Bab 2

3.3K 400 37
                                    

Aku berjalan melewati pintu gerbang SMA Konohagakure, hendak menuju ruang kelas biologi. Aku berhasil mengemudi ke sekolah dengan cara mengulang mantra berkali-kali – aku sudah buat janji dengan bengkel tepat setelah pulang sekolah, dan Paman Kakashi akan mengurus soal mobil pinjaman sampai bemper mobilku selesai diperbaiki.

Mobil pinjaman.

Siapa yang tahu apa yang telah dilakukan orang lain dalam mobil pinjaman itu.

Kubuka loker dan dengan hati-hati kupindahkan folder dari ransel ke dalam tempatnya. Buku pelajaran disusun di sebelah folder sesuai dengan urutan jam kelas, makan siangku yang sedikit ditempatkan di rak paling atas, dan ransel yang sudah kosong di gantungan. Lalu kukeluarkan buku pelajaran biologi dan map warna hijau untuk dibawa ke kelas.

Kulihat jam tangan dan segera menuju kelas. Aku harus sampai di sana, karena hanya ada waktu sepuluh detik tersisa. Aku tak tahan jika terlambat, tapi aku juga tidak mau jika berada di kelas lebih awal. Aku berjalan memasuki kelas Guru Iruka dan berbelok menuju mejaku.

Sudah ada seseorang di kursiku.

Tubuh lelaki itu benar-benar gempal. Aku belum pernah melihatnya. Tapi bukan itu yang sebenarnya jadi perhatian – masalahnya adalah dia ada di kursiku.

Seharusnya aku tiba di kelas beberapa detik lebih awal.

Aku berhenti di antara meja dan hanya menatap lantai. Aku tidak yakin harus melakukan apa. Kursi itu tempatku seharusnya duduk – aku selalu duduk di kursi itu dari awal tahun, dan sekarang sudah musim semi. Ini semester kedua, yang berarti aku telah duduk di kursi yang sama setiap hari di kelas Biologi selama lebih dari seratus hari.

Seratus dua belas hari tepatnya.

“Sasuke, silakan duduk,” kata Guru Iruka dari depan kelas. “Sudah waktunya untuk memulai pelajaran. Ada banyak materi yang akan kubahas sebelum kalian kerja kelompok.”

Seseorang ada di kursiku dan akan ada kerja kelompok. Ini serangan ganda.

Kulihat lelaki yang duduk di kursi itu, lalu menatap Guru Iruka. Jantungku mencelos, dan aku mulai kesulitan mengatur napas. Kuinjak ujung jempol kaki kanan dengan tumit kaki kiri – berusaha menenangkan diri – tapi tidak berhasil. Aku berbalik dan berjalan ke depan kelas.

“Guru Iruka,” kataku, “ada seseorang di kursiku.”

“Kita tidak pernah menetapkan posisi duduk di kelas, Sasuke,” kata Guru Iruka. “Choji baru saja pindah ke sini. Ada kursi kosong di belakang Sakura.”

Sakura.

Haruno Sakura.

Kulirik gadis berambut merah muda itu, dia sedang mencondongkan tubuh ke depan dan mengobrol dengan Inuzuka Kiba sambil tersenyum. Dia memiliki sepasang mata warna hijau yang lebar dan bibir yang penuh. Dia trendi, populer, cantik, dan dia adalah co-kapten tim bola voli wanita.

Sesungguhnya keadaan bisa saja jadi lebih buruk. Sakura biasanya sangat baik padaku. Namun, lain ceritanya dengan Kiba sang bintang sepak bola. Dari TK dia selalu menggangguku. Dia sungguh tukang tindas seperti yang ada di film-film, dia sombong dan punya ayah yang gila prestasi, sekaligus pelatih sepak bola sekolah.

Kupejamkan mata sejenak sambil kembali berusaha mengendalikan diri. Sekujur tubuhku tegang – aku siap untuk melawan atau lari. Namun, tak ada yang perlu dilawan atau pun lari dari sini. Aku bisa saja mendapatkan ijazah lewat sekolah kejar paket. Tapi aku ingin sekolah formal. Aku ingin diterima di universitas yang bagus agar bisa mendapatkan karir yang layak dan dapat membayar tagihan medis kakakku.

Kau bisa melakukan ini, Sasuke.

Kugertakkan gigi untuk mengecek apakah ini akan membantu kakiku bergerak, tapi ternyata tidak. Aku sadar itu karena mataku masih terpejam, dan aku akan tersandung jika berjalan dengan mata tertutup. Kubuka lagi mataku ini dan menyeret kaki ke sisi lain ruangan kelas.

Sisi lain.

Jauh dari pintu.

Sial, sial, sial.

Dengan tubuh gemetaran, aku berhasil duduk di kursi belakang Haruno Sakura. Dia menoleh ke arahku.

“Hei, Sasuke!”

Kusilangkan tangan di atas meja dan menatap bulu-bulu halus di pergelangan tangan. Kuhirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata, berusaha membayangkan aku sedang duduk di kursi biasa dan Sakura baru saja memutuskan untuk duduk di depanku. Itu tidak banyak membantu, karena jika Sakura ada di sana, di mana Shikamaru akan duduk? Aku agak bergidik.

“Hei,” aku berhasil mengeluarkan suara. Syukurlah, Guru Iruka memulai pelajaran saat itu. Hal yang Guru Iruka sampaikan juga sama sekali tidak membantu – kerja kelompok.

Sial, sial, sial.

“Kalian semua akan bekerja secara berpasangan, pilih risiko potensial di ekosistem Bumi, dalami penyebab dan potensi resolusi dari risiko itu, dan nantinya utarakan temuan kalian di depan kelas.”

Berpasangan. Aku jadi agak santai. Aku dan Shikamaru sudah saling kenal sejak kami berdua dipindahkan dari kelas reguler saat kelas tiga SD karena kemampuan kognitif kami yang superior. Shikamaru-lah orang paling dekat yang bisa disebut sebagai temanku, dan kami selalu mengerjakan tugas seperti ini bersama. Ketika Guru Iruka menyebutkan kerja kelompok, kukira maksudnya adalah kelompok yang lebih besar. Aku tidak dapat bekerja dengan baik dalam kondisi seperti itu. Kucoba untuk tetap fokus mendengar berita baik ini, walaupun sesungguhnya gugup untuk bicara di depan umum nanti, tapi aku tidak perlu khawatir. Shikamaru-lah yang akan presentasi.

“Kiba dan Lee satu kelompok. Shikamaru dan Choji, Ino dan Shino. Sakura dan Sasuke ...”

“A-apa?” aku menyela.

“Kau dan Sakura akan mengerjakan tugas ini bersama,” Guru Iruka menegaskan. Dia tersenyum, dan aku langsung bertanya-tanya apa dia sudah sikat gigi pagi ini.

“Aku biasanya sekelompok dengan Shikamaru, Guru Iruka,” aku mengingatkannya. Pasti dia lupa.

“Shikamaru sekelompok dengan murid baru kita,” kata Guru Iruka. “Kau sekelompok dengan Sakura.”

Jantung mulai berdebar kencang dan mengalirkan darah dengan cepat ke telinga. Aku tahu aku takkan dapat menahan yang satu ini, jadi aku berdiri, lalu berlari ke lorong.

Aku tidak tahan dengan tugas itu, jadi aku keluar dari kelas.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang