7. Selamanya Berhutang Budi

12.6K 906 71
                                    

Aku bangun lagi di ruangan serba putih, mengalami kecelakaan dengan benturan seperti itu masih bisa selamat sungguh keajaiban atau sebenarnya aku berada di surga?

Reva menangis dengan begitu histeris, aku langsung berpikir kalau aku memang mati. Apalagi anakku? Aku akan pergi meninggalkan dunia dengan anakku. Tapi bagaimana dengan adik?

"Kakakkkk!!!!" Reva berteriak dengan histeris. Air terjun seperti mengalir di matanya.

"Reva?" Lho aku malah bisa bicara?

Dokter mendekatiku, kemudian mengecek kondisiku.

"Semuanya baik."

Eh? Apa yang baik. Heran juga. Padahal aku tidak merasakan apapun.

"Kakak...." Reva terus menerus menangis, kenapa dia menangis seperti ada kemalangan besar?

Seperti deja vu aku melihat dua orang berseragam polisi datang.

"Pak Polisi mau menangkapku lagi karena sengaja menabrakkan diri ke mobil?" Aku tertawa karena pertanyaanku sendiri.

Wajah keduanya seketika memucat, mungkin dalam kehidupan mereka tak pernah menemukan kemalangan semacam ini.

"Kami mau meminta keterangan." Salah satu polisi berkata dengan pelan. Adikku masih menangis lemas.

"Keterangan apa?" Aku malah bertanya dengan sedikit bingung.

"Mengenai kejadian tabrakan."

"Tidak ingat." Aku cuma ingat mobil suv bewarna hitam melaju kencang menujuku, semakin kencang saat aku melihatnya.

"Bisakah nona memberikan informasi sedikit?" Pak polisi berkata ragu, memandangku cemas. Aku menatap mereka dengan pandangan kosong. Terdengar suara helaan nafas di kamar yang mendadak hening, isak Reva terdengar terputus.

"Karena--Iptu Davio kehilangan nyawanya saat menyelamatkan nona." Pak Polisi melajutkan ucapannya.

Eh? Aku merasa kegamangan. Apa tidak salah kalimat yang aku dengar? Aku melihat ke arah Reva. Kudengar tangisnya semakin kencang. Aku tak sanggup berpikir.

Tak lama aku merasa sebuah pusaran menarikku masuk. Aku pingsan dalam kondisi aku sedang berbaring.

Seperti mimpi, kemalangan datang bertubi-tubi mendadak sekali dalam kehidupanku. Bahkan orang yang begitu baik sampai melindungiku dengan mengorbankan nyawa. Saat tersadar, air mataku mengalir tak berhenti, sangat deras.

Aku baru akan katakan pada polisi muda, kalau aku akan membalas perhatian dan kebaikannya selama kehidupan di dunia. Kalau perlu sampai aku mati. Tapi dia lebih dulu pergi karena aku. Menurut kesadaranku, aku hanya terdiam. Tapi menurut dokter aku berteriak-teriak, jadi aku diberi obat penenang. Sangat berbahaya mengingat kondisiku sedang hamil.

Di saat aku tersadar untuk kesekian kalinya, Emmeric terlihat menungguiku di sisi tempat tidur rumah sakit dengan wajah yang pucat seperti mayat. Aku menamparnya kuat-kuat seperti malam itu. Tidak tau mendapat tenaga dari mana. Dia membiarkan aku dan tak bicara sepatah katapun. Aku menamparnya sampai aku puas.

"Maaf." Dia cuma berkata begitu. Maaf? Manusia lebih rendah dari binatang. Jangan katakan istrinya yang mau membunuhku!

"Usir dia dari sini." Aku berkata, ada bodyguard yang kami sewa karena kemarin disarankan oleh polisi muda.

Emmeric meraih tanganku, aku menepisnya. "Aku tak mau melihat wajahmu!"

"Sayang, ini murni kecelakaan." Pria itu, sampai kapan dia bertahan dengan kelembutannya? Sungguh membuat muak.

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang