65. Intimidasi

3.3K 317 37
                                    

Pagi hari setelah badai berlalu, kami mendapat kabar kalau Tuan besar telah sadar dari koma. Dengan terburu-buru aku menyiapkan Kela dan X, juga pakaian suamiku. Reva tidak terlihat batang hidungnya, mungkin mencari sarapan di luar. Sekalipun kami memiliki cukup banyak pelayan saat ini, kebiasaan-kebiasaan untuk tidak dilayani tetap ada.

Aku melihat raut wajah tuan muda sedikit tegang, dia berada di antara kebencian tapi kasihan. Benarkah tuan muda mampu membenci ayahnya sendiri? Ada yang mengatakan darah lebih kental dari air.

Begitu sampai di kediaman utama, Nyonya Besar dan Elysa telah terlihat melayani Tuan besar. Elysa dengan telaten melayani tuan besar yang masih ditempeli selang infus. Melihat kedatangan kami, tuan besar meminta Elysa menghentikan suapan itu. Nyonya besar tidak terlihat sinis saat ini, tidak tahu apakah karena rencananya saat peristiwa kasus suap gagal atau dia sengaja memakai topeng baik sekarang.

Tuan besar tampak sehat, di perjalanan tadi tuan muda masih mengatakan kalau ayahnya berpura-pura koma. Tuan muda bicara bukan sembarang bicara, tapi aku tak mau berpikiran jelek terhadap ayah mertuaku. Tuan besar meminta untuk menggendong X, dia sangat bahagia memandangi X.

Aku melihat Kela yang memeluk leher suamiku dengan kedua tangan, sedang kepalanya dia letakkan di bahu. Kela mungkin tidak mengerti, kenapa kakeknya tidak pernah memeluknya sebagaimana X. Dia hanya beranggapan itu karena X adalah adik yang paling kecil. Di dalam hati ada segumpal rasa pedih, seandainya ayahku masih ada, dia pasti akan sangat menyayangi Kela.

Tuan besar tampak sehat secara nyata, membuatku sedikit percaya kata-kata tuan muda. Orang yang koma beberapa bulan setidaknya harus berkulit pucat, tetapi tuan besar tampak ceria.

"Akhirnya papa sadar." Tuan muda berkata dengan datar.

"Zola, setelah beberapa bulan tidak bertemu. Kenapa masih sinis memandang pada papa."

"Papa, sudahlah bukannya Zola memang begitu." Elysa duduk di samping tuan besar dan mulai memijatnya.

"Elysa, apa kamu lihat, keponakanmu sangat mirip denganmu." Tuan besar tertawa.

Aku memandang wajah Zola, dia tampak tidak menyukai ucapan itu. Zola mungkin tidak membenci Elysa, tapi bagaimanapun dia sering terpengaruh Nyonya Besar untuk berbuat sesukanya.

"Tentu saja papa, bukankan aku ini tantenya." Elysa tersenyum begitu manis.

"Papa tidak sabar untuk makan bersama lagi." Tuan besar mengangkat tubuh X dan anakku yang tidak tau apa-apa itu menjerit riang.

"Papa tampak sehat." Tuan muda berkata seolah masih tidak percaya dengan kondisi kesehatan ayahnya.

"Sudahlah, ini hari bahagia. Karena papa kalian sudah siuman, mama akan mengadakan pesta besar-besaran. Sudah lama sekali rumah ini tidak kedatangan tamu." Nyonya besar berkata dengan sumringah. Sedikit mengherankan, bukannya Nyonya besar selalu bersikap kaku dan sinis apabila ada suamiku, apalagi saat ini, di kala anakku menjadi pewaris tunggal dari perusahaan.

"Kami akan beristirahat di kamar." Tuan muda berkata, aku menghela nafas lega. Ingin rasanya menjulurkan kaki dan merebahkan diri saat ini, jauh dari segala ketegangan.

"Biarkan X tetap di sini, nanti pelayan akan mengantarnya." Tuan besar masih ingin bermain dengan X.

"Tidak." Tuan muda berkata dengan datar, dia menyerahkan Kela padaku dan mengambil X. "Siapa yang menjamin keamanannya di sini."

"Zola!" Tuan besar sedikit emosi. "Jangan mencurigai keluarga."

Tuan muda menggendong X dan berbalik memandang tuan besar, "Sepertinya papa sudah cukup sehat untuk berteriak. Jadi, aku tidak perlu mencemaskan apapun."

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang