Bab 1

6.8K 501 90
                                    

"Oh sial, sial, sial," gumamku sambil menatap bemper belakang mobil. Tidak terlalu parah, tapi yang jelas rusak dan tampak sungguh tak simetris. Panik mulai merayap hingga ke dada, kucoba menahannya sembari berbalik ke arah langkah kaki yang datang dari belakang.

"Kau ini kenapa, hah?" bentak seorang pria berambut pirang dan bertubuh besar. "Lampu kuning bukan berarti berhenti, bodoh!"

"Lampu kuning menandakan aman jika berhenti, apalagi ini di persimpangan," gumamku menjawab. "Aku memilih untuk berhenti. Aku tidak mau dapat surat panggilan."

"Surat panggilan?" bentak pria berambut pirang itu. "Maksudmu ditilang? Kau takkan ditilang jika terus jalan."

Ucapannya sama sekali tidak masuk akal. Itu jelas-jelas pelanggaran. Aku mempelajarinya dengan seksama agar dapat lulus ujian SIM. Sepertinya dia kira cuma melanggar lampu merah sajalah yang akan ditilang. Aku kembali melihat matanya yang tampak kosong itu.

"Untung saja mobilku tidak penyok gara-gara kau," katanya melotot sambil berdiri tepat di sebelahku. Dari perawakan dan sikapnya ini, sepertinya dia terbiasa berdiri lebih tinggi dari kebanyakan orang, tapi tinggi kami sama. Namun dia lebih berat dua puluh kilogram daripada aku, dan ini jadi catatan bagiku.

"Aku minta maaf—" aku mulai bicara, tapi dia memotong.

"Memang seharusnya begitu!" tawanya penuh ancaman.

"Maaf," ulangku, "tapi kau jelas-jelas melanggar. Tolong beritahu aku nama asuransimu—"

Dia melangkah ke depan dan menusukkan jarinya ke dadaku sebanyak dua kali.

"Dasar bedebah."

Aku susah payah menelan ludah. Aku tahu cara membela diri, tapi semua seni bela diri yang pernah kupelajari menuntut agar aku patuh terhadap aturan – gunakan jika tak ada pilihan lain. Saat ini aku masih punya beberapa pilihan lagi.

"Permisi, Tuan," kataku dengan suara agak lebih meyakinkan, atau setidaknya dengan mengatupkan gigi. "Tapi kau yang menabrakku. Kau jelas bersalah, dan ada kerusakan di mobilku …"

Kutunjuk bemper mobil, agak ngeri sendiri melihatnya. Aku takkan bisa mengendarai mobil ini lagi setelah tahu kondisinya seperti apa. Aku takkan bisa konsentrasi.

Bersusah payah kutahan panik. Takkan kubiarkan serangan panik itu terjadi di sini, di tepi jalan ini, dan terutama di depan tukang pukul ini. Berkali-kali kutarik napas dalam-dalam sambil berharap aku punya uang untuk kembali terapi.

"Lihatlah rongsokan yang kau sebut mobil ini," kata pria itu. “Menurutku, apa yang kulakukan tadi adalah tindakan belas kasihan agar mobil ini bisa segera dihancurkan di tempat barang bekas. Ini—"

Dia dorong secarik kertas kecil ke dadaku, yang kemudian jatuh ke tanah.

"Anggap saja kita impas." Dia kembali tertawa saat berbalik, kembali ke mobilnya, dan melaju pergi.

Aku membungkuk untuk mengambil secarik kertas itu – aku tidak tahan sampah dibuang sembarangan di jalan – dan ternyata ini adalah tiket lotere Takaruji. Aku menghela napas. Menurutku lotere hanyalah jebakan bagi orang-orang yang payah matematika. Seperti pria itu misalnya.

Tapi tidak masalah – aku sudah lihat plat nomornya dan akan kubiarkan perusahaan asuransi menghadapinya. Ada untungnya punya paman yang bekerja di bisnis asuransi. Dia pastikan mobil dan rumahku terlindungi, jadi aku tidak perlu panik. Paman Kakashi memang keren, seperti ayahku.

Seperti ayahku.

Kupejamkan mata, menarik napas dalam-dalam sekali lagi, dan kembali ke kursi pengemudi. Kucoba menghapus bayangan bemper dalam benak ini, tapi tentu saja tidak berhasil. Aku terpaksa menepi dua kali untuk menenangkan diri agar bisa pulang ke rumah.

Rumah.

Rumahku berada di lingkungan yang bagus, tapi tidak mewah. Tiga kamar tidur, dua kamar mandi – rumah khas pinggir kota dengan halaman kecil dan kotak surat. Yang paling penting dari semuanya di sini ... tenang.

Aku berjalan masuk dan menjatuhkan tas di bangku sebelum mengambil segelas air. Aku lebih sering makan makanan beku di freezer yang dapat dipanaskan dalam microwave, tapi sudah tiga hari aku belum masak apa pun. Selalu kupaksa diriku untuk membuat makanan setidaknya beberapa kali dalam seminggu.

Semua resep makanan dibuat untuk memberi makan empat orang. Semuanya, sumpah.

Kuletakkan gelas di dalam wastafel yang bersih.

Kukeluarkan lagi gelas itu, kuisi wastafel dengan air, kucuci gelas dan kemudian kucuci westafel dan mengeringkannya sampai tak ada air sama sekali. Nafsu makanku benar-benar hilang, jadi aku pergi ke ruang kerja untuk mengerjakan tugas sekolah.

Semua yang ada di sini hampir sama seperti yang ditinggalkan ayahku – kertas, catatan, dan buku semuanya ada di tempat yang sama. Aku tidak tahan dengan ruang berantakan, tapi aku juga tidak sanggup untuk merapikannya. Ibu lebih mirip seperti aku – Ibu bahkan tidak mau masuk ke sini.

Tidak mau.

Tidak akan pernah.

Takkan pernah lagi.

Ibu sudah tiada.

Meninggal.

Wafat.

Kata-kata itu memenuhi pikiran. Kupejamkan mata dan berharap itu akan berhenti, tapi tentu saja tidak. Pikiranku jarang menuju arah yang kuperintahkan. Aku harus keluar dan tinggalkan ruangan ini. Aku berhenti di ruang keluarga, tapi ruangan ini pun terkadang masih jadi sumber serangan panik. Yang bisa kupikirkan hanyalah aku sering berdebat dengan Ibu tentang acara masak-masak yang selalu dia tonton. Aku ingin nonton acara balap mobil, dan jadwal acara itu selalu berbarengan dengan acara yang ingin Ibu tonton.

Aku kembali ke dapur, mungkin aku akan masak sesuatu. Kulihat-lihat isi lemari, sebagian besar isinya makanan kemasan dan akhirnya tampak sekotak biskuit yang dibeli Ibu dari seorang anak yang tinggal tak jauh dari sini.

Aku hilang kendali.

Aku tak tahan lagi, jadi aku keluar dari dapur.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang