Bab 63

1.2K 245 29
                                    

Bahkan sebelum aku buka mata dan melihat gelapnya malam di luar jendela, aku tahu aku tidur belum lama, karena kepalaku masih berputar hebat, dan gigiku terasa kotor. Dari lorong di luar kamar, aku bisa dengar suara lembut Sakura.

“... dia tidak tahu,” kata Sakura. “Tidak ada yang mengaku siapa yang memberikan itu padanya … aku tidak bisa meninggalkannya sendirian … dia sangat berantakan … ya, mabuk berat … tidak, aku tidak minum … setetes pun aku tidak minum, sumpah …”

Aku tidak dengar suara lain, jadi sepertinya dia sedang bicara di telepon. Aku ingin bangun dan gosok gigi, tapi aku takut jika aku berdiri, kepalaku akan jatuh dan berguling-guling di lantai. Terpikir olehku kepala ini bisa lepas jika aku bergerak sedikit saja, dan aku tiba-tiba membayangkan akan mati dalam keadaan gigi tidak disikat. Menjijikkan. Kucoba untuk berguling, namun aku malah mengerang.

“Oh, sepertinya dia sudah bangun. Aku harus pergi … oh, ya, ide bagus …”

Penglihatanku kabur, Sakura berdiri di ambang pintu kamar dengan ponsel di telinga.

“Aku tidak ingin Ayah khawatir ... besok pagi, tapi tidak pagi-pagi sekali ... aku juga, Ayah … sampai jumpa.”

Kupejamkan lagi mata ini, tidak berani membukanya karena takut situasi makin buruk. Kurasakan Sakura duduk di sebelahku, dan kuulurkan tangan padanya.

“Aku minta maaf,” bisikku.

“Kau tidak perlu minta maaf.”

“Apa kau dapat masalah dari Paman Kizashi?” tanyaku.

“Tidak. Tenang saja,” Sakura menghela napas. “Ayah tidak senang pesta tadi ternyata melibatkan alkohol, tapi Ayah sepertinya tidak marah pada kita berdua.”

“Aku haus,” kataku. “Aku tidak tahu apa isinya. Kupikir itu hanya—”

“Sssh ...” Sakura mengusap rambutku dan menjauhkannya dari wajahku.

“Tidak apa-apa. Aku akan ambilkan minum. Aku akan segera kembali.”

“Gigiku rasanya jorok sekali,” kataku. Aku dengar tawa lembut Sakura.

“Aku akan membantumu,” katanya.

Sakura membantuku ke kamar mandi dan mengoleskan pasta gigi ke sikatnya. Saat sedang mencari tahu di mana gigiku berada, Sakura datang membawakan segelas besar air dan dua tablet ibuprofen.

“Minum semuanya,” perintah Sakura.

“Gelasnya besar sekali,” kataku. “Aku tidak perlu air sebanyak itu untuk minum obat.”

“Ini agar kau terhidrasi kembali,” kata Sakura. “Kau akan merasa jauh lebih baik jika kau minum semuanya.”

Aku sedikit berdebat, tapi berdebat itu menyakitkan, dan aku sungguh perlu berbaring. Aku sempoyongan kembali ke tempat tidur setelah minum segelas penuh, dan Sakura mengikutiku. Lengannya memeluk tubuhku, dan aku meringkuk di antara bahu dan lehernya, ini sungguh tempat yang nyaman.

Memiliki Sakura di sini seperti ini – di tempat tidurku di malam hari – juga merupakan hal yang menyenangkan.

“Kau seharusnya tinggal di sini,” kataku.

“Jangan konyol,” Sakura tertawa.

“Aku serius,” kataku. Kucoba bergerak sedikit agar bisa melihatnya, tapi kepalaku jadi pusing lagi. Kutelan ludah dengan susah payah dan berusaha menenangkan diri kembali. “Aku senang kau berada di sini.”

“Aku juga senang berada di sini,” kata Sakura. “Tapi Sasuke, kita baru saja lulus SMA beberapa jam yang lalu. Mari kita melangkah pelan-pelan agar Ayah tidak jantungan.”

Aku harus memikirkannya sebentar, kubayangkan bagaimana reaksi Paman Kizashi jika Sakura berkata dia akan pindah ke rumahku. Paman Kizashi pasti akan sangat terkejut. Apa Paman Kizashi masih menyukaiku jika dia kira aku membawa Sakura pergi darinya terlalu cepat? Tapi bagaimanapun juga kami akan pergi di akhir musim panas nanti.

“Apa kau kuliah akan sulit bagi Paman Kizashi?” tanyaku. “Maksudku, ketika kita pergi nanti?”

“Ya,” kata Sakura. “Kurasa sekarang saja Ayah sudah agak panik. Ayah sangat khawatir terhadapku, terutama setelah Ibu tidak ada. Tapi sepertinya karena kau satu kampus denganku, Ayah jadi agak lega.”

“Benarkah?”

“Ayah tahu aku aman bersamamu,” kata Sakura pelan.

“Aku mencintaimu,” kataku.

“Aku juga mencintaimu,” jawab Sakura. “Dan kurasa Ayah juga.”

“Paman Kizashi?” Alisku turun dan berkerut di bagian atas mata. Kupegang dengan ujung jari agar mereka tetap berada di tempatnya.

“Kurasa Ayah sudah mencintai dan menyayangimu sebagai anak laki-lakinya,” kata Sakura.

“Oh,” kataku, tapi aku tidak sepenuhnya yakin. Cinta dan sayang itu aneh sekaligus membingungkan. Di luar orang tuaku, Itachi, Paman Kakashi dan Bibi Rin, aku tidak pernah benar-benar berpikir mencintai orang lain, selain Sakura. Sekarang dia ada dalam hidupku, aku tidak bisa bayangkan dengan cara lain.

Leherku agak geli saat Sakura membelai rambut pendek di sana. Aku mendesah di kulitnya dan memeluk tubuhnya. Aku masih tidak enak badan, tapi Sakura berhasil membuatnya jadi tertahankan. Satu-satunya masalah adalah segelas besar air yang kuminum tadi.

Aku menggeliat sedikit, tapi itu tidak membantu. Aku masih pusing, dan sungguh tidak mau meninggalkan kenyamanan tempat tidur atau kenyamanan pelukan Sakura. Namun, tekanan pada kandung kemihku jadi tak tertahankan lagi, aku harus bangun dan berlari kembali ke kamar mandi.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang