Sungguh banyak emosi yang berkecimpung di kepalaku, mungkin banyaknya hampir sama dengan rata-rata anggaran belanja anggota kongres untuk membeli kembang api perayaan kemerdekaan.
Hal pertama yang jadi fokusku adalah apa yang Sakura katakan, dan jika dia bermaksud untuk melakukannya sekarang di sini – dengan ayahnya di lantai bawah nonton pertandingan bisbol di TV. Sungguh, aku lebih dari sekedar tidak sanggup. Ini bukan karena aku tidak punya kondom di dompet – seperti Shikamaru. Dia mengaku belum sempat memakainya dan bahkan sudah lupa kondom itu ada di sana, tapi aku yakin sebenarnya dia memang tidak pernah punya kesempatan. Astaga, aku sungguh belum siap.
Sebenarnya, ada tiga alasan utama kenapa aku tidak siap.
Pertama, Sakura masih ketakutan. Kedua, ayahnya ada di bawah dan yang pasti ada dalam jarak dengar. Dan ketiga, aku tidak tahu bagaimana caranya berhubungan seks dengan seorang gadis melampaui pemahamanku tentang Tongkat A masuk ke Slot B.
Aku tahu ini reaksi terhadap apa yang terjadi pada Sakura, dan bukan sesuatu yang akan dia pertimbangkan jika peristiwa tadi malam tidak terjadi. Sakura takut dan bereaksi tanpa berpikir. Dia sama sekali tidak menginginkan itu.
Gelombang emosi menyelubungi diriku, menutupi tubuhku dengan hasrat.
Aku ingin melakukannya. Aku ingin melakukannya dengan Sakura.
Dalam fantasiku, aku tahu apa yang harus kulakukan, dan keringat membanjiri dahi Sakura sembari leher dan punggungnya melengkung ke belakang sambil menyebut namaku. Kejantananku keluar-masuk dengan mudah dari dirinya, dan sentuhan jemariku yang terampil membuat tubuhnya yang membara itu gemetaran. Kami bercinta selama berjam-jam, meskipun fantasi itu sendiri hanya bertahan beberapa menit. Tetap saja, aku tidak menyangka Sakura sungguh meminta hal ini dariku.
Tapi itu tidak masalah.
Terlepas dari keinginan yang kumiliki, aku takkan berhubungan seks dengannya ketika ada pemilik kumis yang sering bergerak-gerak itu duduk di lantai dasar, tepat di bawah kami.
Memikirkan Paman Kizashi dan ketidaksiapanku sendiri sudah cukup untuk membuatku gelisah, dan digabungkan dengan pendapatku bahwa Sakura berkata seperti itu karena dia takut, membuatku jadi kewalahan.
Jemari Sakura di rahangku terasa seperti listrik, dan aku merasa seolah-olah telah disetrum langsung di tempat tidur. Aku jatuh ke lantai dan kepalaku membentur bilah kayu. Ketika kubuka mata, kulihat sepasang kaus kaki kotor warna biru di bawah tempat tidur berdebu yang membuatku bingung.
“Tidak … tidak … tidak … tidak tahu … tidak … tidak … tidak … tidak …”
Anggota tubuhku bertindak sendiri, dengan cepat aku melintasi kamar sampai punggungku menempel di pintu lemari Sakura. Tubuhku mulai bergetar, dan detak jantungku yang cepat mengancam hendak melompat dari dada. Aku berjalan ke sudut antara dinding belakang kamar dan lemari, lalu meringkuk. Aku bahkan tidak melawan saat pikiranku mulai menutup diri, melindungiku dari segala sesuatu di luar sana. Aku tahu aku tidak bisa menangani ini, jadi kubiarkan panik membawaku pergi.
Sungguh menghibur rasanya ketika aku mundur ke dalam diri sendiri. Segala sesuatu di sekitarku menghilang begitu saja, karena aku berhenti berpikir. Kalau saja fisikku juga bisa melakukan reaksi yang sama di saat yang bersamaan, hingga jantungku tidak berdebar kencang dan aku tidak kesulitan bernapas, maka ini akan menyenangkan.
Tentu saja, jika demikian, aku takkan repot-repot ingin kembali sadar.
Melalui napasku yang tercekat, samar-samar kukenali suara Sakura. Aku tidak paham kalimatnya, tapi aku tahu dia sedang bicara denganku. Ada sesuatu yang dia coba beritahu – sesuatu yang dia ingin aku lakukan – tapi aku telah terdorong ke alam bawah sadar.
•••
Sakit yang sungguh lain terasa di bahuku merayap hingga ke leher, dan aku bertanya-tanya berapa lama aku meninju samsak. Namun, ada yang tidak beres, karena aku duduk dalam posisi yang tidak nyaman, dan tidak berbaring di tempat tidurku atau sofa seperti biasanya setelah latihan yang panjang. Aku sadar kepalaku rebah di lutut, dan kakiku ditarik erat-erat ke dada.
Sial, sial, sial.
Saat-saat menjelang serangan panikku kembali lagi, ini agak lebih lambat dari yang sebelumnya, tapi hampir sama kuatnya. Tangan Sakura menyentuh rambut tepat di atas telingaku, dan dia belai rahangku.
“Aku minta maaf, aku minta maaf,” bisiknya lagi dan lagi.
“Aku ... aku ... aku tidak bisa, Sakura!” aku tergagap. “Kau cuma takut! Aku tidak … aku tidak mau melakukannya hanya karena kau takut!”
Tangan Sakura bergerak melingkari kepalaku dan menarikku ke bahunya. Tubuhku menolak pada awalnya, tapi aku ditenangkan oleh aroma Sakura hingga dahiku menempel di dahinya. Dengan tangannya di rambutku, Sakura hanya berbisik shh berulang kali selama beberapa menit.
Akhirnya napasku melambat dan detak jantungku kembali normal. Begitu tubuhku tenang, aku sadar betapa gelisahnya Sakura dan mendongak, dia berlinang air mata dan aku meringis, karena akulah yang bertanggung jawab.
“Kau ketakutan,” bisikku.
“Aku ingin melakukannya,” desak Sakura.
“Tidak ketika kau ketakutan begini.” Aku menggelengkan kepala, mengusap pipiku di atas lengannya. “Aku tidak ingin itu terjadi ketika kau masih ketakutan.”
“Bukan itu alasannya,” kata Sakura.
Kutatap dia sebentar, dan aku menyipitkan mata. Sakura menghela napas.
“Itu bukan satu-satunya alasan.”
“Ayahmu ada di bawah ...”
“Aku tidak bilang sekarang,” kata Sakura sambil menghela napas lagi. “Mestinya aku sadar aku tidak bisa memberitahumu begitu saja secara tiba-tiba. Hanya saja, aku tak pernah tahu apa yang akan membuatmu gundah. Saat kita ... di gang itu ... aku bahkan tidak sempat berpikir untuk berteriak, tapi kau menjatuhkan mereka berempat. Kau terlihat sangat … aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.”
“Maksudmu apa?”
“Kau sangat marah,” kata Sakura pelan. “Tapi tenang pada saat yang bersamaan. Segera setelah kau ... segera setelah kau menariknya dariku dan Sasori melepaskanku ... aku melihatmu dan aku langsung tahu semuanya akan baik-baik saja. Kau ... benar-benar memegang kendali. Saat itulah aku baru jatuh ke tanah, karena aku tahu aku aman.”
Sakura meraih daguku dan memiringkan kepalaku sedikit. Aku tidak menatap matanya.
“Bagaimana caranya kau bisa begitu tenang dengan semua itu?”
“Aku tidak tahu,” kataku sambil mengangkat bahu. “Hanya saja aku tidak bisa biarkan mereka menyakitimu.”
Pada titik tertentu, kami berdiri dari lantai dekat lemari Sakura dan merangkak kembali ke tempat tidurnya, sungguh kelelahan. Kulingkarkan tanganku di bahu Sakura dan memeluknya erat sambil memikirkan betapa cepatnya peran kami bisa berganti lagi – aku yang gundah dan dia yang menenangkanku. Sakura menghela napas sebelum meringkuk ke dadaku dan memejamkan mata. Cahaya kelabu dari pagi yang mendung menembus tirai tipis yang tergantung di jendelanya.
“Apa pernah kau memikirkan hal itu?” kata Sakura pelan.
“Tentang apa?” tanyaku, agak termenung melihat debu kecil yang mengambang di atas tempat tidur.
“Tentang kau dan aku ...” suara Sakura jadi sangat pelan. “Kita ... bercinta.”
Aku menelan ludah dengan susah payah dan berusaha agar jantung ini tidak kemana-mana. Sebelum aku selesai memproses dengan tepat apa yang dia katakan, mulutku sudah terbuka.
“Ya.”
Aku tidak bisa menarik kembali kata itu, jadi aku bersembunyi di bawah bantal Sakura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...