarsa di bubur X."

Aku tercengang. Suamiku tidak bicara apapun, bahkan saat aku berkata akan memeriksa makanan X, bisa jadi ada kemasannya terbuka dan terkontaminasi, tuan muda hanya mengangguk.

"Tuan Zola sangat murka, Selma, aku rasa Nyonya Besar sudah salah langkah kali ini. Kamu seperti tidak mengetahui bagaimana suamimu saja."

Sekalipun aku tahu betapa culasnya Nyonya Besar, aku sama sekali tak berpikir dia akan tega mencelakai seorang anak tak berdosa. Seketika aku gemetaran, apakah keputusanku untuk kembali ke sini salah?

"Mama." Kela datang dengan pengasuh yang sudah kami pekerjakan beberapa hari. Mereka baru saja berjalan-jalan di taman. Lingkungan rumah kami memang sangat aman, lagipula ada beberapa security yang menjaga.

"Sayang." Aku membelai rambut Kela.

"Kakak tadi makan eskrim dua, mama nggak marah sama kakak?" Dia berkata manja. Kela mulai memanggil dirinya dengan sebutan kakak akhir-akhir ini.

"Lho? Emang kakak ada uang?" Aku tertawa, biasanya baby sitter akan memberitahu kalau Kela ingin sesuatu.

"Dibeliin sama Daddy Emmelic. Daddy Emmelic baiiik banget."

Aku bagai tersambar petir, aku melupakan pria itu.

🌿🌿🌿

Heloo, aku belum tau kapan tamatnya cerita ini. Tapi, udah dapat idenya sampai tamat 😆 Kalian bosan nggak sih, sampe sepanjang ini partnya?

Kalo banyak yang vote dan komen aku double up hehe ... 😗

31/10/20

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang