Bab 4

1.8K 366 51
                                    

Aku menggigil, dan Sakura menyalakan pemanas di mobil tua miliknya.

“Kursi mobilmu jadi basah karena aku,” kataku pelan, dan jantungku mulai berdebar.

Sakura tertawa.

“Tidak masalah, jok basah takkan memengaruhi harga jual mobil ini,” kata Sakura.

“Aku minta maaf,” kataku lagi.

“Tidak apa-apa,” kata Sakura. “Sungguh.”

Kutatap tanganku di pangkuan dan melihat Sakura dari sudut mata. Aku jadi cemas karena tidak tahu sebaik apa dia mengemudi, dan rasanya napasku jadi tercekat. Ingin sekali aku pejamkan mata, tapi aku harus tetap membukanya agar aku yakin Sakura tidak melakukan kesalahan.

Sakura memerhatikanku dengan seksama, dan dahinya agak berkerut. Dia tersenyum kaku, lalu melihat dari balik bahu untuk mengecek apakah ada mobil lain. Sakura melirikku sekali lagi dan kemudian perlahan menjalankan mobil. Dia melaju dalam batas kecepatan dan tetap fokus pada jalan. Paru-paru ini kembali diisi udara, dan aku jadi agak santai.

“Kau tinggal di mana?” tanya Sakura dengan lembut. Dia tidak melihat ke arahku, dan aku bersyukur dia konsentrasi pada apa yang dia lakukan.

“Di prefektur enam,” kataku.

“Oh, oke! Itu dekat dengan rumah Hinata, bukan?”

“Ya,” kataku. “Dia tinggal jarak enam rumah dariku.”

Sial, sial.

Aku jadi makin sadar bahwa aku berada di dalam kendaraan sendirian bersama Haruno Sakura yang cantik dan populer, dan aku hampir tidak sanggup bicara dengannya, seolah-olah aku sedang berhadapan dengan dokter spesialis kelamin.

Selain itu, aku perlu belajar kapan harus tutup mulut, bahkan ketika aku bicara sendiri. Memori yang tiba-tiba memenuhi pikiran membuatku ingin buka pintu mobil dan melemparkan diri ke trotoar. Jantung berdebar kencang dan penglihatanku jadi kabur. Kuremas paha, berusaha menahan diri agar tidak terus gemetaran.

Jangan lakukan ini … jangan lakukan ini … jangan di depan dia … tolong …

Samar-samar aku sadar mobil telah berhenti dan Sakura menyebut namaku lagi dan lagi. Kupejamkan mata, berharap aku bisa melakukan hal yang sama pada telingaku. Aku melompat kaget ketika Sakura menyentuh bahuku, dan dia berkata satu-satunya hal yang bisa membuatku bersuara.

“Haruskah aku telepon ambulans?” suara Sakura terdengar panik.

“Tidak!” pekikku. “Tidak … tidak! Aku hanya ingin pulang.”

“Kita sudah sampai di sini,” jawab Sakura pelan.

Kutarik gagang pintu mobil yang tak kunjung mau terbuka. Suara aneh keluar dari tenggorokan ketika aku menariknya lagi dan sadar bahwa aku terjebak. Kudengar Sakura bilang dia akan membukakan pintuku sebelum dia keluar dari mobil dan berlari ke sisi lain mobil ini. Dia buka pintu mobil, dan aku segera berlari.

Aku bergegas menuju pintu rumah, membukanya, dan membantingnya di belakang. Aku duduk bersandar di pintu. Aku bisa dengar Sakura di luar – meneriaki aku.

“Sasuke! Sasuke! Apa kau baik-baik saja? Sasuke – tolong buka pintunya! Aku ingin tahu apa kau baik-baik saja!”

Aku mengabaikannya, menarik diri dan menghitung bilangan pi di belakang koma.

“Sasuke! Sasuke, ayahku pengacara! Aku akan meneleponnya, dia bisa dengan mudah menghubungi polisi dan minta mereka mendobrak pintu rumahmu!”

Aku tidak jatuh dalam perangkapnya. Dia tidak punya hak hukum untuk memasuki rumahku tanpa surat perintah penggeledahan, dan tak ada alasan untuk itu. Sakura terus melontarkan ancaman yang penuh omong kosong dan kubayangkan spesifikasi mesin R8.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang