Bab 44

1K 252 57
                                    

Saat sosok di depan kami melangkah keluar dari bayang-bayang, aku dengar suara terkesiap Sakura.

“Sudah kubilang, bukan? Kita belum selesai,” kata seseorang saat sosok-sosok itu berjalan ke arah kami.

“Kiba, apa yang kau lakukan di sini?” Sakura mengumpat saat wajah Inuzuka jadi terlihat di bawah sinar bulan. Kutarik Sakura lebih dekat dan membisikkan namanya dengan hati-hati, berharap Sakura untuk diam sebentar. Biasanya para penindas akan mundur dan bosan jika kau tetap diam dan tidak menanggapinya. Semakin dia bicara, semakin tinggi minat mereka.

“Hanya jalan-jalan sebentar, sama sepertimu,” balas Inuzuka. Pria di sebelahnya terkekeh, dan aku tahu dia, dia sudah lulus SMA dua tahun yang lalu. Aku yakin namanya Sasori, dan dia juga pernah jadi anggota tim sepak bola di SMA.

“Aku sudah muak dengan omong kosongmu,” kata Sakura padanya. “Ayo, Sasuke.”

Sakura mulai bergerak maju, tapi sebelum aku sempat melangkah bersamanya, Kiba mengangguk ke arah teman-temannya di belakang kami, dan lenganku tiba-tiba ditarik dari belakang. Sakura berteriak dan berbalik ke arahku saat aku makin diseret menjauh, tapi Sasori bergerak maju dan meraih lengan Sakura.

Lenganku dikepit kuat di belakang punggung, kedua orang yang menahan tanganku itu bau bir basi bercampur rokok. Terasa sebuah lengan bergerak ke leherku, menahan kepalaku agar tidak bisa bergerak, ada sensasi aneh yang menghampiri dan hanya pernah kualami sekali sebelumnya. Itu ketika aku di rumah sakit saat Ibu sekarat. Aku ingat para dokter memberitahu Paman Kakashi bahwa kematian Ibu bisa terjadi kapan saja, dan matanya memerah, Paman Kakashi berbalik dan menarikku ke dalam pelukannya.

“Kemarilah, Kakashi,” kata Ibu. Paman Kakashi melepaskanku dan duduk di kursi samping kasur Ibu. Ibu dengan suara seraknya meminta Paman Kakashi untuk menjagaku, dan dia berjanji akan melakukannya. Kemudian Ibu memanggilku, aku duduk di samping Ibu sambil memegang tangannya di wajahku, karena Ibu tak bisa menahan lengannya tanpa bantuan.

“Anakku yang tampan,” bisik Ibu. “Begitu banyak yang masih harus kita lakukan.”

Bahkan dengan hangat telapak tangan Ibu di pipiku, rasanya aku tidak ada di sana – seolah-olah aku bahkan tidak berada di dalam ruangan itu sama sekali. Rasanya aku melihat semua ini terjadi pada orang lain. Ibu tidak terlihat seperti biasanya, dan aku tidak merasa seperti diriku sendiri. Dalam hati aku bertanya-tanya apa ini hanya mimpi, dan apa yang harus kulakukan agar segera bangun. Jauh di lubuk hatiku, ada bara amarah atas apa yang terjadi pada Ibu – padaku – tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya. Sensasi membara itu hanya berdiam diri di perut tanpa tujuan.

Tapi itu bukan mimpi, dan kali ini juga bukan mimpi.

“Lepaskan tanganmu dariku!” pekik Sakura saat dia berbalik dan berusaha menjauh dari Sasori.

“Oh, kurasa tidak,” kata Inuzuka sambil berjalan ke arahnya. “Sudah waktunya kudapatkan apa yang seharusnya jadi milikku.”

Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya melayang di udara seperti burung pemangsa yang terbang di atas angin, dan apakah rasanya sama seperti yang kurasakan sekarang. Aku juga tahu pikiranku sungguh terganggu, dan aku kesulitan untuk fokus pada apa yang terjadi di sekitar. Aku bisa dengar Sakura mengumpat dan dia menggeliat ingin melepaskan diri dari tangan yang memeluknya, tapi ucapan Sakura agak hilang artinya di telingaku. Namun, api di matanya itu sangat indah. Itu tidak luput dari perhatianku.

Kudengar suara kain robek saat tangan Kiba memegang blus milik Sakura dan merobeknya hingga lepas, kancing-kancing beterbangan di aspal. Tawa Inuzuka bergema di jalanan yang sepi selagi dia merobek baju Sakura lagi, bra birunya pun sudah lepas. Saat mata Sakura melebar ketakutan, sebelah kaki Inuzuka bergerak ke belakang kaki Sakura dan Sakura tersandung di saat yang bersamaan dengan Sasori mendorongnya ke aspal.

Kepala Sakura tersentak ke belakang dan dia mulai berteriak, tangan Sasori segera menutup mulutnya dan meredam tangisnya. Ada napas panas di sisi wajahku ketika salah seorang yang memegangku itu menunduk lebih dekat. Napasnya yang bau bir itu sungguh busuk.

“Jangan khawatir, Kawan,” katanya. “Kita semua akan dapat giliran, kami juga akan membiarkanmu bersenang-senang dengannya.”

Tubuhku rasanya seperti disiram air es begitu paham makna tersembunyi di balik ucapannya itu. Kepalaku tak bisa bergerak, tapi mataku terpaku ke jalan di mana Inuzuka sekarang sudah membuat Sakura telentang dan mengangkat roknya hingga ke atas pinggul. Aku bisa lihat celana dalam Sakura yang berwarna biru tua – warna yang sama dengan blus dan bra robeknya itu  – tepat di atas pahanya. Jemari Inuzuka melilit renda biru di sana dan mulai menariknya. Kaki Sakura menendang-nendang, tapi dia ditindih, dan tangan Sasori masih menangkup mulut Sakura.

Sensasi mati rasa di tubuhku dengan cepat digantikan oleh panasnya amarah yang belum pernah kurasakan seumur hidup. Bahkan ketika tangan Ibu terlepas dari wajahku saat aku menatap matanya yang terpejam dan dadanya naik-turun untuk yang terakhir kalinya, aku hanya merasakan kekosongan, merasa tidak berdaya.

Tapi aku berdaya kali ini.

Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan hal yang terjadi pada Ibu, jadi kuarahkan amarah menahun itu pada orang-orang yang menyerang Sakura.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang