47. Memperebutkan Anak

7.9K 574 52
                                    

Keluarga baru tuan muda Hadikusumo bergerak menuju rumah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Mendengar suara hatiku memikirkan betapa bahagianya nanti kami menjadi keluarga kecil, jauh dari gangguan saudari tiri tuan muda. Sekalipun di sana selalu tercukupi, tetapi dalam hatiku merasakan sedikit perasaan yang tertekan. Hanya saja membayangkan berada dalam perlindungan tuan muda mau tak mau bertahan di sana.

"Kakak memikirkan apa?" Suara Reva membuyarkan lamunanku.

"Kira-kira?"

"Mungkin sedikit kecewa karena bulan madunya ada gangguan kami."

Aku menggelengkan kepalaku, pemikiran Reva ini sungguh di luar dugaan. Tidak pernah sekalipun aku menganggap mereka gangguan. Tetapi melihat Reva lalu tertawa geli, membuatku sadar kalau dia juga menganggap kata-kata itu berlebihan.

"Apa Kak Zola sibuk bekerja?"

"Tidak tau." Aku merenung, memang sejak pernihakan Zola sangat sibuk bekerja. Dalam hati aku merasa curiga kalau dia menjalankan perusahaan Hadikusumo sebagai balasan untuk bisa menikahiku. Seperti tidak bisa menganalisa otak tuan besar saja.

Aku mengambil Kela dari gendongan Reva.

"Kak, segera kasih adek buat Kela, biar rumah kita ramai."

"Mana boleh begitu, lebih baik menunggu sampai usia Kela dua tahun."

"Tapi kasihan dong Kak Zola, dia pasti juga ingin memiliki anak sendiri."

Aku menatap Kela, dalam hatiku ada sedikit kekhawatiran memang. Walaupun tuan muda menyayangi aku dan Kela, apakah dia bisa memberi kasih sayang yang sama seandainya nanti aku mengandung anaknya? Buru-buru kutepis pemikiran itu, tuan muda seorang penyayang.

"Kakak, nggak usah cemas. Kela tidak akan kekurangan kasih sayang." Reva seakan mengetahui apa yang menjadi pikiranku.

"Tentu saja."

Melihat Kela tertawa terus, sepertinya dia mengikuti jejak tantenya. Suka berjalan-jalan, tidak seperti aku, ibunya yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah kecuali untuk bekerja.

Kami sampai di rumah baru, aku dan tuan muda telah pernah ke sana sebelumnya. Rumah yang cukup luas tetapi tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan rumah utama keluarga Hadikusumo. Beberapa pelayan menurunkan barang-barang, aku sudah melakukan dekorasi bersama tuan muda kemarin. Semua bagian-bagian rumah yang berdesign modern itu telah ada peruntukkannya.

Suasana baru segera menyelimuti kami, bagaimana tidak, rumah yang berbeda dengan bungalow tempat hampir setahun kami tinggal. Di sana sebagian besar terbuat dari kayu dan tradisional dengan banyak pepohonan rindang. Sedang di sini, banyak pot-pot tanaman hias dan lebih didominasi cat warna putih. Aku dan tuan muda memilih kamar utama di bawah agar tidak kerepotan naik turun tangga, bersebelahan dengan kamar bayi dan Reva dengan segera mengklaim kamar di lantai dua sebagai wilayah kekuasaan.

Aku sedikit sedih karena pelayan wanita dan suaminya tidak dapat ikut, mereka berdua sudah seperti orang tua pengganti bagiku. Tetapi mau bagaimana lagi, mereka adalah pelayan tuan besar. Tuan muda berkata kalau akan menambah pelayan dan pengasuh untuk Kela, walaupun aku menolak. Sebenarnya tidak perlu pengasuh untuk Kela karena ada aku.

Berpikir demikian juga tuan muda tidak setuju, apalagi, aku masih bekerja dan Reva sebentar lagi akan berkuliah. Dia telah menyelesaikan ujian paket A-nya. Lagi-lagi aku berhutang pada tuan muda, hanya dia yang mampu membuat adikku melanjutkan pendidikannya. Kalau aku berkata demikian tuan muda akan segera tertawa, mengecup keningku sambil berkata, suami istri tidak ada istilah hutang piutang.

Di sore hari aku membuat cemilan untuk keluarga, kami baru memiliki tukang kebun dan penjaga malam yang tinggal di kamar-kamar belakang. Aku berkata pada Reva untuk membawakan kue ke tempat Hu. Reva bergidik, padahal dia belum pernah bertemu Hu sebelumnya, tetapi dia sudah ketakutan setengah mati. Tuan muda telah meminta Hu tinggal di rumah tamu. Dengan setengah hati Reva pergi juga mengantar kue yang aku buat untuk Hu. Tidak sampai sepuluh menit dia sudah kembali.

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang