Bab 18

1.2K 286 62
                                    

Meskipun ini membuatku terlihat seperti anak berusia sembilan tahun, tapi aku tetap duduk di meja dapur dan menjilati adonan krim stroberi yang menetes dari adukan. Bahkan aku tidak peduli sudah kenyang makan malam.

Bibi Rin baru saja selesai membuat adonan kue dan akan memasukkannya ke dalam oven. Kulihat dia ratakan adonan itu dengan spatula, cara lengan dan alatnya bergerak bersama tampak seperti sebuah tarian. Bibi Rin bersenandung saat bekerja, dan aku teringat Ibu berdiri di tempat yang sama membuat makan malam untukku dan Itachi.

“Kau baik-baik saja?” tanya Bibi Rin.

“Ya,” jawabku otomatis. Itu salah satu dari sedikit pertanyaan yang telah terlatih kujawab, karena tidak perlu pikir panjang dan harus direspons dengan cepat. Ibu berusaha keras melatihku setelah aku tidak sengaja melukai diri sendiri saat memegang perkakas milik Ayah di garasi dan aku hanya duduk diam di sana berdarah-darah sementara Ibu menunggu jawabanku. Begitu Ibu tahu aku terluka, Ibu sungguh ketakutan, dan kemudian Ibu habiskan waktu berbulan-bulan untuk pastikan aku merespons dengan ya atau tidak untuk pertanyaan sederhana itu tanpa harus berpikir.

Bibi Rin membuka oven yang sudah dipanaskan dan memasukkan loyang kue ke dalamnya sementara aku selesai menjilati pengaduk adonan. Aku agak mengerang karena rasanya – ini sangat enak, aku tidak bisa menahan diri. Bibi Rin tersenyum dan melipat tangan di depan dada.

“Aku selalu berharap kakakmu menikmati kueku seperti dirimu,” kata Bibi Rin. Satu hal yang bisa diandalkan dari Bibi Rin adalah dia akan utarakan apa pun yang dia pikirkan. Orang lain mungkin akan menyembunyikannya, tapi dia tidak begitu.

“Itachi tidak suka apa pun,” kataku, “kecuali jika Bibi melukis angka di wajah Bibi dan menempelkan jarum jam di hidung.”

Bibi Rin perlahan menggelengkan kepala.

“Ayolah,” kata Bibi Rin. “Jangan mengulur waktu. Ceritakan padaku tentang Sakura.”

Kuambil mangkuk adonan dan pengaduknya, lalu membawanya ke wastafel. Bibi Rin duduk sambil menyaksikan aku mencuci semuanya. Bibi Rin tidak pernah mencuci atau mengeringkan piring dengan benar, dan dia tahu aku takkan mau terima bantuan. Bibi Rin tidak repot-repot bertanya lagi padaku. Walaupun Bibi Rin tidak memiliki keterampilan dalam mencuci piring, dia menebusnya dengan kesabaran. Bibi Rin menunggu tanpa berbicara sampai aku selesai.

“Aku tidak tahu harus berkata apa tentangnya.”

“Katakan padaku seperti apa dia.”

“Rambutnya merah jambu dan matanya hijau,” kataku. “Dia pendek.”

“Dia memang pendek atau pendek dibandingkan denganmu?”

“Dia pendek. Dia hanya setinggi dadaku.”

“Hmm ...” gumam Bibi Rin. “Lanjutkan.”

“Tangannya kecil,” kataku, “dan aku suka tatapan matanya saat dia tersenyum.”

“Apa dia cantik?”

“Ya,” jawabku tanpa ragu.

“Jadi, dia sekelas denganmu?” tanya Bibi Rin. “Maksudku, satu angkatan?”

“Ya.”

“Pacarnya banyak?”

Aku hampir menjatuhkan mangkuk yang kutaruh.

“Aku ... aku tidak tahu,” kataku akhirnya. “Beberapa orang ... mungkin.”

“Dia punya modal,” kata Bibi Rin.

Tanganku mulai gemetar.

“Hentikan,” Bibi Rin memperingatkan. “Kau berjanji dan kita bahkan belum mulai. Kau masih mau kueku?”

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang