Bab 20

1.2K 263 18
                                    

“Kau ingin aku melakukan apa?”

Sakura berdiri di tengah garasi dengan tangan disilangkan di dada. Dia ketuk-ketukkan sebelah kakinya di lantai dan bolak-balik melihat aku dan tong sampah di antara kami.

“Mungkin langsung ... keluarkan saja isinya?” Rupanya saranku tentang dia ambil satu per satu sampah dari kantong plastik sungguh tidak membuahkan hasil. Itu mungkin karena aku menolak – dengan alasan aku akan terdengar seperti orang tolol – memberitahunya apa yang kucari.

Mungkin aku ini memang tolol.

Kulingkarkan tangan di tubuhku dan bertanya-tanya apa secara fisik aku bisa melilitkan tangan ini di sekeliling tubuh.

“Kau ingin aku keluarkan seluruh isi tong sampah ini,” kata Sakura.

Aku mengangguk.

“Di lantai garasi.”

“Tidak ada ruang untuk menyebarkannya di tempat lain,” kataku, berharap setidaknya itu terdengar masuk akal.

Sakura menggelengkan kepala.

“Tapi kau tidak akan memberitahuku apa yang kita cari?” tanya Sakura lagi.

“Tidak,” aku menegaskan.

“Kenapa tidak?”

Aku tidak menjawab. Mataku tertuju pada bagian atas tong sampah dan kantong plastik yang mencuat di atasnya. Kucoba meyakinkan diriku untuk melangkah maju dan setidaknya membuka simpul kantong sampah itu, tapi aku tidak bisa. Tak seharusnya aku buka kantong sampah setelah diikat.

Sakura menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Dia bergumam pelan, lalu memiringkan tong sampah dan meraih bagian atas kantong plastik, mengangkatnya, dan menjatuhkannya ke lantai. Aku jadi melompat kaget. Sakura memutar bola matanya dan mengernyitkan hidung saat dia berjongkok dan merobek plastiknya.

Merobeknya.

“Tak bisakah kau lepaskan saja ikatannya?” tanyaku ngeri.

“Pernah dengar kalimat jika minta bantuan jangan pilih-pilih?” Sakura kembali tersentak. “Aku tidak percaya aku melakukan ini.”

“Aku minta maaf,” bisikku.

Sakura membalikkan kantong dan membiarkan semuanya jatuh. Hanya dengan melihat semua sampah di lantai saja sudah cukup untuk membuatku mual, dan tiba-tiba ideku memenangkan sejumlah uang dari tiket lotere tampak konyol.

“Oh, Tuhan,” gerutu Sakura sambil melihat sisa-sisa makanan dari kantong restoran, “aku benci masakan Restoran Ichiraku.”

“Benarkah?” tanyaku, sejenak pikiranku teralihkan karena ada penduduk Konohagakure yang benci dengan masakan Ichiraku.

“Ya,” kata Sakura, “baunya tidak enak.”

“Sekarang memang begitu,” aku setuju. “Itu sebabnya aku tidak sanggup menyentuhnya.”

“Oh, tapi aku sanggup?” Sakura mengangkat alis saat dia tendang beberapa sampah dengan ujung sepatu, menyebarkannya ke sekeliling. “Sekarang kau mau memberitahuku apa yang sedang kucari?”

Kuamati lantai, tapi aku tidak bisa fokus pada semua itu. Ini terlalu berbahaya. Kupikirkan apa yang Sakura katakan dan menyadari betapa menyebalkannya aku karena telah meneleponnya pagi-pagi sekali.

“Sial, sial, sial,” gerutuku pelan. Kutarik rambutku dengan keras saat terduduk di lantai, lalu memeluk lututku. “Aku minta maaf!”

“Jangan lakukan itu,” Sakura menghela napas. Aku bisa dengar Sakura berjalan ke mari, dan merasakan kehadirannya di samping saat dia berlutut. “Tidak apa-apa, sungguh.”

“Aku tidak tahu harus menelepon siapa lagi,” bisikku. “Nomormu ada di sana ... di dekat telepon. Seharusnya aku tidak menelepon ... Maaf, maaf, aku—”

“Berhenti,” perintah Sakura, dan aku melakukannya. “Tidak apa-apa, sungguh. Aku hanya … aku tidak tahu kita sebenarnya cari apa.”

“Tidak masalah,” kataku. “Ini bodoh. Maaf, Sakura. Aku seharusnya tidak menelepon. Aku takkan melakukannya lagi—”

“Sasuke, hentikan!” kata Sakura. Aku melompat sedikit ketika merasakan tangannya menyentuh bahuku. Sentuhannya lembut. Setelah satu menit, aku jadi rileks dan dia kembali bicara. “Harus kuakui bukan ini yang ada di pikiranku ketika kau menelepon dan bilang ada yang mendesak, dan entah apa yang terjadi di sini, tapi yang jelas ini penting bagimu. Aku hanya tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan untuk membantumu.”

“Tidak ada,” kataku pelan. “Aku tidak ingin kau mencarinya.”

“Aku sudah terlanjur di sini,” kata Sakura.

“Maaf,” ulangku lagi.

Kudengar Sakura kembali menghela napas, dan kemudian dia keluarkan ponselnya dan menekan sebuah tombol. Cahaya dari layar menyinari wajahnya.

“Sial,” geram Sakura. “Kita harus pergi atau kita akan terlambat ke sekolah.”

Aku langsung sadar saat ini aku hanya pakai celana santai yang dibelikan Bibi Rin sebagai kado Natal. Aku bahkan tidak berpikir untuk berangkat sekolah, dan tiba-tiba kulawan serangan panik takut terlambat. Aku belum terlalu larut memikirkan hal itu, Sakura sudah memberitahuku jam berapa sekarang, dan aku tahu aku bisa siap-siap tanpa harus terburu-buru. Bergegas membuatku gelisah dan merusak seluruh hariku.

Aku mandi, berpakaian, dan mengambil tas. Sakura ada di dapur saat aku turun, memegang tisu yang berisi dua potong roti panggang yang diolesi mentega.

“Aku tidak tahu apa yang biasanya kau makan untuk sarapan,” kata Sakura sambil mengangkat bahu. Pipinya jadi merah merona. “Roti panggang tidak apa-apa? Kita benar-benar harus berangkat.”

“Ya,” jawabku sambil mengulurkan tangan dan mengambil roti darinya. Sejenak kulihat roti panggang itu, lalu kupandangi wajah Sakura, dan untuk sesaat, kami saling bertatap-tatapan sebelum aku memalingkan muka dan kembali melihat roti. “Terima kasih.”

“Terima kasih kembali!” kata Sakura bersemangat.

Kami berjalan keluar garasi untuk menuju mobil Sakura. Saat kami berjalan melewati kekacauan, aku terperanjat dan menggelengkan kepala. Aku benar-benar bodoh, itu tidak diragukan lagi. Hanya saja aku senang Sakura sepertinya tidak terlalu marah padaku. Saat aku melangkah dengan hati-hati di dekat kekacauan itu, kulihat kertas persegi panjang berukuran kecil, terlipat rapi jadi dua.

Aku tidak boleh terlambat ke sekolah, jadi kuhabiskan sepanjang hari memikirkan kertas itu.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang