Bab 74

1.6K 245 19
                                    

Yes! Yes! Yes!” pekik Sakura, dan mau tidak mau aku tersenyum.

“Tebakanku kau dapat nilai A?” kataku sambil terus tersenyum.

“Seratus persen!” pekik Sakura lagi sambil berdansa di sekeliling apartemen yang kami tempati dekat kampus.

“Bolehkah kita pulang sekarang?” tanyaku. Walaupun aku sungguh senang Sakura dapat nilai bagus, tapi aku benar-benar ingin kembali ke rumah dan bersantai menghadapi liburan, kami juga masih harus menjemput Itachi dalam perjalanan.

Semester pertama kuliah sangat melelahkan. Aku mulai terbiasa dengan semuanya, tapi para mahasiswa dan dosen tidak benar-benar mengerti kondisiku. Aku jadi rindu SMA. Jika bukan karena Sakura dan tempat berlindung kecil kami ini, mungkin aku takkan bertahan.

“Ya, kita bisa pergi sekarang,” kata Sakura. Dia mendekatiku dan mengecup bibirku sebentar. “Ayo jemput kakakmu dan kembali ke Konohagakure!”

Sumbangan untuk perawatan Itachi tidak sungguh-sungguh mengubah hidupnya, tapi memang membuat banyak hal jadi lebih baik. Itachi menerima obat terbaik yang bisa dia dapatkan, dan rupanya juga ada sumbangan untuk pengobatanku. Kondisiku juga tidak mengalami terobosan besar, tapi serangan panik yang kualami tidak terlalu parah lagi dan jauh lebih jarang terjadi. Itachi juga dapat perawatan yang lebih istimewa sehingga kami dapat fasilitas tambahan berupa izin membawa Itachi pulang untuk liburan, asalkan Sakura juga ada di sana.

Itachi sangat menyukai Sakura.

Itachi juga masih marah padaku karena belum membeli cincin untuk menggantikan jam tangan. Dia tidak terang-terangan mengatakannya, tapi aku tahu maksudnya.

Mungkin suatu hari nanti.

Hinata telah mengubah dirinya sendiri jadi ibu peri kami, meskipun dia sering menyangkalnya. Segala macam hal terjadi pada kami, termasuk beasiswa anonim bermunculan untuk Sakura dan pengembalian dana dalam jumlah besar untukku dari pajak penghasilan. Paman Kakashi dan Bibi Rin tiba-tiba diterima oleh klinik adopsi di sekitaran waktu yang sama, dan bayi yang rencananya mereka rawat akan lahir di pertengahan Januari. Entah bagaimana caranya Hinata bisa mengatur hal seperti itu, tapi yang pasti itu mencurigakan. Bibi Rin juga dapat rezeki nomplok yang dia gunakan untuk mempersiapkan kamar bayi.

Aku sudah menyerah berusaha menghentikan Hinata. Alasannya, dia selalu punya pembenaran betapa banyak manfaat yang akan Boruto terima kelak dari hadiah lotere itu. Selain itu, Naruto telah berhasil merintis bisnisnya sendiri – sebuah toko peralatan olahraga bekas di Takumi, dan itu berjalan dengan sangat baik.

Mereka bahagia.

Entah apa yang harus kupikirkan tentang itu semua, tapi aku puas tidak tahu harus berpikir apa.

Kuambil koper kami dan memeriksa semuanya di apartemen untuk yang kelima belas kalinya sebelum berangkat. Meskipun ada sistem keamanan di gedung itu, tapi meninggalkannya selama dua minggu membuatku gugup. Aku terus memikirkan semua hal yang bisa saja terjadi saat kami tak ada.

Sakura membuka bagasi mobilku dan kuletakkan koper berdampingan.

“Apa aku sudah matikan lampu di kamar?”

“Kau sudah matikan semua lampu,” Sakura meyakinkanku. “Sebenarnya, kau cabut colokan lampu di kamar.”

“Ya, lampunya menyala ketika ada sesuatu yang menyentuhnya,” kataku. “Jika sesuatu jatuh di atasnya, lalu lampunya terus menyala, maka bisa memicu kebakaran.”

“Semua akan baik-baik saja, Sasuke,” kata Sakura sambil menghela napas. Dia ambil tanganku dan memiringkan kepalanya untuk menatap mataku. Aku berusaha membalas tatapannya sebelum mengalihkan pandangan. “Berhentilah memikirkan apartemen ini dan pikirkan kita kembali ke rumah.”

“Paman Kizashi bilang dia berharap kau yang masak makan malam Natal,” kataku. “Sepertinya tak ada bahan makanan di rumahku.”

“Belanjanya besok,” kata Sakura.

“Bagaimana dengan Itachi?”

“Ini akan jadi kesempatan bagimu dan Itachi untuk menghabiskan waktu bersama Paman Kakashi dan Bibi Rin. Mereka memang berencana datang setelah makan siang. Aku yang akan berbelanja.”

Aku duduk di kursi pengemudi, memeriksa semuanya sebelum keluar dari garasi, lalu menuju rute yang akan membawa kami ke institusi. Sakura masih bersemangat tentang nilai akhirnya, dan mengangkat telepon dari Hinata saat aku terus mengemudi. Aku tidak terlalu memerhatikan percakapan mereka, sampai Sakura mengatakan sesuatu yang menarik perhatianku.

“Oh, Hinata … dia akan panik … aku tahu, tapi … baiklah … tidak, aku akan memberitahunya sebelum kami sampai di sana ... ya, tapi bukan kau yang harus menghadapinya!”

Sakura melirikku dari sudut mata saat mengucapkan sampai jumpa dan menutup telepon.

“Jangan panik,” perintah Sakura segera.

“Apa yang dia lakukan?”

“Kita hanya punya waktu dua hari sampai Natal tiba,” kata Sakura. “Dia hanya ingin membantu.”

“Apa yang dia lakukan?” tanyaku lagi, nadaku sedikit lebih keras.

“Dia ... um ... memberi kita pohon.”

“Pohon Natal?” Keningku berkerut.

“Yang sudah didekorasi,” tambah Sakura. “Dia telepon Paman Kakashi dan Paman Kakashi membiarkan Hinata masuk untuk memasangnya.”

Kucengkeram kemudi. Membayangkan pohon Natal dipasang di rumah ketika aku tidak ada lumayan mengganggu pikiran, tapi aku yakin pasti ada sesuatu yang lebih besar dari itu.

“Dan?” tekanku.

“Ya, dia memilih ... tema khusus dalam dekorasinya.”

“Tema apa?” tuntutku. Aku mulai agak lelah dengan permainan ini.

“Ya ... dia menyebutnya waktu adalah uang.”

Kulirik Sakura, lalu kembali melihat ke depan sambil merenungkan seperti apa dekorasi pohon Natal yang cocok dengan tema itu. Sungguh, hanya ada satu jawaban.

“Dia menghiasi pohon dengan uang atau semacamnya, bukan?” geramku.

Hinata selalu punya cara ajaib agar sesuatu terjadi, tapi aku tidak suka diserahkan uang tunai. Alasannya, karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uang itu, dan membuat keputusan tentang uang bukanlah sesuatu yang senang kulakukan. Aku lebih suka punya uang pas-pasan dan harus menganggarkan segalanya – itu yang kuketahui, aku sudah terbiasa, dan aku nyaman dengan hal itu.

“Ya, ya – sebagian. Tapi karena aku kenal sifat Hinata, jadi tidak mungkin dia mendekorasinya dengan selembar uang saja.”

Aku menggelengkan kepala keras-keras.

“Kenapa dia melakukan itu?” tanyaku sambil menghela napas.

“Karena dia berterima kasih dan ingin membantu kita.” Sakura menyentuh pahaku. “Ini Natal – jangan marah karena hal itu.”

“Aku tidak marah,” kataku. “Aku frustasi.”

“Kau mengekspresikan dirimu dengan baik,” kata Sakura sambil tersenyum. “Kau sungguh melakukannya dengan baik akhir-akhir ini.”

“Kau berusaha mengganti topik pembicaraan,” teriakku. “Aku tidak menyukainya. Apa lagi yang ada di pohon Natal itu?”

“Um ... jam.”

“Jam?”

“Ya, untuk Itachi.”

“Itachi akan girang dibuatnya,” kataku sambil tertawa.

“Mungkin itu akan membuat Itachi terhibur sepanjang akhir pekan.”

“Dia takkan kehabisan bahan pembicaraan,” aku setuju.

“Kau menerima ini jauh lebih baik daripada yang kukira,” kata Sakura.

“Sepertinya aku sudah menyerah berusaha mengubah cara pikir Hinata.”

“Lelaki pintar.”

“Ya, yang pasti aku tahu satu hal lagi,” kataku. Kupegang tangan Sakura. “Aku punya selera yang bagus terhadap wanita.”

“Benar sekali,” kata Sakura sambil tersenyum. Dia condongkan tubuhnya dan mengecup pipiku.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang