Bab 31

1.2K 269 22
                                    

Saat aku menaiki tangga dan melihat ruang keluarga, Sakura sedang duduk di ujung sofa dengan bersilang tangan. Paman Kakashi duduk di sisi belakang meja ruang makan. Keduanya cemberut.

“Sasuke!” Sakura melompat dari sofa dan berlari ke arahku. Aku melangkah, tapi tidak bergeming saat lengannya melingkari leher ini. “Aku sangat menyesal, aku minta maaf ... aku lagi-lagi tidak berpikir.”

Sakura merebahkan kepalanya di dadaku, dan lenganku otomatis memeluknya. Kemiringkan kepala sedikit sampai menempel di puncak kepalanya. Rambut Sakura sungguh harum, dan kupejamkan mata sambil menghirup udara. Aku sungguh tidak tahu harus berkata apa, dan hanya dengar Sakura minta maaf saja sukses membuat perutku bergejolak.

Sakura menggerakkan kepalanya untuk melihatku, rambutnya mengenai hidungku hingga terasa menggelitik, dan aku tersentak mundur. Sakura menggigit bibirnya dan terlihat agak muram. Aku kembali memeluk Sakura lebih erat untuk memberitahu bahwa semuanya baik-baik saja – aku tidak bermaksud menjauh darinya. Bukan ini yang sebenarnya ingin kulakukan – aku ingin menciumnya lagi, tapi menciumnya dengan kehadiran Paman Kakashi dan Bibi Rin di ruangan yang sama rasanya tidak tepat.

“Dia pasti menyukaimu, karena mau saja dekat-dekat dengan tubuhmu yang bau keringat itu,” Bibi Rin terkekeh ketika dia berjalan melewatiku menuju ke tempat Paman Kakashi.

“Maaf,” aku bergumam pada Sakura sembari mundur selangkah. Sakura tampaknya tidak peduli, tapi dia agak mengernyitkan hidung. “Aku harus mandi.”

“Aku harus pulang dan masak makan malam untuk Ayah,” kata Sakura. “Tapi aku ingin pastikan kau baik-baik saja.”

“Aku baik-baik saja,” kataku.

“Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Sungguh. Hanya saja pamanmu membuatku begitu ...”

Kulirik Paman Kakashi saat suara Sakura menghilang.

“Pamanku tidak bermaksud begitu,” kataku.

“Aku tidak begitu yakin,” dengus Sakura. Dia melihat kembali ke sini dan memegang lenganku. “Apa kita tetap akan makan malam di luar besok?”

“Kalau kau masih mau,” jawabku.

“Aku mau,” kata Sakura. “Kita ke mana?”

“Mungkin kita ke restoran Kumo di Takumi,” kataku. “Kau um ... kau bilang kau suka makanan Kumo, bukan?”

“Aku menyukainya,” kata Sakura sambil tersenyum. “Apa kau akan menjemputku?”

“Tentu!” Jantungku mulai berdetak sedikit lebih cepat, dan aku tersenyum pada Sakura. Mataku terfokus pada pipi kirinya, tapi terus melihat kembali bibirnya. “Mungkin sekitar jam lima sore? Dengan begitu kita punya banyak waktu untuk sampai ke sana.”

“Bagus!” kata Sakura dengan semangat. “Kalau begitu sampai jumpa besok.”

Sakura berjinjit dan mengecup tepi rahangku sebelum dia menoleh dari balik bahunya ke arah Paman Kakashi. Sakura menyipitkan matanya pada Paman Kakashi saat dia berjalan menuju pintu. Aku menaiki tangga hendak mandi, dan Paman Kakashi mengikutiku.

Saat aku mengeluarkan handuk dari bawah wastafel di kamar mandi utama, Paman Kakashi duduk di kursi sebelah lemari tua milik ibuku, di sanalah Ibu biasanya duduk dan memasang kaus kaki. Paman Kakashi membungkuk dan meletakkan sikunya di lutut, lalu menghela napas.

“Aku tidak bermaksud jahat pada pacarmu,” kata Paman Kakashi. “Aku hanya ... aku mengkhawatirkanmu.”

Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu harus berkata apa, dan aku masih agak tersinggung.

“Ayahmu ... dia ayah yang baik. Dia selalu tahu apa yang harus dikatakan dan bagaimana memotivasimu untuk melakukan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada seorang anak, dan kau bahkan bukan anak-anak lagi. Mungkin itu sebabnya aku dan Rin belum punya anak.”

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang