Auckland, New Zealand
Dua setengah tahun kemudian,
Tuan muda terlihat tampan, dia sekarang selalu tersenyum. Bercengkrama dengan anak-anaknya. Kela dan X, siapa yang menyangka waktu begitu cepat waktu berlalu. Dua tahun sudah sejak kami meninggalkan tanah kelahiran. Di negara orang, dari dulu tak pernah terlintas akan pergi, terutama aku dan adikku tidak bisa makan masakan asing.
Tuan muda menggendong X, dia bicara dengan cadel. Wajahnya mirip aku, kata tuan muda. Menurutku dia punya mata hitam yang indah seperti tuan muda. Adikku Reva berkuliah di sini, dan Hu. Entahlah hubungan mereka tampak misterius. Sejak Hu pergi membawa Reva dan Kela dulu, seperti hubungan mereka manis tapi dengan cara yang aneh.
Hu dan Reva tidak banyak mengobrol, tapi seolah mengetahui apa yang dipikirkan. Aku menjadi pusing, umur mereka terpaut sepuluh tahun. Dalam hatiku berharap, Reva menemukan pemuda sebayanya. Tapi, seandainya Hu juga menyukai Reva, kasihan sekali. Aku mendengar beberapa kisah tentang Hu dari tuan muda. Pria itu telah mengalami banyak masa sulit.
"Sayang, kamu melamun apa? Anakmu ngompol."
Aku tertawa dan bangkit melihat tuan muda dan X, pemandangan ini beberapa kali terjadi. Tuan muda yang gagah, tampan dan rupawan, terkena pipis anaknya sendiri. X tertawa senang, dia memeluk leher tuan muda. Memang X sedang tidak memakai pampers.
Saat aku mau mengambil X, tuan muda menggeleng. Dia mengganti sendiri popok X. Aku memandangi tuan muda yang bercengkrama dengan X. Kemudian terlihat Kela berlari.
"Papa!!!" Dia berteriak masuk ke dalam ruangan. Kela menunjukkan boneka yang baru saja diberikan oleh Reva.
Masih dengan sebelah tangan memegang pampers, tuan muda mengangkat tubuh Kela dengan sebelah tangannya yang lain. Mencium pipinya.
"Adek, jangan susahin papa." Begitu Kela berkata pada adiknya yang terpaut dua tahun.
"Mana mungkin papa disusahin sama anak papa yang ganteng dan cantik." Tuan muda berkata sangat lembut, Kela tertawa riang. Memamerkan bonekanya.
"Kela, sini sayang." Aku memanggil Kela, dia pun berlari mendekatiku. Dua setengah tahun berlalu, tuan muda tak pernah mengungkit peristiwa yang menimpa neneknya. Tuan muda bahkan tak mau berbicara dengan tuan besar. Aku tau di dalam hatinya tersimpan kepahitan yang luar biasa. Beberapa kali tuan besar mencoba menghubungi aku dan murka, karena kami memutuskan untuk pergi.
Ketika tuan besar berhasil menemukan kami dan datang, tuan muda juga tak mau menemui beliau. Tuan besar memarahiku karena tak mampu membujuk tuan muda, dia bahkan pernah mengatai aku istri tak berguna. Walau kemudian dia segera minta maaf, mengatakan itu karena dibutakan oleh emosi. Aku tidak menceritakan pada suamiku, bagaimanapun dia telah merasakan kesakitan yang besar terhadap ayahnya. Beginilah sulitnya menjadi menantu, terkadang, aku dianggap menghasut suamiku. Padahal, aku selalu membujuk tuan muda untuk menyelesaikan masalah keluarganya.
Tuan muda bilang andai dia bertemu ayahnya, takut dia akan kalap dan membunuh. Tuan muda di hadapanku tak ingin berubah menjadi monster. Dia orang yang memiliki kepribadian berbeda, dingin. Tetapi dia berubah menjadi hangat terhadap keluarganya, aku bahagia mengetahui kalau tuan muda berusaha keras memberikan yang terbaik untuk kami.
Siang hari di negara orang, kami sekeluarga berjalan-jalan membeli perlengkapan rumah ke supermarket. Setelah memiliki dua anak, keluarga kami sangat sibuk. Tak ada waktu memikirkan hal tak berguna, bahkan tuan muda tidak peduli keadaan perusahaan. Aku rasa, saat ini, Elysa segera menancapkan kuku dalam di bisnis keluarga Hadikusumo. Dia begitu kegirangan mengetahui kami pergi begitu saja.
Terkadang saat melihat suamiku, aku merasa bahagia berkali lipat. Dia bahkan bilang harta tak dibawa mati, kekayaan istrinya cukup menghidupi tujuh turunan. Padahal kekayaan yang aku miliki adalah pemberian tuan muda. Di dalam kehidupanku ini, menemukan lelaki seperti dia sungguh tak terungkapkan oleh kata-kata. Aku tak pernah bosan berkata demikian.
🍁🍁🍁
Aku sedang merajut sarung tangan di beranda saat Reva datang dan membawa kue. X sedang tidur, dan Kela bermain di bawah kakiku.
"Kak." Reva duduk dan bertampang diam.
"Kenapa?"
"Kakak, apa mencintai Kak Zola?" Reva mendesah gelisah. Seketika aku tertawa.
"Tentu saja."
"Maksudnya, dulu kakak mencintai Emmeric. Kemudian kakak menikah dengan Kak Zola. Apa ...." Reva menarik nafas, "Kenapa bisa begitu?"
Aku meletakkan rajutanku ke atas meja, menghirup aroma teh dan meneguk sedikit.
"Saat bersama Emmeric, kakak merasa bahagia. Dia pria yang romantis. Tetapi, terkadang rencana tidak semudah yang kita inginkan. Ketika Emmeric meminta kakak melanggar prinsip dalam kehidupan, mana mungkin bisa menurutinya."
Aku mengangkat Kela ke pangkuanku, bahkan wajahnya jadi mirip tuan muda. Aku melanjutkan. "Saat Emmeric melakukan perbuatan yang menyakitkan, bagai musim dingin menyelemuti, berkali-kali kakak bertanya kenapa bisa terjadi seperti itu. Dan saat Zola datang, musim dingin berganti musim panas. Karena kita tinggal di negara tropis, mungkin kakak lebih memilih musim panas. Bukan begitu?"
"Kakak malah bercanda." Reva merengut. Aku tertawa lagi.
"Tuhan memberi apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Pepatah itu kakak alami sendiri."
"Gimana bisa tau saat hati kakak mulai mencintai Kak Zola?"
"Begitu banyak hal. Di saat kakak selalu ingin bersamanya, saat kakak memilih lebih baik kakak yang terluka dibandingkan dia, saat kakak merasakan tempat paling aman dan nyaman saat berada di pelukannya ...." Mataku menerawang.
"Luar biasa." Reva bertepuk tangan.
"Apanya?"
"Kakak bisa menjawab kenapa kakak mencintai Kak Zola."
"Tentu saja."
"Aku ... Kalau aku ditanya kenapa aku mencintai Hu, aku nggak bisa jawab."
Aku terkejut. "Dek, kamu mencintai Hu?"
Reva menutup mulutnya. "Kakak ... Kakak menjebakku."
Aku tertawa begitu keras, sampai Kela protes karena merasa terganggu. Bagaimana bisa aku menjebaknya berkata demikian? Reva akhirnya ikut tertawa, sebenarnya aku sudah lama merasakan itu. Hanya Reva belum pernah berkata secara jelas. Tampaknya aku harus mulai menerima kalau dia akan menjalin hubungan dengan pria yang lebih dewasa sepuluh tahun darinya.
🍁🍁🍁
"Aku tidak akan kembali." Tuan muda berkata dengan rahang menegang kaku, di mataku itu adalah ekspresi yang tampan. Tetapi pria di hadapannya menggigil takut.
Aku tahu, pria itu adalah utusan tuan besar, berkata kalau beliau sakit keras. Sampai membawa diagnosa dokter, juga foto-foto. Aku masuk ruangan dan berkata pada orang tuan besar untuk menunggu di luar.
"Jangan, sayang." Tuan muda tau kalau aku akan membujuknya, melarangku berbuat demikian. Hanya saja, aku juga punya kewajiban sebagai menantu. Mana bisa memutus tali keluarga dengan ayah sendiri.
"Kela dan X mau bertemu kakeknya. Lagipula, aku rindu makan rendang."
Zola memelukku, menyandarkan dagu di bahuku. Aku merasakan dia menarik nafas kuat. Aku balas memeluknya dengan erat.
"Itu hanya bohong, dia ingin memaksa kita pulang. Jangan percaya drama picisannya."
Aku sebenarnya tidak suka, saat tuan muda berkata seolah tidak menghormati ayahnya. Di mataku, seorang ayah adalah sosok yang luar biasa. Tetapi, aku tidak mau menghakimi suamiku, luka di hatinya telah begitu dalam.
Lelaki suruhan tuan besar berlari masuk lagi, dengan wajah pucat dia berkata. "Tuan besar tak sadarkan diri."
Jantungku seperti berhenti berdetak.
🍁🍁🍁
Anak lelaki Selma dan Zola dipanggil X karena nama depannya huruf X, cuma karena kelamaan nulis draft dan baru bisa dipublish sekarang, jadi lupa siapa namanya 🤣🤣 Mungkin ada yang bisa bantu mengingat-ingat 😅
15/10/20
KAMU SEDANG MEMBACA
Wounded Heart (END)
RomansaHR #1 in Romance Kekasih dan cinta pertamaku, Emmeric dengan teganya memintaku menjadi istri kedua karena dia akan menikahi wanita pilihan orang tuanya. Setelah menolak keras, Emmeric menjebakku dan menghancurkan masa depanku, setelahnya kehidupanku...