Bab 53

1.2K 288 84
                                    

Aku dan Sakura duduk di kursi belakang mobil sementara Bibi Rin dan Paman Kakashi berada di depan. Bibi Rin mengemudi dengan lambat, meskipun dia suka melaju kencang. Dia tahu itu membuatku gugup. Paman Kakashi sibuk mengotak-atik radio saat kami sampai di perbatasan menuju Sunagakure.

Sakura datang lebih awal untuk membantuku mempersiapkan diri, tapi aku tidak mengalami hari yang baik. Tak satu pun hal yang kukatakan terasa benar, dan dia mulai melayangkan tatapan aneh padaku. Saat ini, Sakura menyandarkan kepalanya ke bahuku dan tetap diam. Aku punya firasat Sakura tahu aku sedang tidak ingin bicara.

Kepalaku dipenuhi oleh kenangan tentang Itachi.

Aku ingat hari ketika aku menyadari Itachi berbeda dariku. Aku dapat kado ulang tahun mainan kereta api lengkap dengan relnya, aku bersama Itachi duduk di lantai dapur dan memerhatikan kereta api itu berjalan dalam lingkaran. Itachi tiba-tiba berdiri dan mulai berputar-putar sendiri. Itu tidak terlalu aneh, tapi dia tidak mau berhenti, bahkan setelah kepalanya sampai berdarah mengenai pintu kulkas.

Aku bertanya pada Ibu kenapa Itachi berbuat begitu, dan Ibu memberitahu bahwa Itachi berbeda dari orang lain, dan itulah kenapa dia sangat menyukai jam. Tentu saja aku sudah tahu hal itu – Itachi mengambil segala jenis jam atau arloji, lalu menyembunyikannya di bawah tempat tidur.

Terkadang dia merangkak ke bawah sana dan diam mendengarkan detak jam. Aku ikut bersamanya sekali, dan kami berdua terus berada di kolong tempat tidur mendengarkan detak jam sampai Ibu menghentikan kami.

“Oh ya,” gumamku, membuat Sakura kaget. “Ini.”

Kuberikan sebuah arloji kecil pada Sakura.

“Apa ini?”

“Ini ... um ... ini milik ibuku,” kataku. “Itachi suka jam dan arloji. Jika dia melihatmu memakainya … ya, mungkin dia juga akan menyukaimu.”

Kuangkat tanganku dan menunjukkan pada Sakura aku juga pakai arloji. Sakura memasangnya di pergelangan tangan, dan kubantu dia mengencangkan tali.

“Terima kasih,” kata Sakura pelan. Dia kecup rahangku sebentar, membuat tubuhku agak menggigil.

Bangunan institusi tempat tinggal Itachi tinggi, bercat putih, dan dikelilingi taman. Ini hari yang hangat dan cerah. Kami temukan Itachi di luar setelah aku selesai menandatangani dokumen. Ada sekelompok anak kecil di dekatnya, dan seorang wanita meniup gelembung sabun untuk mereka. Beberapa anak menonton dan berusaha menyentuh gelembung itu, tapi beberapa di antaranya diam saja.

Itachi sedang duduk di belakang bangku kayu, jauh dari kelompok lain. Rambutnya nyaris mengenai mata selagi dia menunduk memerhatikan barisan semut yang membawa remah-remah di rerumputan. Dokter Tsunade sedang duduk di bangku dan menulis catatan.

“Halo, Sasuke,” kata Dokter Tsunade. Dia ulurkan tangan untuk menjabat tanganku, dan tak lama kemudian baru aku sadar seharusnya aku melakukan hal yang sama. Tangan kami bersentuhan sebentar sebelum dia pindah ke Paman Kakashi dan Bibi Rin. “Dan siapa ini?”

Dengan mengalihkan pandanganku dari Itachi sejenak, aku melihat ke arah Dokter Tsunade.

“Ini Sakura, Dokter,” kataku.

“Senang bertemu denganmu, Sakura,” kata Dokter Tsunade sambil tersenyum.

“Senang bertemu denganmu, Dokter,” jawab Sakura. “Aku kekasih Sasuke.”

“Benarkah?” Senyum Dokter Tsunade makin lebar, tapi aku tidak terlalu perhatikan. Aku melangkah ke arah kakakku.

“Harinya kurang menyenangkan,” terdengar dokter berkata pada Paman Kakashi. “Sebagian besar sarapannya berakhir di lantai. Dia juga tidak mau bicara. Obat baru yang dia konsumsi telah membantu untuk sementara waktu, dan kupikir kami sedang berproses, tapi dia tidak mau bicara sejak kemarin.”

Aku menjauh dari mereka dan pergi menemui Itachi. Kulitku terasa seperti bergetar saat mendekati kakakku itu. Rasanya semua rambut halus di lenganku berdiri dan menunjuk ke arahnya – menarik aku lebih dekat. Itachi tidak bergerak atau mengatakan apapun, dia hanya terus nonton semut.

Perlahan, aku duduk di samping Itachi di tanah dan bersandar di dekatnya, tapi tidak sampai menyentuhnya. Kuangkat tanganku dan mendekatkan pergelangan tangan ke telinganya. Semut melanjutkan perjalanan – setengah dari mereka tidak bawa apa-apa dan terus menuju ke satu arah, setengah lainnya menuju ke arah yang berlawanan dengan membawa remah-remah warna putih.

Setelah beberapa menit, Itachi bergerak.

Dia raih pergelangan tanganku, lalu mendekatkannya ke wajah, jadi dia bisa lihat bentuk arloji yang kukenakan itu. Pada saat yang sama, dia mendekat ke arahku.

“Arloji ini memiliki angka Romawi,” kata Itachi pelan.

“Bagaimana cara semut mengetahui waktu?” tanyaku.

“Tidak ada arloji seukuran mereka,” jawab Itachi.

“Jadi bagaimana caranya mereka tahu kapan harus pulang?”

“Ada empat jam di kamarku.” Jari Itachi menelusuri permukaan kaca arlojiku. “Empat jam.”

“Empat jam,” ulangku. “Satu berwarna hitam.”

“Mata adikku berwarna hitam.”

Aku sedikit membeku, otot-ototku jadi tegang. Leherku rasanya panas dan terasa ada tekanan di mata ini. Aku bisa menghitung berapa kali Itachi mengucapkan kata adik dengan sebelah tangan.

“Aku di sini,” bisikku. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi kami saling bersandar. Semut melanjutkan tugas mereka, terlepas ada atau tidaknya penunjuk waktu mereka. Ketika langit jadi gelap, mereka menghilang ke dalam lubang, dan seseorang menyentuh pundakku.

“Sudah waktunya pulang, Sasuke.”

Aku mendongak dan melihat Paman Kakashi. Di belakangnya ada Sakura dengan ekspresi aneh di wajahnya. Perlahan, kutarik tanganku dari Itachi, dan tangan Itachi jatuh dari pergelangan tanganku.

“Itachi harus bertemu Sakura,” aku tiba-tiba ingat.

Sakura mengambil langkah ke sini, tapi dia ragu-ragu. Kuulurkan tangan dan meraih tangan Sakura untuk membimbingnya lebih dekat ke kakakku, lalu aku agak menariknya ke bawah sehingga kami berdua duduk di samping Itachi.

“Itachi, ini Sakura.” Kuambil tangan Itachi dengan tangan kanan, dan tangan Sakura di tangan kiriku, lalu mendekatkan mereka. Itachi segera melihat arloji di pergelangan tangan Sakura, dan tatapannya terpaku di sana. “Sakura, ini kakakku, Itachi.”

“Hai, Itachi,” sapa Sakura, suaranya tak lebih dari sekedar bisikan.

Itachi tidak merespons, tapi tetap fokus pada arloji di pergelangan tangan Sakura. Matanya menyipit, dan dia jadi cemberut.

“Salah,” geram Itachi. Sakura agak tegang di sampingku. “Salah, salah …”

“Sial, sial, sial,” gerutuku.

“Ada apa ini?” tanya Paman Kakashi.

“Kurasa dia mengenali jam tangan Ibu,” kataku.

Itachi jelas berubah kesal, dan mulai mengayunkan dirinya ke depan dan ke belakang, membenturkan kepalanya ke bangku pada saat yang bersamaan sambil terus mengulangi kata yang sama. Dokter Tsunade datang, dan dengan bantuan perawat, kami bawa Itachi kembali ke kamarnya.

“Apa kalian harus membiusnya?” tanya Bibi Rin cemas.

“Semoga tidak,” jawab Dokter Tsunade. “Mungkin Sasuke bisa menenangkannya.”

Perawat itu menjauh dari Itachi yang tengah duduk di tepi tempat tidur. Dia peluk tubuhnya sendiri sambil terus bergoyang-goyang.

“Itachi,” kataku pelan sambil mendekatkan pergelangan tanganku ke telinganya. Dia berbalik dan meraih tanganku, lalu menarikku ke tempat tidur di sampingnya.

“Salah,” katanya lagi. Untuk sejenak, dia menatap wajahku. Dia bicara sangat-amat pelan, jadi hanya aku yang bisa dengar. “Kau seharusnya memberi cincin, bukan arloji.”

Aku tidak percaya Itachi bilang begitu, jadi aku tertawa terbahak-bahak.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang