Hari berikutnya di sekolah sungguh seaneh yang pernah kubayangkan. Lebih aneh daripada hujan turun saat matahari bersinar cerah, lebih aneh daripada selai kacang encer, dan lebih aneh dari ninja yang berpakaian warna mentereng. Tapi keanehanlah yang terjadi saat tiba di sekolah.
Begitu aku masuk gedung sekolah, terdengar namaku diteriakkan dari ujung lorong.
“Sasuke! Sasuke!”
Sakura berlari menyusuri lorong. Ada beberapa orang bersamanya, termasuk Inuzuka Kiba, Yamanaka Ino, dan Watanabe Tenten. Kuperlambat langkahku sedikit ketika mereka mendekat, tapi aku terus berjalan menuju loker. Itulah yang kulakukan ketika sampai di sekolah – menuju loker. Tanganku agak gemetaran saat meraih kunci dan menekan angka kombinasinya.
“Sakura, ada apa?” Kiba menggerutu pelan saat Sakura muncul di sampingku.
“Hei, Sasuke!” kata Sakura, mengabaikan Kiba.
Kupejamkan mata sebentar, lalu berkonsentrasi pada kunci agar aku bisa mencocokkan kombinasi angkanya. Itu sulit, karena tanganku gemetaran. Aku tahu aku belum menanggapi Sakura, tapi aku tidak bisa putuskan bagaimana caranya, terutama ada teman-temannya yang lain berdiri di sana. Haruskah aku balas berkata hai padanya? Haruskah aku balas hei, Sakura? Atau sesuatu yang lain? Bertanya tentang cuaca?
“Yang benar saja, Sakura!” cibir Ino. “Dia bahkan tidak bisa balas menyapa!”
Napasku agak sesak.
“Diam!” Sakura menoleh pada Ino di belakangnya sambil mendesis pelan. Sakura kembali berbalik ke arahku tepat saat aku berhasil membuka loker.
Aku membungkuk dan mulai mengatur folder serta buku-buku dari tas ke dalam loker. Kupastikan semuanya tersusun dengan sangat rapi. Aku bisa dengar mereka semua bicara pelan di belakangku, tapi aku tidak perhatikan kata-kata mereka sampai aku merasakan tangan Sakura di bahuku.
Aku terkejut, Ino dan Tenten cekikikan. Aku mendongak, kulihat Kiba memutar bola matanya dan berbalik dari barisan loker secara dramatis.
“Sasuke, apa kau dengar aku?” tanya Sakura.
Kupikirkan sebentar, tapi aku tidak dapat memahami apa yang Sakura katakan. Bel berbunyi sekali, dan aku belum memiliki buku untuk kelas pertama. Waktuku berantakan.
“Sial, sial, sial,” gerutuku sambil meraih buku yang tepat.
“Dasar orang aneh,” geram Kiba sebelum dia melangkah ke lorong. Dia lanjut berteriak dari balik bahunya. “Lupakan saja, Sakura! Cari saja hewan tersasar lain untuk kau rawat!”
Aku tidak bisa mengatur napas, dan dadaku mulai terasa sempit. Kepalaku pusing, dan aku tak bisa memutuskan apakah aku harus ambil barang-barang terlebih dahulu atau langsung ke kelas atau bagaimana. Mungkin aku harus mengatakan sesuatu … minta Sakura untuk mengulangi pertanyaannya, atau setidaknya bilang halo.
Apakah sudah terlambat untuk menyapa?
Aku tidak tahu.
“Dia bahkan terengah-engah seperti anjing kepanasan,” kata Tenten. Dia dan Ino sama-sama mencibir. Mereka berdua saling berbisik dengan semangat dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
Kucoba memejamkan mata, tapi telinga ini masih bisa dengar tawa di belakang. Kurasa itu bukan hanya Tenten dan Ino lagi. Aku sangat yakin ada seseorang yang juga mulai mengolok-olok. Sakura berteriak pada mereka untuk berhenti, dan banyaknya suara di sekelilingku – bicara tentang aku – sungguh berlebihan.
Aku menutup diri.
Aku berlutut di lantai ubin yang keras di depan loker, perlahan mulai mengambil semua buku dari dalamnya. Lalu kususun lagi berdasarkan urutan kelas, kutempatkan buku teks dengan benar, folder terkait dan catatan bersebelahan. Setelah satu set pelajaran masuk, kuluruskan barisannya, kuharap loker ini punya satu tingkat lagi, aku jadi bertanya-tanya apa aku bisa beli pembatas rak untuk disimpan di loker.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...