Bab 40

1.2K 278 41
                                    

“Apa kau ingin aku mengulanginya lagi?” tanya Sakura sambil menoleh ke balik bahu dan mundur dari halaman rumahku.

Aku jadi bertanya-tanya apa Sakura orang yang paling sabar di dunia, atau apa dia cuma bersikap akomodatif karena suatu alasan. Kucolek goresan berbentuk ikan kecil di pintu penumpang mobilnya dan menjawab setuju.

“Kita tidak menyembunyikan apa pun,” kata Sakura. “Semua orang di sekolah yang melihat kita akan tahu kita pacaran. Setelah aku parkir mobil, kita akan berjalan ke gedung bersama, dan aku akan memegang tanganmu. Kita akan pergi ke lokermu, aku kecup pipimu, dan kemudian kita jalani hari seperti biasa. Kita makan siang bersama, pergi ke kelas biologi, dan kemudian kembali ke rumahmu untuk mengerjakan PR, nonton televisi, dan bercumbu di sofa.”

Aku tertawa. Sakura belum pernah mengucapkan bagian terakhir itu sebelumnya, tapi aku jadi menanti-nantikannya, karena beberapa menit berikutnya hariku akan jadi berat.

“Dan,” kata Sakura penuh otoritas, “kau akan baik-baik saja dengan semua hal itu.”

“Apa kau yakin?” tanyaku.

“Sangat yakin,” jawab Sakura.

“Dan setelah kita kembali ke rumahku, tapi sebelum mengerjakan PR?”

“Kue.”

Aku tersenyum lebar. Itu bagian favoritku dari keseluruhan rencana.

“Tapi hanya jika kau tenang hari ini.”

“Aku tahu.”

Sakura menghela napas dan berbelok ke sekolah kami. Dia terdiam sejenak, dan kupkirkan seperti apa kejadian yang akan berlangsung hari ini. Aku tahu orang-orang akan melihat kami, dan aku pun tahu mereka akan bicara, menatap, dan bertanya-tanya kenapa gadis seperti Sakura mau bersama lelaki seperti aku. Aku tahu itu, dan aku jadi makin gugup.

“Aku ingin bersamamu,” kata Sakura pelan, dan aku meliriknya, bertanya-tanya apa dia bisa baca pikiranku. “Siapa pun yang memberimu kesempatan akan tahu kenapa aku bersamamu.”

Kulihat ke luar jendela dan merenung sejenak.

“Banyak orang tidak memberiku kesempatan,” kataku akhirnya. “Maksudku, beberapa sudah mencoba, tapi menghadapiku sungguh sangat melelahkan.”

Sakura terkekeh.

“Ya, benar,” Sakura setuju. “Namun pada akhirnya, kau sangat menakjubkan. Kau hanya perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan hal itu pada orang-orang. Selain itu, kau tidak tahu bagaimana para gadis di sekolah membicarakanmu.”

“Apa?” Aku menyipitkan mata dan melihat ke samping.

“Sasuke ... bagaimana cara aku mengatakan ini?” Sakura menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi perlahan. “Kau sangat tampan. Semua gadis di sekolah berpikir begitu, dan setengah populasi SMA akan cemburu padaku.”

Aku jadi ingat komentar yang ditunjukkan Bibi Rin padaku di laman Facebook, tapi kami sudah sampai di parkiran sekolah sebelum kami sempat membicarakannya lagi. Jantungku berdetak lebih cepat saat kami berhenti di tempat parkir dan Sakura matikan mesin mobilnya.

“Apa kau siap?” tanya Sakura.

“Tidak,” kataku terus terang.

“Apa kau sesiap yang kau bisa?” Sakura menekankan.

“Mungkin.”

“Baiklah kalau begitu!” Sakura melepas sabuk pengaman sementara aku tetap diam, berusaha menarik napas dalam-dalam. Kulihat Sakura mengambil tas dan menyandangnya ke bahu, tapi aku tetap tidak bergerak.

Kurasakan sentuhannya di lenganku saat dia mulai bicara dengan lembut.

“Kita tidak harus berpegangan tangan,” kata Sakura pelan. “Kita bisa masuk seperti biasanya jika kau belum siap. Aku tidak ingin memaksamu. Kau tahu itu, bukan?”

“Aku tahu,” jawabku. Kupikirkan sejenak, Sakura menunggu dengan sabar aku lanjut bicara. “Aku ingin jalan bersamamu. Aku ingin semua orang tahu kita pacaran ... Aku hanya … aku tidak suka orang melihatku, dan mereka akan melakukannya.”

“Kita bisa tunggu sampai besok.”

Kulirik Sakura, dan kemudian melihat ke luar jendela.

“Apa akan berbeda jika kita lakukan besok?”

“Mungkin tidak.”

“Kalau begitu, aku harus melakukannya hari ini.”

Sakura membuka pintu, berjalan ke sisi mobil dan menungguku keluar. Kucolek goresan berbentuk ikan itu dua kali – ini pasti sudah jadi kebiasaan, dan aku bahkan tidak bisa bilang kenapa – sebelum aku keluar dan dengan ragu-ragu memegang tangan Sakura. Dengan menatap singkat matanya dan menghela napas panjang, kami berjalan ke gerbang masuk bergandengan tangan.

Sakura mencondongkan tubuhnya agak lebih dekat ketika segerombolan murid sungguh berhenti dan melongo menatap kami. Aku menunduk, tapi aku masih bisa rasakan tatapan mereka ke tangan kami. Sakura mengangkat kepalanya tinggi-tinggi sambil tersenyum, tapi aku terus menundukkan kepala dan mencoba berjalan lebih cepat.

Begitu kami sampai di lokerku, kuhembuskan napas yang sedari tadi kutahan. Di titik ini, sebagian besar murid bisik-bisik dan curi-curi pandang saat mereka berjalan cukup dekat untuk mendengar kami bicara.

“Bagaimana?” bisik Sakura.

“Baik, kurasa,” jawabku. Suaraku tidak terdengar meyakinkan. “Mereka semua melihat kita.”

“Yang itu tidak,” kata Sakura sambil mengangguk ke arah bahuku. Kulirik orang itu, dia memukul pintu lokernya setelah memasukkan kunci. Saat aku melihatnya, dia tiba-tiba melihat ke arah kami dan langsung menganga.

“Tidak jadi,” kata Sakura sambil menghela napas.

Kualihkan perhatian ke barang-barang di loker, memastikan semuanya berada di tempat yang tepat dan meluruskannya sedikit. Tindakan itu membuatku agak rileks, dan ketika aku meluruskan lagi folder dan buku yang kubutuhkan untuk dua kelas pertama, kulihat Sakura tersenyum.

“Kau melakukan ini dengan luar biasa,” kata Sakura. “Aku bangga padamu.”

Mau tak mau aku balas tersenyum, dan meskipun aku tidak bisa menemukan kata untuk mengungkapkan betapa ini sungguh berarti bagiku, kucoba menatap mata Sakura sedikit lebih lama untuk menunjukkan padanya bagaimana perasaanku. Sakura sepertinya paham, dan dia remas tanganku sebentar sebelum berjinjit dan mengecup pipiku.

“Semua gadis di sini sangat iri padaku sekarang,” bisik Sakura di telingaku. “Aku bisa tahu itu dari langkah kaki mereka. Dalam waktu dekat, kau akan tunjukkan pada semua orang betapa hebatnya dirimu.”

“Aku tidak begitu yakin tentang hal itu,” jawabku, menatap matanya lagi. Kulihat folder yang kupegang dan kulepaskan tangannya sebentar untuk mengusap rambutku. “Sepertinya kau tidak sadar betapa menyebalkannya aku.”

Sakura tertawa sambil meletakkan tangannya di lenganku.

“Oh, jangan yakin begitu,” kata Sakura tersenyum lebar. Dia kecup pipiku lagi sebelum melepaskan lenganku dan berjalan di lorong menuju kelas pertamanya.

Orang-orang masih menatapku – beberapa tampak terkejut, beberapa tampak kagum, dan beberapa tampak kebingungan. Aku tidak lagi memerhatikan mereka dan aku berbalik, lalu berjalan cepat menuju kelas pertama. Jika mereka masih menatapku, mereka akan lihat aku tersenyum.

Aku tidak percaya betapa beruntungnya aku, jadi kucoba menerima semua hal ini dengan tenang.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang