Bab 68

1.5K 244 13
                                    

Walaupun masih hangat dan linglung karena ketiduran, aku membuka mata dan melihat cahaya redup masuk ke jendela kamar. Tak ada yang bisa menandingi kejadian tadi malam – terlalu luar biasa untuk dimimpikan.

Sakura ada di pelukanku, dan aku di pelukannya.

Ketika aku menoleh sedikit, kulihat matanya terpejam dan wajahnya tampak damai. Aku langsung teringat pertama kali kami tidur saling berpelukan, tepat setelah aku ceritakan segalanya tentang apa yang terjadi pada diriku dan penyebab orang tuaku meninggal. Bahkan saat itu, ketika aku belum terlalu mengenalnya, aku tahu bagaimana pasnya tubuhku berbaring bersamanya, tubuh kami saling melilit seperti sampul novel roman murahan. Aku tidak memahaminya saat itu, tapi sekarang aku mengerti.

Setelah bergeser sedikit, aku menyadari lenganku yang terselip di bawah tubuh Sakura kesemutan. Kukepalkan tangan beberapa kali, tapi aku tidak mau melepaskan Sakura. Akan kutahan kesemutan jika itu berarti aku bisa tetap seperti ini selamanya dan menatap Sakura.

Kuperhatikan dia tidur, sungguh terpesona oleh gerakan di bawah kelopak matanya itu, napasnya lambat berirama, dan dia menggumamkan kata-kata yang tidak bisa kupahami.

Matahari menyinari ruangan, dan ketika matanya terbuka, dia menatapku. Sakura langsung tersenyum, dan jantungku mulai berdebar kencang.

“Hai,” sapa Sakura, lalu dia cekikikan dan tersipu malu.

Aku mengalihkan pandangan, pipiku sendiri memanas. Memori malam sebelumnya melintas di kepalaku – sensasi berada di dalam dirinya, ekspresi wajahnya selama orgasme, dan kemudian tertidur bersamanya di kamarku.

“Hai,” akhirnya aku menjawab. Aku tidak bisa memaksa diri ini untuk menatap kembali matanya. Bahkan ketika aku mencoba, aku harus cepat-cepat memalingkan muka. Rupanya apapun yang terjadi tadi malam tidak benar-benar memerbaiki diriku.

Mungkin itu hanya terjadi saat bercinta.

Sakura menelusuri rahangku sebentar sebelum mengelus rambutku. Sentuhannya lembut dan hangat, mengingatkanku pada cara lain dia menyentuhku beberapa jam yang lalu. Kupejamkan mata sejenak, aku hampir bisa merasakan tangannya di dadaku … perutku …

“Apa yang kau pikirkan?”

“Hah?” aku tergagap, fantasiku buyar. “Um ... tidak ada?”

“Ah, benarkah?” Sakura tersenyum.

“Tidak juga,” aku mengaku.

Sakura menggeleng perlahan dan menarik kepalaku ke dadanya. Bibirnya mengecup rambutku.

“Aku menginginkanmu lagi,” kataku.

“Kalau begitu, mungkin kau harus melakukan sesuatu tentang hal itu.”

Wajahku memanas, dan kejantananku mulai menempel di pahanya. Kujilati bibirku dan agak meringis.

“Aku perlu ... um ... tidak sekarang,” kataku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku perlu sikat gigi,” kataku.

Dia kembali tertawa.

“Aku juga.”

Kami berbagi wastafel, kami berdua masih telanjang bulat dan berdiri di depan kaca. Ini aneh, dan aku tidak terlalu menyukainya. Entah kenapa, menyikat gigi di depan Sakura membuatku merasa jauh lebih terekspos daripada telanjang.

Syukurlah, menyikat gigi membuat payudara Sakura sedikit bergoyang, yang bisa kutonton diam-diam di cermin.

Kembali di kamarku, Sakura mendorongku ke tempat tidur dan merangkak di atas. Tangannya meluncur di sisi tubuhku, melewati pinggul, dan kemudian dia cengkeram pahaku sebentar sebelum menggenggam kejantananku yang sudah ereksi.

“Sial,” gerutuku. Aku memejamkan mata dan mendorong bagian belakang kepala ke bantal.

Sakura membungkuk dan melumat bibirku, rasa mint yang kuat mengalir di antara kami. Dia menarik diri sebentar untuk mengambil kondom dari laci, lalu bersikeras dia ingin coba memasangkannya sendiri. Awalnya Sakura tidak dapat memasangnya dengan baik, jadinya agak berkerut. Namun tak lama kemudian, dia bisa memasangnya dengan pas.

Sakura berlutut, mengangkangi pinggulku. Aku menelan ludah saat menyadari niatnya, dan kemudian kucengkeram seprai ketika melihatnya memposisikan kejantananku di sana sebelum menurunkan tubuhnya. Sakura mendesis, aku mengerang, dan kami perlahan jadi satu kembali.

Awalnya, Sakura hanya meletakkan kepalanya di dadaku saat kami berdua menikmati sensasi ini. Lalu aku menangkup wajahnya dan menciumnya perlahan, berusaha untuk tetap fokus pada mulutnya dan bukan pada gerakan lembut pinggulnya, dan bagaimana hal itu mendorongku untuk bergerak bersamanya.

Sakura duduk dan mencondongkan tubuh ke depan, rasanya seperti ada listrik yang mengalir di kejantananku sampai tulang belakang. Aku kembali mengerang, melengkungkan punggung dan mendorong tubuhku ke arahnya. Sakura mulai bergerak bersamaku – dari atas ke bawah sembari payudaranya memantul seirama. Kupegang keduanya, kutarik sedikit putingnya dan Sakura mengerang.

“Ini luar biasa,” kata Sakura sambil menarik napas.

“Bagaimana dengan ini?” tanyaku ketika aku menggerakkan tangan ke perutnya dan mulai memijat area kami bersatu.

“Ya Tuhan ... oh Sasuke ...”

Terus kuusap klitorisnya dan memegang pinggulnya dengan sebelah tangan hingga aku bisa balas dorongannya. Tangan Sakura menahan dadaku saat dia membungkuk di atas tubuhku. Rambutnya yang tergerai di atas bahu menggelitiki kulitku saat dia bergerak. Jari Sakura mencengkeram kulitku saat dia mulai menyebut namaku seperti nyanyian. Dia bergidik, dan aku mengikutinya beberapa saat kemudian.

“Ahhh!” kucengkeram pinggulnya, dan kutarik dia ke tubuhku, agar aku bisa menyentakkan kejantananku lebih jauh ke dirinya saat klimaks. Begitu cengkeramanku mengendur, Sakura berbaring di dadaku dan melingkarkan tangannya di bahu ini.

Belum bisa kuputuskan aku lebih suka posisi di atas atau di bawah, karena keduanya sungguh luar biasa, jadi sepertinya kami harus coba sekali lagi.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang