42. Tanda Cinta Sebenarnya

8.8K 641 69
                                    

Tuan muda membaringkan aku ke atas tempat tidurku, sudah pukul dua pagi. Reva masih menunggu dengan wajah cemas. Kela telah terlelap, anakku itu, aku memang ibu yang tidak bertanggung jawab.

Aku masih mengenakan gaun yang tadi kupakai ke pesta. Tetapi mataku sangat berat dan aku lelah, aku merasakan keheningan. Lamat-lamat terdengar suara Reva berbincang dengan tuan muda. Kemudian aku tertidur.

Ketika terbangun aku melihat pakaianku sudah berganti, bahkan tubuhku terasa segar. Kela merangkak di sebelahku. Sudah sangat terang.

"Kakak sudah bangun?"

Perutku berbunyi, aku tidur bagai orang mati.

"Reva, kamu berjaga semalaman dek?" Aku mendengar suara Kela tertawa, semangatku pun kembali.

"Tidak juga, tapi ya begitulah kak. Sepertinya kakak harus menambah uang jajanku." Reva kemudian tertawa, sebuah senyum aku rasa muncul di wajahku.

"Zola, apa masih di rumah?"

Reva menggeleng, "Kak Zola pergi, dia cukup sibuk mengurusi pemberitaan juga penyelidikan polisi."

Aku merasa kembali ke masa lalu.

"Kak, Emmeric---berbuat itu, maksudnya dia menyelamatkan kakak. Apa kakak terpengaruh?"

Bahkan Reva, orang yang telah lama bersamaku mengkhawatirkan hal itu, sekarang aku mengerti kenapa bahkan tuan muda merasa cemas. Dia beberapa kali mengisyaratkan kalau dia tak ingin aku pergi. Di dalam kehidupan ini, aku memang jarang mengungkapkan apa yang aku rasakan. Tetapi bukan berarti aku tidak memiliki prinsip.

"Menurut kamu kakak orang seperti itu?"

Reva diam, "Bukan begitu. Hanya saja, setiap aku tanya tentang kakak yang mau menikah dengan Kak Zola, kakak hanya diam. Cuma mengatakan iya, perasaan kakak sebenarnya aku tidak paham."

"Begitu ya?"

"Kakak, mengenai perasaan kakak aku tidak bisa memaksakan keinginanku. Hanya saja setiap bersama Kak Zola, bahkan saat dia masih menyembunyikan identitasnya, kakak terlihat bahagia, sepertinya kakak begitu lepas."

"Kamu mengintip kakak rupanya."

Reva tertawa, "Waktu dulu berpacaran dengan Emmeric, aku merasa kakak seperti memaksakan diri."

Aku ingat dia pernah mengatakan itu sebelumnya, dalam hidupku aku tidak banyak dekat dengan lelaki, aku  telah memiliki ayahku yang  hebat. Emmeric bisa dikatakan adalah cinta pertamaku.

"Kak, apa kakak sangat sedih? Kalau begitu tidak apa-apa kita pergi ke luar negeri. Aku akan usahakan agar terbiasa makan keju dan daging steak hambar setiap hari." Reva berkata lirih.

"Meninggalkan Zola?"

"Apa Kak Zola tidak bisa ikut dengan kita?"

Menjawab pertanyaan adikku aku merasa tidak mampu, Zola mungkin tidak bisa pergi.

"Dek, kamu ingat pesan ayah. Terkadang kakak juga bertanya-tanya, kenapa kehidupan kita menjadi seperti ini. Tetapi sepahit apapun yang kita hadapi, kita harus menjalaninya."

Reva mulai menangis tersedu, dibanding aku, adikku itu lebih tegar. Tetapi dia menangis begitu sedih, pastilah karena takut seandainya tadi malam terjadi. Peluru menembus tubuh, sekarang ini sudah tiga kali aku selamat dari kematian. Aku tidak yakin akan ada kesempatan yang keempat. Biarpun begitu aku tetap harus menghadapinya. Sejak dulu aku tidak takut mati, tetapi sekarang, semua orang di sekitarku membuat aku ingin hidup. Reva, Kela dan juga dia. Aku melirik jam ternyata aku tertidur sampai pukul satu siang. Hari bergulir begitu cepat.

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang