Lakukan demi kue, kataku dalam hati.
Mungkin akan lebih baik jika aku bisa meyakinkan diri ini untuk melakukannya demi Sakura, atau bahkan melakukannya demi diri sendiri, tapi aku belum sampai di tahap sana. Sepertinya itu takkan terjadi. Melakukannya demi kue masih bisa kupertimbangkan dan sedikit lagi aku sampai ke tujuan.
Sedikit lagi sampai tujuan maksudnya adalah berputar-putar dua blok dari rumah Sakura.
Kabar baiknya adalah aku tidak panik. Tapi aku masih belum bisa berhenti di rumahnya dan malah membuang-buang bensin mengelilingi kompleks tempat tinggal pacarku.
Kekasihku.
Aku tersenyum dan berbelok ke kiri. Beberapa upaya berikutnya memiliki hasil yang serupa.
Aku menghela napas.
Masalah terbesar bukanlah rumah Sakura atau halamannya, tapi kemungkinan ada mobil ayahnya di sana. Itulah hal utama yang membuatku jaga jarak dari sana. Kucoba menenangkan pikiran dengan memutar ulang percakapan singkat kami subuh tadi, Tuan Haruno bilang aku sudah mengalahkan Inuzuka.
Tapi aku jadi mengerutkan kening, bukan karena apa yang Tuan Haruno katakan, tapi aku jadi teringat Sakura pernah berkencan dengan Inuzuka Kiba, dan itu belum lama berselang. Tentu saja aku tahu mereka pernah bersama, tapi aku tak pernah benar-benar memikirkan hal itu sebelumnya. Sekarang Sakura adalah kekasihku, aku sama sekali tidak menyukai hal itu.
Sakura menciumku karena aku kekasihnya. Asumsiku Sakura juga telah berciuman dengan Inuzuka Kiba sebelumnya. Membayangkan ciuman Sakura membuatku terpikir dengan waktuku sendirian di kamar mandi, dan bagaimana aktivitas itu cenderung mengarah pada aktivitas lainnya – aktivitas yang pasti dibintangi Sakura – dan melibatkan tangan serta kejantananku. Biasanya ketika memikirkan itu, suasana hatiku jadi baik, namun sekarang aku malah bertanya-tanya apa yang telah dilakukan Sakura dan Kiba selain berciuman.
Itu bukan urusanku, sungguh.
Aku ingin tahu.
Aku tidak ingin tahu.
Sepertinya aku perlu mencabut kelopak bunga aster satu-per-satu untuk memutuskan apa aku ingin tahu atau tidak.
Sambil menarik napas dalam-dalam, aku berbelok ke kanan.
Memikirkan tentang mobil Tuan Haruno yang diparkir di halaman sepertinya tidak seburuk percakapan yang harus kulakukan dengan Sakura selama makan potongan kue kedua. Sebenarnya, jika Tuan Haruno ada di sana, maka akan lebih mudah, karena mana mungkin aku akan bicara tentang hal itu di depannya.
Apa Tuan Haruno tahu?
Apa Tuan Haruno akan memberitahuku?
Mana mungkin aku bertanya pada Tuan Haruno tentang hubungan Sakura sebelumnya. Itu berlebihan dan jatuh ke dalam kategori percakapan yang tidak pantas.
Aku berbelok ke kiri. Kucoba memutuskan apa akan lebih baik jika aku periksa kendaraan Tuan Haruno di halaman rumahnya atau tidak. Kuperlambat laju mobil saat mendekat, dan bahkan melewati pepohonan yang lebat agar bisa mengintip halaman rumahnya dengan cukup jelas. Hanya ada mobil Sakura diparkir di sana, sisi lainnya kosong.
Aku juga bisa lihat Sakura. Dia sedang duduk di tangga teras dengan piring kecil di pangkuannya dan buku di tangan. Aku bertanya-tanya berapa lama Sakura sudah menungguku di sana, aku tahu aku sudah berkeliling-keliling selama empat puluh menit.
Sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan gemetar, aku berhenti di halaman rumah Sakura.
Aku takkan bertanya apa pun tentang Inuzuka Kiba. Tidak. Sama sekali tidak. Takkan kubiarkan hal itu membuatku gila, karena kuelah yang akan kupedulikan sekarang.
Kumatikan mobil dan tetap duduk di sana, melihat tanganku yang mencengkeram setir cukup keras hingga buku-buku jariku memutih. Dari sudut mata, aku bisa lihat Sakura tidak bergerak, selain meletakkan buku ke tangga sebelah kakinya.
Aku mendongak, dan aku bisa lihat Sakura tersenyum, dia menunggu dengan sabar di tangga teras. Tanganku menolak untuk melepaskan kemudi, tapi setidaknya pikiran ini relatif tenang. Aku terus bernapas. Hanya itu yang bisa kulakukan, selain menahan air liur agar tidak menetes karena teringat lezatnya kue itu.
“Lepaskan,” bisikku pada jemariku. Hebatnya, mereka mendengarkan, setidaknya untuk sementara waktu.
Saat aku menyeka keringat dari telapak tangan, jariku malah mencengkeram paha. Aku mendesah, memaksa mereka untuk membuka cengkeraman itu, dan cengkeramlah pegangan pintu.
Pintu terbuka, dan aku berhasil mengarahkan kaki ke samping sehingga kakiku menapak di beton. Aku berdiri dan menatap kaki.
“Aku mulai bertanya-tanya apa kau sungguh menyukai kueku atau kau sebenarnya hanya sedang bersikap sopan saja.”
“Aku tidak pandai bersikap sopan,” aku mengaku. “Aku biasanya mengatakan apa pun yang ada di kepala.”
“Apa yang ada di kepalamu sekarang?”
“Inuzuka Kiba,” jawabku langsung.
Sial, sial, sial.
Aku tidak bermaksud mengatakan itu.
Mata Sakura menyipit, dahinya berkerut, dan hidungnya mengernyit.
“Inuzuka Kiba?” ulang Sakura. “Kenapa kau pikirkan dia?”
Aku mengangkat bahu, berharap bisa kembali ke mobil dan melaju kencang, tapi kakiku malah menancap di beton. Tampak juga sepotong kue stroberi lezat yang jaraknya tidak sampai lima meter dariku. Sakura meletakkan piring penuh kue di sebelah bukunya dan berdiri, mengitari pintu mobil yang masih terbuka dan meraih tanganku.
“Apa bajingan itu mengatakan sesuatu padamu?” tanya Sakura. Aku terkejut mendengar racun dalam nada suaranya. “Karena jika dia masih mengganggumu, aku akan—”
“Dia tidak mengatakan apa-apa,” potongku cepat. “Sungguh, dia tidak melakukan apa-apa. Tidak sejak hari itu di sekolah.”
Ekspresi Sakura berubah bingung.
“Kalau begitu, kenapa kau memikirkan dia?”
“Karena dia dulu pacarmu,” kataku pelan.
Sakura menatapku sejenak sementara mataku tetap tertuju pada bahunya.
“Boleh aku minta kuenya sekarang?” tanyaku.
Sakura mengerutkan bibir dan memejamkan sebelah matanya saat menatapku.
“Baiklah,” kata Sakura. “Sepertinya kau pantas mendapatkannya.”
Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, jadi aku berlari mengitari Sakura dan meraih piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...