Waktu berhenti, kemudian dimulai lagi, lalu jadi tidak relevan saat aku berbaring miring di kursi mobil, menatap kehampaan. Jantung berdebar kencang, dan napasku tersengal-sengal. Untuk sejenak, tubuhku bergetar, meskipun berangsur-angsur tenang karena lelah.
Hari mulai gelap dan hujan pun turun.
Napasku sedikit melambat, tapi jantung masih berdetak kencang. Lebih dari segalanya, aku kaku dan mati rasa. Ini sungguh menyedihkannya. Betapa konyolnya aku – berpikir aku benar-benar bisa memiliki hubungan normal dengan seorang gadis. Tentu saja ayahnya ingin bertemu denganku – maksudku, aku akan bawa putrinya keluar kota selama beberapa jam. Ayah mana yang tak ingin bertemu dengan lelaki yang akan berkencan dengan putrinya?
Aku bahkan tak bisa berjalan ke pintu rumahnya.
Aku bahkan tak bisa parkir di halaman rumahnya.
Aku bahkan tak bisa menghentikan mobil.
Sakura jelas orang yang sangat istimewa, dan dia pantas dapat yang terbaik. Itu bukan aku. Dia pantas bersama seseorang yang takkan panik hanya karena dia berargumen di depannya, atau karena dia ingin nonton televisi sebelum mengerjakan PR.
Aku agak bergidik memikirkannya.
Sakura layak dapat seseorang yang bisa memberinya apa saja dan segalanya, namun aku bahkan tak bisa menawarkan sebuah kencan normal di mana aku ketuk pintu rumahnya, menjabat tangan ayahnya, memanggil dia Tuan, dan berjanji akan membawanya pulang sebelum tengah malam. Aku tak bisa melakukan semua itu.
Tanganku terulur untuk membuka kotak kecil yang dirancang untuk menyimpan uang koin. Di dalamnya ada tutup botol minuman berwarna biru. Ayah terlalu sering minum air kemasan, apalagi ketika Ibu tidak lihat. Ibu juga bilang itu mahal, tapi Ayah berkata rasanya lebih enak, jadi dia beli di mesin jual otomatis di tempat kerja dan meminumnya dalam perjalanan pulang.
Aku ingat betapa cekatannya Ayah membuka tutup botol dengan satu tangan dan mengemudi dengan sebelah tangan. Aku jadi takut ketika Ayah melepaskan satu tangan dari kemudi, tapi Ayah bisa membuka botol dengan cepat, sampai-sampai aku hampir tak menyadarinya. Ayah akan meminum habis semuanya dan mengecap ketika selesai. Kemudian Ayah lupa telah meninggalkan tutup botol di dalam mobil ketika dia buang botol itu di tempat sampah daur ulang dekat rumah, dan Ayah jadi panik sendiri takut Ibu akan tahu.
Kuambil tutup botol itu dan mencengkeramnya, kupikirkan wajah Ayah jadi merah dan terlihat sangat bersalah saat Ibu lewat. Ibu tahu Ayah telah melakukan sesuatu, dan dengan sengaja akan berbuat sesuatu agar Ayah makin gelisah sampai Ayah mengaku sendiri. Ayah masih akan tetap melakukannya lagi di keesokan harinya.
Mereka selalu berakhir dengan tersenyum, tertawa, dan saling berpelukan.
Sakura juga pantas mendapatkannya, dan dia takkan dapat hal seperti itu dari aku. Aku takkan bisa bercanda dengannya mengenai hal semacam itu, dan jika dia pura-pura marah – sekali pun tujuannya bercanda – aku akan jadi kacau balau seperti orang bodoh.
Maksudku, sungguh – apa yang bisa kutawarkan kepada Sakura?
Kau punya banyak hal yang bisa ditawarkan …
Suara Ayah terngiang di telinga saat aku mengingat percakapan kami ketika aku berusia lima belas tahun. Kami ada di mobil dalam perjalanan kembali dari Sunagakure, di sana aku telah bertemu dengan seorang terapis baru. Aku harus coba cara baru untuk membuat percakapan dengan orang lain, dan dokter itu menyuruhku memilih topik yang berbeda dari minggu sebelumnya dan memberitahu seseorang tentang hal itu.
“Ada gadis baru di kelasku, Ayah,” kataku.
“Oh ya? Siapa namanya?” tanya Ayah.
“Karin,” jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...