Bab 11

1.3K 322 75
                                    

Meskipun masih ada cahaya matahari yang masuk melalui jendela dan menerangi ruangan, aku pusing. Sekujur tubuhku sakit, dan aku sepenuhnya sadar sedang berbaring dalam pelukan Haruno Sakura. Tubuhku pegal, mataku perih, aku yakin buku-buku jariku memar, namun aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa senyaman ini.

Di satu titik, aku dan Sakura berbaring di sofa dan tertidur. Aku bahkan tidak yakin kapan atau berapa lama aku menangis sebelumnya, tapi kami tetap berbaring bersama. Bahkan sebelum aku buka mata, aku bisa rasakan sebelah tangan Sakura ada di sekeliling bahuku dan sebelah lagi di sekeliling kepalaku, menahan posisiku tetap berada di atas lengan dan di samping lehernya. Sebelah tanganku mengeliling bahu Sakura – di bawah tubuhnya – dan sebelah lagi sedang beristirahat tepat di dalam tank-top yang dia kenakan, dengan jemariku di punggung bawahnya.

Aku memiringkan kepala untuk melihat wajah Sakura, dan tampak matanya masih terpejam, napasnya stabil. Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku sama sekali tidak panik. Ini baru. Ini berbeda. Aku selalu panik pada hal baru dan berbeda. Namun, aku juga dikelilingi oleh aroma yang paling luar biasa – ada kehangatan, kenyamanan, keamanan, ketenangan, dan hanya dia.

Kurebahkan lagi kepalaku ke lekukan leher Sakura dan kembali memejamkan mata.

•••

“Oh, astaga, astaga, astaga!”

Aku terbangun kaget. Ketika aku buka mata, cahaya di ruangan sudah redup karena pancaran senja.

“Oh, Tuhan,” gumam Sakura pelan.

Aku bergumam tidak jelas sebelum menoleh ke balik bahu, melihat ke arah sumber suara yang membuatku terkejut. Paman Kakashi berdiri di depan pintu, melihat ke sini dengan mulut menganga dan matanya lebar.

“Paman Kakashi?” Aku masih pusing. “Apa yang Paman lakukan di sini?”

“Aku bawa makan malam,” kata Paman Kakashi sambil mengangkat kantong kertas sebuah restoran.

“Oh, tidak,” kata Sakura sambil melihat sekeliling dan menyadari cahaya redup di ruangan ini. “Aku harus pergi. Ayah akan segera pulang, dan aku harus masak makan malam.”

“Oke,” kataku. Aku masih memerhatikan Paman Kakashi. Aku tidak mengerti kenapa dia melayangkan tatapan yang tampak begitu aneh. Sakura bergeser di sampingku.

“Sasuke, kau harus melepaskanku.”

“Oh, ya ... maaf.” Kutarik tanganku dari sekeliling tubuhnya. Sakura berdiri di sebelah sofa, merapikan celana jins dan kemejanya. Pipinya merah padam, dan sepertinya dia sama sekali tidak mengakui kehadiran Paman Kakashi.

“Sasuke,” kata Paman Kakashi setelah dia berhasil menghilangkan ekspresi aneh di wajahnya itu. “Perkenalan, mungkin?”

Sial, sial.

“Oh, ya ... maaf,” kataku lagi. “Sakura, ini pamanku – Uchiha Kakashi. Paman, ini Haruno Sakura.”

“Senang bertemu denganmu, Sakura,” kata Paman Kakashi sambil tersenyum lebar. “Pasti kau yang mengantar Sasuke ketika dia butuh tumpangan tempo hari.”

“Ya, hujannya sangat deras, Paman Kakashi,” kata Sakura. Wajahnya makin merah padam. “Dia basah kuyup.”

“Aku yakin begitu,” Paman Kakashi menutup bibir dan mengangkat alisnya. Dia lalu mencibir. “Mungkin kau juga basah.”

Paman Kakashi bertingkah aneh. Aku tidak mengerti.

“Senang bertemu denganmu, Paman Kakashi,” kata Sakura sambil mengumpulkan barang-barang dan menyimpannya ke dalam tas. “Jangan lupa bawa laptopmu besok, Sasuke!”

“Aku tidak akan lupa,” kataku sambil mengerutkan dahi. Sungguh kejadian langka bagiku untuk melupakan sesuatu, apalagi yang berhubungan dengan tugas sekolah.

Sakura tertawa.

“Ya, kuyakin kau takkan lupa!” Sakura melambaikan tangan dan berjalan menuju pintu. “Sampai jumpa!”

“Sampai jumpa.”

“Uchiha Sasuke!” suara Paman Kakashi terdengar menggelegar begitu pintu ditutup.

Aku melompat kaget.

“Ya?”

“Apa kau berhubungan seks dengannya?”

“A ... apa ... apa?” Aku pasti salah dengar.

“Apa penismu masuk ke dalam vagina gadis seksi yang baru saja melenggang keluar pintu?”

“T-t-tidak!” aku tergagap. “Kami cuma ketiduran!”

“Dengan kau bertelanjang dada dan tanganmu ada di dalam bajunya?”

Semuanya jadi masuk akal. Aku termenung, tubuhku setengah telanjang, dan kami berbaring saling berpelukan di sofa. Tanganku masuk ke dalam bajunya, meskipun aku benar-benar tidak ingat kapan atau bagaimana itu bisa terjadi.

“Bukan seperti itu,” bisikku.

“Astaga, Sasuke!” teriak Paman Kakashi. Dia jatuhkan tubuhnya di kursi malas dan menatapku dengan tajam. “Jadi kau sendirian di rumah dengan gadis cantik itu, tapi tak ada yang terjadi sama sekali?”

“Ya!” aku bersumpah.

“Kalian bahkan tidak berciuman?”

“Tidak!”

Paman Kakashi menggeram dan berdiri, meraih kantong makanan, lalu menuju dapur. Aku mengikutinya, dan dia mulai mengeluarkan kotak kecil berisi berbagai makanan. Paman Kakashi membanting masing-masingnya ke atas meja, sampai-sampai bungkus plastik saus terbuka.

“Paman Kakashi, ada apa?”

“Brengsek!” dia mengumpat lagi. “Rin sudah pergi selama dua minggu, aku rindu kehangatannya. Bagaimana aku bisa hidup tenang jika kau sama merananya seperti aku?”

Aku tidak mengerti apa yang Paman Kakashi bicarakan, jadi kuambil saja telur gulung dan mengolesinya dengan saus.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang