Tujuh bulan kemudian,
"Apa maksudmu?" Aku mendengar suara pria bertanya dengan panik.
"Nona itu sedang hamil tua, Pak. Katanya perutnya mengalami kontraksi." Suara seorang wanita yang membuka pintu untuk kami menjawab.
"Apa katamu, Bu? Astaga! Kita tidak bisa menampung wanita hamil di sini. Kalau tuan muda mendengar, dia akan murka."
"Bagaimana lagi? Mobil mereka mogok di tengah gunung. Hujan deras begini."
"Tolong kakak saya, Pak, Bu." Aku mendengar Reva memohon. Sedang aku dengan nafas terengah, terduduk di sofa.
Aku menahan sakit di perutku yang melilit, "Sabar nak." Tubuhku dingin kena rembesan air hujan. Payung yang kecil tak bisa menahan hujan demikian besar, baju adikku Reva bahkan telah basah kuyup.
Petir menggelegar, sosok bayangan tinggi terlihat di atas tangga.
"Tuan muda!" Sepasang pelayan yang sejak tadi berdebar perihal menerima kami atau tidak di bawah segera memucat, kemunculan sosok itu memang menyeramkan.
Terdengar suaranya yang dalam dan tenang. "Bawa ke kamar tamu."
Seketika pelayan pria yang sejak tadi ketakutan menghampiriku dan membawaku ke atas tempat tidur.
Nak, kamu sudah mau keluar? Aku terengah.
Keringat dingin mengucur deras, ruangan itu telah sangat sejuk ditambah hujan petir di luar. Hatiku juga semakin dingin. Seluruh tubuhku bergetar, bibirku memohon tak henti-hentinya untuk jiwa mungil di dalam perut yang tak sabar melihat dunia.
Ternyata mereka memanggil dokter, syukurlah ada yang bersedia datang di tengah hujan deras begini.
"Kelahirannya lebih cepat satu bulan. Anak perempuan." Dokter berkata, bayi mungil bagai onggokan daging merah itu tak bersuara. Ya Tuhan. Aku terengah seperti nyawaku telah putus. Berjuang untuk tetap sadar.
Sosok yang dipanggil Tuan Muda muncul di pintu. Aku melihat wajahnya mengenakan topeng menutupi seluruh wajahnya dan tubuhnya terbungkus rapat pakaian, juga sarung tangan bewarna hitam.
Dokter menepuk pantat bayiku. Oeeeeee!!!! Anakku menangis berteriak mengalahkan bunyi hujan.
"Anak cantik." Dokter berkata, terdengar suara Reva menghela nafas lega.
Reva kular kilir di kamar itu, entah apa yang dia lakukan, mengikuti perintah dokter. Setelah bayiku bersih, dokter membiarkan aku menggendongnya. Menatap wajahnya, mataku menjadi berkaca. Sangat cantik.
"Mirip kamu, Reva." Aku berkata pelan.
"Imut dan manis." Reva tertawa gembira, kebahagiaanku tak terkira. Wajahnya mirip ayahku juga, aku bersyukur. Selama kehamilan tak mau membenci apalagi memikirkan Emmeric, agar bayiku tidak mirip.
Kupandang dalam wajahnya yang terlalu menggemaskan. Tangannya begitu mungil. Aku memberikannya colostrum pertama. Seketika aku merasa terhubung dengannya. Perasaan seorang ibu. Dulu hampir saja aku melenyapkannya, air mataku menetes pelan.
"Tuan muda." Aku berbisik lirih, setelah kurasa bayiku kenyang minum susu.
Aku tak takut sama sekali dengannya yang terlihat begitu seram dan misterius. Dia tak menjawab panggilan aku.
"Berikan nama untuknya, aku berterima kasih pada kebaikanmu." Aku melanjutkan.
"Shakela Aella Hadikusumo. Anak perempuan cantik yang lahir di tengah badai." Tuan muda mengatakan dengan tenang. Begitu pintar mendapatkan nama secara mendadak.
![](https://img.wattpad.com/cover/213583859-288-k348433.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wounded Heart (END)
RomanceHR #1 in Romance Kekasih dan cinta pertamaku, Emmeric dengan teganya memintaku menjadi istri kedua karena dia akan menikahi wanita pilihan orang tuanya. Setelah menolak keras, Emmeric menjebakku dan menghancurkan masa depanku, setelahnya kehidupanku...