Bab 9

1.2K 302 35
                                    

Sangat mudah untuk bekerja sama dengan Sakura dalam tugas tentang lebah madu.

Sebelum-sebelumnya, aku hanya sekelompok dengan Shikamaru ketika memang diperlukan - kami cocok bersama. Sebagian waktu, Shikamaru baik-baik saja dengan orang lain, meskipun dia cenderung merendahkan mereka karena tidak secerdas dia, jadi semua orang mengira dia sombong. Dia memang sombong. Dia juga tidak punya banyak teman, tapi kami selalu bekerja sama dengan baik.

Sakura sungguh berbeda dari Shikamaru. Dia sangat menggebu-gebu dalam semua yang kami teliti, dan sering jadi terlampau bersemangat ketika kami menemukan artikel di internet yang sesuai dengan apa yang dia yakini benar. Dia juga jadi jengkel dengan beberapa hal itu.

"Aku tidak mengerti kenapa hal seperti ini bisa diabaikan begitu saja!" Sakura berseru lagi. "Mereka tidak sadar itu akan menyebabkan efek domino lagi!"

Sakura menghirup napas dalam-dalam dan menghelanya keras-keras. Dia melihat ke arahku dan tersenyum.

"Maaf," kata Sakura, "aku agak terbawa emosi."

Aku hanya mengangkat bahu.

"Haruskah kita mulai memikirkan PowerPoint?" tanya Sakura.

Kami belum membicarakan presentasi yang sebenarnya. Aku fokus pada bagian isi laporan yang hampir selesai. Aku hanya perlu membawa laptop usangku ke sekolah untuk mencetaknya. Kami belum memulai PowerPoint atau bahkan membicarakannya.

Bagaimana jika Sakura ingin aku yang presentasi? Shikamaru tahu aku tidak bisa, tapi aku belum pernah bekerja sama dengan Sakura. Mungkin dia ingin presentasi bergantian antar slide denganku. Aku pernah lihat beberapa orang murid melakukannya seperti itu. Jantungku mulai berdebar kencang, dan kukepalkan tangan di samping keyboard.

"Sasuke," kata Sakura. "Kau tidak pernah berdiri di depan kelas. Aku tahu itu. Aku yang akan presentasi."

Aku bahkan tidak sadar telah menahan napas, tapi tiba-tiba saja aku menghembuskan napas lega. Aku bingung antara ingin berterima kasih pada Sakura sekaligus ingin bisa bilang aku mampu melakukannya. Aku tidak mampu - aku tahu itu - tapi aku berharap bisa.

"Mau istirahat?" tanya Sakura.

"Oke."

"Kau punya minuman?" tanya Sakura sambil tersenyum.

"Aku punya air mineral, soda, dan jus," aku menawarkan.

"Aku mau soda!"

Aku tersenyum dan berdiri untuk mengambil dua kaleng soda dan dua buah gelas dari lemari. Kukeluarkan nampan es batu dari freezer dan dengan hati-hati memilih empat es batu untuk setiap gelas. Kumiringkan gelas untuk menuangkan soda ke dalamnya. Dengan empat buah es batu, minuman 250 ml bisa muat ke dalam gelas dengan sempurna.

Kubawa gelas ke ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga dan dapur. Lantai bawah rumahku dibuat tanpa ada sekat antar ruangan. Sakura telah pindah ke sofa, jadi kuletakkan gelas kami dengan rapi di tengah tatakan gelas di atas meja.

"Terima kasih!" kata Sakura sambil menyesapnya. "Mmm ... lebih enak diminum dengan es dalam gelas. Kiba biasanya mendinginkan kaleng soda di lemari es."

"Sama-sama," jawabku. Aku duduk di ujung sofa satunya. Komentar tentang Kiba membuat kepalaku agak sakit. Aku bertanya-tanya apa Sakura biasanya mengerjakan tugas biologi dengannya, dan apa dia sering berkunjung ke rumah Kiba. Aku jadi tegang lagi, meskipun aku tak yakin penyebab persisnya.

"Sasuke?" kata Sakura sambil berbalik ke arahku. Dia bergerak lebih dekat ke tengah bantal dan menaikkan sebelah kakinya ke sofa. "Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Oke."

"Sesuatu yang bersifat pribadi?"

Kucengkeram pahaku. Aku berusaha mengatur napas, tapi memikirkan kemungkinan apa yang akan Sakura tanyakan membuatku kewalahan. Apa yang biasa ditanyakan seorang gadis pada lelaki ketika mereka berdua saja? Kuharap Sakura takkan bertanya tentang sepak bola, karena aku tidak tahu banyak tentang hal itu - Ayah hanya pernah mengajakku nonton bisbol dan hal bersifat kompetitif yang pernah Ibu lakukan adalah nonton kontes memasak.

Aku melompat saat jemari Sakura bergerak perlahan di atas jariku. Kutatap tangan Sakura ketika dia menarik jariku dari kaki. Dia pegang tanganku, lalu menyatukan jemari kami.

"Bolehkah aku bertanya padamu?" ulang Sakura.

"Oke." Aku terus menatap jari kami. Mereka sangat cocok bersama.

Sakura menghirup napas dalam-dalam, dan jemari Sakura mulai membelaiku perlahan-lahan. Itu menenangkan, dan bahuku menekan bantal sofa.

"Ada apa denganmu, Sasuke?"

"Hah?" aku tergagap. Aku senang aku tidak sedang memegang gelas.

"Maksudku, aku tahu kau ... berbeda. Aku dengar orang bilang kau ... kau ... terbelakang atau semacamnya, tapi itu tidak benar. Kau sangat cerdas - aku tahu itu. Tapi kau juga tidak ... tidak ..."

"Normal," bisikku sambil menarik tangan. Jantung ini berdetak sungguh cepat. Sofa tiba-tiba tampak sangat amat kecil.

"Ya, kukira."

Kutelan ludah dengan susah payah. Aku benar-benar berusaha agar tidak panik. Kupejamkan mata, menghitung mundur, dan memikirkan cara untuk menanggapi Sakura agar dia tidak lari terbirit-birit.

"Maaf," kata Sakura pelan. "Seharusnya aku tidak bertanya."

Kutatap matanya dan segera buang muka. Anehnya adalah aku ingin memberitahu Sakura. Aku ingin dia tahu, tapi aku tak ingin dia kabur. Aku juga harus segera keluar dari ruangan ini.

"Aku harus pergi." Aku berdiri dari sofa dan menarik rambutku sambil berjalan keluar dari ruang keluarga dan menuruni tangga pendek menuju lantai dasar.

"Sasuke, jangan pergi! Aku minta maaf - sungguh! Seharusnya aku tidak bicara apa-apa, aku hanya ... hanya-"

Aku menghentikan langkah dan melirik dari balik bahu, Sakura berdiri di atas tangga.

"Beri aku waktu beberapa menit," pintaku. Sakura mengangguk, dan aku lari, membuka pintu ke ruang bawah tanah dan berlari menuruni tangga.

Begitu aku turun ke ruangan yang sejuk dan belum sepenuhnya selesai dibangun, napasku jadi lebih ringan. Kupejamkan mata dan menunggu jantung ini sedikit tenang, lalu membuka baju kaus. Aku membungkuk dan melepas kaus kaki.

Perlahan aku berjalan ke sisi ruangan besar yang terbuka, mengambil sepasang sarung tinju, dan memasangnya. Kukencangkan tali dengan sempurna di kedua tangan. Kuhirup lagi napas dalam-dalam dan beralih ke samsak yang mengambil sebagian besar sisi ruang bawah tanah ini.

Kakiku menginjak matras yang mengelilingi samsak, dan aku peregangan sedikit. Kukepalkan tangan, menatap lurus ke tengah samsak, dan mulai meninju.

Jumlah tinju yang sama, di masing-masing kepalan tangan.

Tak butuh lebih dari beberapa pukulan sebelum aku hanyut di dalamnya - tak ada kecemasan, tak ada kepanikan - hanya aku, samsak, dan tinjuku.

Napasku stabil, dan setiap pukulan sangat presisi. Posisi kaki mengiringiku dengan mudah di atas matras dan bergerak mengelilingi samsak.

Setiap pukulan menjalar dari kepalan tangan ke lengan dan ke bahuku. Pinggul dan dada dimiringkan untuk menerima setiap pukulan. Keringat menetes di antara bahu dan mengucur ke punggung. Pikiranku jadi kosong dan jernih. Konsentrasiku bahkan tidak buyar melihat gerakan kecil di dekat pintu ketika Sakura masuk. Itu tidak masalah.

Aku mundur selangkah ke sudut matras dan berusaha mengatur napas. Aku tahu Sakura masih di sana, mengawasiku diam-diam, tapi itu tidak masalah. Aku tidak keberatan dia ada di sana.

Aku mencondongkan tubuh dan memegangi lutut, anggota tubuhku jadi lelah.

"Aku akan memberitahumu," akhirnya aku menjawab.

"Kau tidak harus melakukannya," kata Sakura.

"Aku tahu." Kuhirup napas dalam-dalam dan kembali berdiri tegak. "Aku mau."

Aku tak tahan membiarkan Sakura dalam kegelapan, jadi kuputuskan untuk menceritakan semuanya.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang