Ketika aku membuka mataku aku berada di ruangan serba putih, ayahku yang masih mengenakan pakaian dinas terlihat sangat cemas. Aku telah melaporkan tindakan pemerkosaan oleh Emmeric. Aku meninggalkan dia dengan umpatan dan makian. Membabi buta menampar dan memukulnya, wajah Emmeric sangat tenang, dia cuma berkata akan bertanggung jawab sepenuhnya.
"Selma. Sudah tidak apa-apa." Ayahku berkata dengan penuh kelembutan.
Adikku Reva juga masih berseragam putih abu-abu. Mereka memandangku dengan wajah pedih bercampur rasa amarah.
Dua orang berseragam polisi masuk ke dalam kamarku.
"Bagaimana, apa kalian sudah menangkap si Emmeric?" Ayahku bertanya.
"Kami harus membawa Nona Selma ke kantor polisi. Pengacara Tuan Emmeric telah mengajukan gugatan balik." Salah satu polisi berkata.
Kami sekeluarga melihat dengan wajah heran.
"Apa?!" Adikku Reva dan ayahku berteriak.
"Nanti akan dijelaskan di kantor, Pak. Kami sudah mengantongi izin dari dokter Nona Selma untuk membawanya. Mengingat kondisi Nona Selma sudah stabil."
"Fisiknya mungkin tapi pikirkan psikisnya." Ayahku memprotes. Tapi kami tau, polisi hanya menjalankan tugasnya. Aku berbangun tertatih karena sakit begitu hebat di hatiku, sudahlah dilecehkan sedemikian rupa sekarang harus menanggung keadaan pahit. Dalam hati mengutuk Emmeric, pria yang aku cintai.
Di dalam mobil ayahku, aku sudah tidak bisa bernafas. Pandanganku sangat buram. Reva memelukku sambil menangis dan ayahku mengucapkan kalimat penghiburan. Mataku terlalu berat, tidak tau apakah karena mengantuk atau karena aku tak ingin berpikir. Sambil menangis Reva meneriakan makian dan cacian. Aku hanya diam saja, sekelilingku sudah tak dapat aku rasakan.
Saat berada di dalam kantor polisi, barulah aku mengetahui kalau Emmeric mengatakan hubungan itu kami lakukan atas dasar suka sama suka. Dia menuntutku karena pencemaran nama baik. Emmeric seorang pangeran, keluarganya juga terpandang, disegani dan dihormati. Laporanku sedikit banyak pasti membuatnya terguncang. Jadi bagaimana dengan keluargaku?
Tega sekali Emmeric, aku merasa mengenalnya tapi ternyata tidak benar-benar mengenal. Dia bahkan tidak muncul di kantor polisi, hanya mengutus pengacara yang wajahnya sering wara wiri di televisi. Dengan menyakitkan pengacara itu mengatakan pada polisi yang sibuk mencatat. Kalau aku tidak mau diputuskan oleh Emmeric, Emmeric mau menikah dengan wanita lain karena dijodohkan. Karena itu aku merasa dendam, diam-diam menjebaknya. Ayahku hampir memukul pengacara itu, tapi ditahan oleh seorang polisi muda. Polisi muda itu sejak tadi melihat dengan wajah prihatin, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi saat adikku Reva memukul pengacara, sambil mengamuk, dia tidak menahannya. Aku merasa bibirku kelu.
Polisi yang menanyaiku sejak tadi, mencatat-catat di kertas. Ayahku menghubungi atasannya untuk meminta bantuan mengirim pengacara.
Ponselku berbunyi di dalam tas. Aku mengambilnya. Pria yang pernah dan masih aku cintai dengan kejamnya mau menghancurkan hidupku, dia bilang mencintai aku sampai mati.
Aku mengangkat ponsel dan segera aku loudspeaker.
"Sayang, apa yang kamu lakukan?" Mulutnya terdengar manis bicara. Polisi yang berada di ruangan itu semua memandang kami, ayahku masih berdebat dengan pengacara dan Reva sibuk menangis sambil mengamuk dengan istilah anak remaja.
"Kamu bajingan. Sampai mati aku tak sudi jadi istri keduamu!" Aku berteriak marah. "Matilah kamu Emmeric, walaupun kamu penjarakan aku, tidak akan aku turuti keinginanmu!"
Emmeric terdiam membisu di seberang. Kurasa dia kager, tak menyanhka kalau setelah semua ya g terjadi aku tetap tak mau menjadi istri keduanya. Bagi sebagian orang menjadi istri kedua mungkin tidak masalah, tapi bagiku lebih baik mati ketimbang membuang prinsip.
"Selma?" Suara ayahku terdengar terkejut, beliau baru mengetahui kalau Emmeric bermaksud menjadikanku istri keduanya.
"Tanya saja sama pegawai restoran, aku pingsan saat itu." Kemarahan yang menguasaiku membuatku berkata dengan sangat lantang.
"Kami sudah mendengar pernyataan itu. Mereka bilang Nona Selma dan Tuan Emmeric berjalan berangkulan sambil tertawa keluar dari restoran."
Aku menangis, jahat sekali Emmeric. Dia mau membuatku tunduk padanya, dia pasti tidak menyangka kalau aku akan melaporkannya ke polisi.
"Periksa CCTV." Aku berkata lagi.
"Restoran itu tidak memiliki CCTV."
Pengacara Emmeric menjawab sambil tertawa pelan,"Di mana hati nuranimu? Tega sekali tertawa." Ayahku menggeram. Seumur hidupku tak pernah kuliah ayahku begitu marah. Pengacara Emmeric terdiam.
"Ayah akan bertemu dengan pria itu." Ayahku berkata.
Aku meraih lengannya yang besar dan menangis, air mataku bercucuran membasahi tangannya. Ayahku mengusap rambutku. "Jangan pergi ayah," suaraku bergetar dalam kepiluan.
Pengacara Emmeric menelpon, kemudian dia mengatakan pada polisi kalau hasil visum rumah sakit mengatakan bahwa tidak ada tanda-tanda pemaksaan.
Hatiku sangat perih, "Ayaahhhh percaya padaku." Aku merintih.
"Tentu. Ayah selalu percaya."
Ucapan ayahku menenangkan hatiku. "Sebaiknya ini diselesaikan secara damai." Polisi yang mencatat laporan tadi berkata.
"Semua disumpal dengan uang." Reva mengamuk. Kami kakak beradik sangat saling menyayangi, keluargaku pasti tau aku tidak mungkin berbuat ini. Masa aku melaporkan Emmeric dengan tuduhan pemerkosaan, seandainya memang kami bersetubuh karena keinginan sendiri.
Pengacara tadi mengatakan mau bernegoisasi, dia mengatakan akan mencabut tuntutannya kalau aku juga mencabut tuntutanku. Tapi aku tak sudi, kami punya harga diri yang tinggi.
Ayahku pergi keluar dari kantor polisi, Reva memapahku ke bangku panjang. Air mataku mengalir tanpa henti. Polisi muda yang sejak tadi melihat ke arahku, mendekat.
"Jangan sentuuhhhh!!!" Aku berteriak, Reva segera menangis. Polisi di sana menatap iba tapi mereka tampak tak bisa membantu.
"Ini." Polisi muda ternyata memberikan minuman dingin.
"Terima kasih kak." Aku mendengar Reva berkata, aku bahkan tak bisa mengatakan maaf. Seluruh tubuhku seperti tertancap duri. Hatiku mati rasa mengingat kekejaman Emmeric, pria yang aku beri kasih sayang dan cintaku selama enam tahun. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, dia ingin memilikiku dengan cara yang egois, Emmeric jadi sangat serakah.
Kami menunggu dengan kelelahan di ruang polisi, polisi muda masih melihat ke arah kami dengan wajah sedih. Reva bahkan telah bercakap-cakap dan mengobrol sedikit dengannya. Sedangkan aku teronggok bagai daging potong di atas kursi panjang itu.
Aku rasa kepalaku berkunang-kunang, aku tersentak kaget saat mendengar langkah kaki berderap mendekat. Seorang petugas polisi lain memasuki kantor sambil berlari dan terengah. Aku dan Reva melihat ke arahnya, dia juga melihat kami. Wajahnya pucat tapi aku menatapnya kosong, karena tak tau apa yang dipikirkan.
Polisi muda mendekatinya dan mereka berbisik-bisik, wajahnya jadi lebih pucat. Sekalipun dia melihat ke arah kami, mereka tak mau mengatakan apapun.
"Apa yang terjadi?" Aku mendengar suara adikku bertanya. Polisi muda pergi ke ruangan lain. Kemudian muncul lagi dengan seorang pria yang tampaknya memiliki jabatan lebih tinggi.
Dia menatap kami dengan pandangan menyedihkan, bahkan wajah polisi muda semakin pucat seperti orang mati.
"Kami sangat menyesal." Dia berkata. "Pak Rizal mengalami kecelakaan dan meninggal saat dibawa ke rumah sakit."
Reva berteriak histeris, aku seperti tanaman layu dan kemudian dipijak-pijak dengan keras. Aku jatuh tak sadarkan diri lagi.
*****
Untuk cerita ini boleh aku minta vote sama komen yang banyak nggak ya 😄. Karena di cerita-cerita yang lain jumlah vote hancur lebur aka sangat sedikit dibanding yang baca. Kalo banyak komen biasanya otak lancar nulis ❤️
Judul cerita ini lain dari yang biasanya. Rencana mau dibuat agak anti mainstream sedikit, semoga nggak membosankan 😁

KAMU SEDANG MEMBACA
Wounded Heart (END)
RomanceHR #1 in Romance Kekasih dan cinta pertamaku, Emmeric dengan teganya memintaku menjadi istri kedua karena dia akan menikahi wanita pilihan orang tuanya. Setelah menolak keras, Emmeric menjebakku dan menghancurkan masa depanku, setelahnya kehidupanku...