Sulit rasanya untuk tetap diam saat Sakura berada di dekatku sambil memegang gunting.
Aku tahu aku perlu potong rambut. Aku telah merencanakannya di akhir bulan setelah pekerjaanku membuat situs dibayar. Uangku pas-pasan. Semuanya dianggarkan dengan tepat, dan sisanya masuk ke rekening dana kuliah. Kusimpan berapa pun kelebihan uang tiap bulannya.
Wanita yang biasanya memotong rambutku tahu berapa banyak yang harus dipangkas. Aku tidak suka jika rambutku berubah terlalu banyak, dan dia tahu dengan tepat bagaimana keinginanku setelah aku panik sekali di hadapannya. Sakura tidak tahu, dan saat aku duduk di bangku dapur dengan handuk mengelilingi bahu, aku mulai sesak napas.
“Jangan terlalu pendek,” aku berhasil bicara saat dia muncul di belakang. “Kumohon.”
Kurasakan jemarinya bergerak di rambutku sebelum diikuti sisir.
“Sedikit saja,” kata Sakura sambil membungkuk untuk melihat wajahku.
Kualihkan pandangan darinya, memilih untuk menunduk dan memerhatikan lekuk leher Sakura sebagai gantinya. Kulit Sakura sangat putih. Tak ada bintik-bintik atau apapun di sana. Aku punya keinginan aneh untuk menyentuhnya.
“Aku janji,” kata Sakura. Dia sentuh daguku, dan mendongakkan kepalaku agar aku melihatnya kembali. Menatap mata orang bukanlah hal yang mudah bagiku. Itu terasa sangat … konfrontatif. Terkadang itu tidak bisa dihindari, tapi aku masih berusaha menghindari mata seseorang bila memungkinkan. Itu tidak nyaman.
Masih ada senyum di wajah Sakura saat kami saling bertatapan.
“Sedikit saja,” kata Sakura lagi. Sorot matanya tajam, dan aku agak tersentak ke belakang. “Ya?”
“Sedikit,” aku balas berbisik.
Sambil duduk diam, kupejamkan mata dan menunggunya selesai. Sakura mulai memotong rambutku, aku dengar suara gunting, dan kemudian dia pindah ke sisi berikutnya. Aku jadi agak tegang saat dengar suara itu dekat dengan telinga. Ada perasaan aneh yang tidak nyata – seperti ini semua hanyalah mimpi dan aku masih tidur, siap-siap untuk bunyi alarm yang membangunkanku agar aku bisa ke sekolah. Aku menoleh sedikit dan menatap Sakura.
Dia tengah berdiri di dapur tempat ibuku memasak makan malam. Dia berdiri di lantai parket yang kubantu pasang bersama Ayah – kupastikan semua potongan-potongan kayu kecil berbaris rapi dan tepat. Dia berada di rumah tempat kakek-nenekku tinggal ketika aku dilahirkan.
“Selesai!” Sakura mengumumkan. “Apa kau punya cermin?”
“Di lantai atas,” kataku.
“Apa kau ingin pergi melihatnya?” Sakura tampak gugup, dan aku bertanya-tanya apa yang dia pikirkan berada di sini bersamaku, ini membuatku menyadari sesuatu.
“Tak seorang pun pernah di sini sejak Ibu meninggal,” kataku, “kecuali pamanku, Kakashi, dan istrinya.”
Sakura mundur sedikit, dan aku dengar dia terkesiap. Aku berdiri dari bangku dan berjalan di sekelilingnya sambil menunduk. Begitu sampai di kamar mandi lantai atas, aku mendongak menatap cermin di atas wastafel. Rambutku terasa lebih pendek. Ketika aku menolehkan kepala ke samping dan melihatnya lebih dekat, rasanya ini tidak sependek yang biasa dipotong oleh wanita itu. Sebenarnya, ini lebih baik. Ada sedikit perubahan, tetap lebih pendek, jadi aku tidak perlu khawatir rambutku jadi terlalu panjang. Aku tersenyum ketika Sakura muncul di cermin di belakangku.
“Bagaimana?” tanya Sakura. “Aku tidak memotongnya terlalu panjang.”
“Ini ... pas.” Kutatap mata Sakura di cermin, dan membalas senyumannya.
“Bagus!” seru Sakura. “Kapan pun kau perlu potong rambut, Sasuke, beri tahu aku.”
“Kau akan melakukannya lagi?” tanyaku. Aku masih tidak percaya Sakura berada di sini – dia ada di sini, aku di sini, dan aku perlu potong rambut. Membayangkan Sakura benar-benar datang ke sini lagi dengan tujuan memotong rambutku? Aku tidak bisa memahaminya.
“Tentu saja,” kata Sakura. “Aku lumayan suka memotong rambut.”
Kualihkan mataku dari cermin dan memikirkannya, tapi aku masih tidak bisa bayangkan Sakura datang kembali ke sini dan melakukannya lagi. Sakura berpindah ke sampingku, dan aku maju bersandar di wastafel, memegang ujungnya erat-erat.
“Kau tidak terlalu suka ada hal-hal yang berubah, bukan?”
“Tidak,” bisikku.
“Tapi sungguh ini tidak apa-apa?” tanya Sakura. “Rambutmu, maksudku?”
“Ini sungguh tidak apa-apa.”
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Kau baru saja bertanya,” aku mengingatkannya. “Itu sebuah pertanyaan. Apa pertanyaanmu ini retoris?”
Sial, sial.
Kupejamkan mata sebentar. Aku sangat yakin itu bukan respons yang tepat. Aku jadi teringat dengan suara konselor sekolah.
“Fokus dan konsentrasi, Sasuke. Coba pikirkan jawaban sebelum bicara. Apakah sesuai dengan situasi? Apa itu sesuai dengan tema diskusi?”
Bibir Sakura tertutup rapat, dan bahuku jadi agak tegang.
“Aku ingin bertanya padamu, jika kau keberatan akan sesuatu, maukah kau memberitahuku?”
“Ya,” kataku jujur. “Setidaknya, mungkin aku akan coba.”
“Apa benar kau tidak keberatan dengan potongan rambutmu ini?” Sakura bertanya lagi. Suaranya penuh perhatian dan terdengar cemas. “Kau boleh memberitahuku jika tidak suka - aku bisa mengubahnya sedikit, atau setidaknya aku jadi lebih baik di lain waktu.”
“Aku sungguh tidak keberatan,” kataku padanya. Kulihat tanganku yang melingkar di tepi wastafel.
“Aku pergi dulu,” kata Sakura sambil meletakkan tangannya di bahuku.
“Aku gatal.” Kuusap bagian belakang leher ini.
Sakura tertawa.
“Itu karena rambut yang kupotong tadi, tahu.”
“Aku tahu. Aku perlu mandi.”
“Ya, aku pergi kalau begitu.” Sakura terkekeh dan kembali ke bawah.
Begitu Sakura pergi, aku mandi dengan cepat, dan kepalaku rasanya tetap berada dalam kabut selama sepanjang hari itu. Ini bukan kabut yang buruk – hanya saja aneh. Tubuhku terasa agak lebih ringan atau semacamnya. Kubersihkan rambut di lantai dapur dan memutuskan untuk sekalian cuci pakaian.
Kuletakkan baju dan celana kotor ke keranjang cucian, kubawa ke bawah menuju mesin cuci. Kuperiksa semua saku – jaga-jaga jika aku meninggalkan sesuatu, itu hampir tak pernah terjadi. Jika ada sesuatu yang tertinggal di saku – misalnya tisu atau kertas – itu akan berserakan di mana-mana sehingga aku terpaksa harus cuci pakaian lagi.
Kuambil celana jins yang kupakai kemarin dan merogoh semua saku secara bergantian. Depan kanan, belakang kanan, belakang kiri, depan kiri. Ada kertas di sini. Kukeluarkan tiket lotere yang telah diberikan padaku sebagai bayaran untuk bemper mobil yang rusak.
Aku menghela napas. Aku senang Paman Kakashi dapat dengan mudah melacak plat nomor kendaraan orang itu dan mengurus semuanya. Kuambil tiket itu, melipatnya dengan rapi, dan meletakkannya di atas mesin pengering sementara aku periksa saku pakaian lain dan menyalakan mesin. Kuambil tiket itu lagi dan pergi ke dapur untuk cari makan malam.
Kulemparkan tiket ke tempat sampah di dapur, dan kemudian mulai mencari-cari sesuatu di freezer. Aku sungguh tidak ingin makan makanan yang dipanaskan lagi atau makanan instan. Aku masih agak kedinginan karena kehujanan tadi, jadi yang pasti aku ingin makan sesuatu yang hangat.
Haruno Sakura ada di rumahku.
Dia potong rambutku.
Kuusap rambut dan teringat bagaimana rasanya ketika dia menyentuhnya. Sungguh menyenangkan. Dan aneh. Rasanya aneh sekarang, karena tidak butuh waktu lama bagi jariku untuk sampai ke ujung rambut. Rambutku masih mencuat ke mana-mana, tapi aku sudah terbiasa dengan hal itu.
Aku baru sadar bahwa aku masih tersenyum, dan kuputuskan untuk membuat tempura. Kukeluarkan tepung dan bahan lainnya.
Aku tidak tahan memikirkan alasan lainnya untuk tidak masak makan malam, jadi kuputuskan untuk membuat makanan sesungguhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...