Bab 56

1.3K 264 42
                                    

Untuk sebagian besar waktu, kucoba untuk tidak memikirkan pesta.

Biasanya aku akan melakukan hal sebaliknya – kucoba bayangkan sesuatu yang baru akan terjadi seperti apa, bagaimana pemandangannya, atau bagaimana rasanya berada di tempat baru – tapi kali ini berbeda. Tiap kali aku mencoba berpikir pergi ke pesta, aku mulai panik, dan aku tidak ingin Sakura tahu aku sedang gundah dan malah membatalkannya.

Jadi kucoba untuk melupakannya.

Sakura sangat bersemangat, dan terus mengobrol di ponsel dengan anggota tim voli dan juga di kelas tentang jam berapa harus berada di sana, dan apa yang akan dikenakan semua orang.

Cara terbaik untuk tidak memikirkannya adalah dengan bercumbu bersama Sakura di sofa, yang telah sering kami lakukan. Biasanya sambil bertelanjang dada, meskipun bra Sakura selalu terpasang. Tetap saja, sungguh hangat rasanya sentuhan dari kulit-ke-kulit dan menambah banyak pengalaman.

Cara terbaik kedua adalah dengan membaca satu set buku yang secara misterius muncul di mejaku sekitar dua minggu sebelum sekolah diliburkan. Bibi Rin datang lebih awal untuk membuatkan makan malam, dan setelah dia pergi, buku itu ada di sebelah komputerku – buku tentang perempuan dan seks.

Isinya sungguh berbeda dengan yang diajarkan di kelas pendidikan kesehatan seksual, itu sudah pasti.

Tinggal seminggu waktu tersisa sebelum kami lulus, Sakura berbaring telentang dan aku berada di atasnya dengan bertelanjang dada. Sakura pakai blus lengan pendek warna putih dengan sebagian besar kancingnya sudah terbuka.

“Haruskah aku yang melepas ini?” Sakura mengerang di mulutku. Tangannya bergerak ke arah kerah.

“Mmm ... aku saja,” jawabku. Kudorong lengan baju di bahu kanan Sakura sembari terus menciumi rahang dan lehernya. Saat aku mencapai tenggorokan Sakura, kubuka mata dan mencolek tanda lahirnya. Saat itulah aku sadar aku tidak hanya menarik lengan bajunya ke bawah, tapi juga tali bra-nya.

Aku membeku sejenak, memerhatikan bahunya yang benar-benar polos di mana biasanya ada tali tipis berwarna putih, biru, atau krem. Tanpa berpikir, jemariku menelusuri kulitnya, ke garis imajiner di mana tali bra biasanya berada. Jari telunjukku mengetuk pelan tanda lahir berbentuk ikan itu, lalu bergerak ke bagian atas payudara Sakura.

Sambil menelan ludah, aku kembali menatap bahu Sakura yang polos dan kemudian wajahnya, mataku bertanya-tanya. Sakura menjilat bibirnya dengan cepat, lalu mengangkat tubuhnya sedikit dan meraih belakang punggungnya. Sesaat kemudian, bra-nya mengendur – memperlihatkan lebih banyak lagi payudaranya.

Tatapanku bolak-balik berpindah dari mata Sakura ke area tempat puting payudaranya hampir terlihat.

Sakura mengangguk. “Silakan,” katanya pelan.

Lidahku melesat keluar untuk membasahi bibir, dan kucoba untuk tidak memikirkan kutipan dari buku-buku itu. Aku tidak bisa menahan diri – ada frase tentang bagaimana puting payudara adalah garis langsung menuju klitoris wanita. Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal itu, jadi aku kembali membeku.

“Apa kau ingin aku melakukannya?” tanya Sakura. “Atau kau mau berhenti?”

“Jangan berhenti,” bisikku.

“Haruskah aku yang melakukannya?” Sakura menggenggam lengan baju dan tali bra-nya, menariknya lebih jauh ke bawah. Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Sesaat kemudian, Sakura bertelanjang dada, aku masih di atasnya, dan aku hampir meledak.

Tempo napasku terlalu cepat, dan aku mulai agak pusing. Mungkin itu karena aku bernapas pendek-pendek. Mungkin juga reaksi karena melihat Sakura seperti ini – payudara tampak seluruhnya, dia berbaring telentang di bawahku – dan apa yang terjadi pada tubuhku.

Celana jinsku jadi terasa makin sempit.

Getaran hangat menyelubungi diri saat aku menatapnya. Ini aneh, terasa buas, dan sungguh asing bagiku. Aku ingin menyentuh sekujur tubuhnya – menekan kulitnya dan merasakan hangat tubuhnya di diriku. Ada keinginan yang dalam untuk melihat tubuh polos Sakura lebih banyak lagi. Itu murni hasrat, bercampur putus asa, dan kesiapan.

Aku menginginkannya.

Sekarang.

“Sakura?” entah kenapa aku berbisik – lagi pula tidak ada orang lain di rumah, selain kami berdua. “Apa kau ... um ... mungkin mau ke atas? Maksudku ... ke kamarku?”

“Kamarmu?” tanya Sakura.

“Ya.” Kucoba untuk bersikap santai, seolah ini bukan perkara besar, tapi gelagatku sepertinya tidak meyakinkan. Sakura tidak pernah ke kamarku, dan selain di mobilnya, semua sesi bercumbu kami ada di sofa. “Mungkin di sana lebih nyaman daripada sofa.”

“Ayo,” ajak Sakura. Dia angkat alisnya, dan aku menjauh dari Sakura untuk membiarkannya duduk. Dia ambil pakaiannya, meraih tanganku, dan kami berjalan menaiki tangga.

Aku tidak paham apa yang harus kami lakukan selanjutnya, jadi aku bimbing saja dia ke tempat tidurku.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang