Bab 35

1.2K 283 50
                                    

Aku terbangun di ambulans.

Mungkin aku hilang kesadaran tidak lama, karena ambulans masih bergerak dan rumah sakit Konohagakure tidak terlalu jauh dari tempatku parkir. Kubuka mata dan melihat sekeliling, salah seorang petugas memerhatikanku.

“Halo,” sapanya sambil tersenyum. “Tunggu sebentar ya, kita akan segera sampai.”

“Kau harus menurunkanku,” gerutuku.

“Belum sampai,” jawabnya.

“Kami hanya akan memeriksamu,” kata petugas yang satunya lagi.

“Aku tidak punya asuransi kesehatan,” kataku pada mereka. “Aku tidak bisa pergi ke rumah sakit.”

“Jangan khawatirkan hal itu sekarang,” kata petugas pertama. “Mari kita pastikan kau baik-baik saja terlebih dahulu. Tekanan darahmu cukup tinggi, dan mungkin kau syok.”

“Aku baik-baik saja,” kataku. Kucoba untuk bangun, tapi tubuhku diikat ke tempat tidur itu. “Hanya serangan panik saja. Aku sering begitu.”

Petugas kedua meletakkan tangannya di bahuku, dan aku menarik diri dari sentuhannya.

“Berbaringlah,” katanya dengan nada memerintah.

Aku terus berdebat selama beberapa menit terakhir perjalanan, dan berlanjut hingga mereka menurunkanku dan membawaku ke UGD.

“Aku tidak mampu membayarnya,” kataku berulang kali. “Ini tidak ada dalam anggaran, dan tagihan UGD bisa saja mahal. Aku tidak punya asuransi!”

“Akan kita pikirkan hal itu nanti, ya?” kata suara lain. Aku memiringkan kepala, jadi aku bisa lihat siapa yang berjalan di depan. Itu Tuan Haruno.

“Aku tidak ingin berada di rumah sakit, Tuan,” kataku padanya. “Aku baik-baik saja sekarang, sungguh.”

“Mengingat putriku hampir gila mengkhawatirkanmu,” kata Tuan Haruno, “akan kupastikan kau diperiksa terlebih dahulu sebelum dipulangkan. Jika tidak, dia akan memenggal kepalaku.”

Aku menghela napas panjang dan menyerah – untuk saat ini setidaknya. Lagi pula, begitu mereka lihat tidak ada yang bisa mereka lakukan untukku, mereka akan melepaskanku, karena rumah sakit suka uang. Inilah salah satu fakta yang kuketahui dengan baik.

Dalam waktu lima menit, aku berada di ruangan yang tiap tempat tidurnya diberi tirai tinggi. Untungnya, Tuan Haruno ada di luar tirai berbicara dengan salah seorang perawat. Kepalaku berkunang-kunang untuk menghadapinya. Aku agak khawatir, jangan-jangan aku sudah mengatakan hal yang konyol dan bodoh menurutnya – aku benar-benar tidak ingat. Perawat lain masuk dan bersikeras mengukur tanda-tanda vitalku yang telah kembali normal. Sekitar dua menit kemudian, Paman Kakashi dan Bibi Rin tiba di sini. Paman Kakashi segera berdebat dengan perawat sementara Bibi Rin bertanya berulang kali kenapa aku parkir di jalan yang sesepi itu.

Aku tidak tahu harus berkata apa pada Bibi Rin, jadi aku tidak bilang apa-apa. Aku hanya duduk di tepi tempat tidur rumah sakit dan biarkan mereka sibuk sementara aku tetap diam.

Paman Kakashi sekarang sedang bicara dengan dokter tentang aku yang tidak punya asuransi dan berapa biayaku di sini. Sebelum aku sempat berkata aku tidak sadarkan diri dan dibawa ke UGD tanpa persetujuan dariku, terdengar ada suara lagi dari luar.

“Di mana dia? Apa dia baik-baik saja?”

Aku bisa dengar panik di suara Sakura sebelum dia meraih tirai dan menariknya. Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, Sakura melingkarkan tangannya di leherku dan membenamkan wajahnya di bahuku.

“Oh, Tuhan,” seru Sakura di telingaku, “aku sangat mengkhawatirkanmu!”

Dalam waktu yang lama, aku tetap kaku – terlalu syok dengan semua yang terjadi hingga tak bisa bereaksi, dan aku mati-matian berusaha agar tidak panik lagi. Kudengar Bibi Rin terkesiap dan Paman Kakashi berdeham, tapi aku tidak bisa menggerakkan otot atau merespons dengan cara apa pun.

Sakura menatap wajahku. Matanya merah dan bengkak, ada bekas air mata di pipinya. Aku bisa lihat perpaduan rasa lega dan sedih dalam matanya itu berubah jadi amarah.

“Jangan pernah lakukan hal seperti itu lagi!” bentak Sakura. “Jangan pernah kabur seperti itu! Aku tidak tahu di mana kau berada, dan aku khawatir setengah mati! Jika kau dapat serangan panik, setidaknya lakukan di suatu tempat di mana aku bisa menemukanmu!”

“Maaf,” aku terengah-engah. Tenggorokanku sedikit terbakar saat kata itu keluar. Bahu Sakura merosot beserta amarahnya, dan tangannya menelusuri wajahku.

“Kau bilang kau akan baik-baik saja,” dia mengingatkanku. “Semestinya aku tahu itu tidak benar, tapi ketika aku bertanya padamu, kau bilang kau tidak keberatan bertemu dengan ayahku, tapi kenyataannya tidak begitu, bukan?”

“Kurasa,” gumamku lagi, mengalihkan pandangan darinya dan menatap lantai. Sakura menangkup daguku dan berusaha mengarahkan wajahku padanya. Kubiarkan saja dia, tapi mataku tetap tertuju di bahunya.

“Kau harus mengatakan yang sebenarnya padaku,” kata Sakura. “Aku tahu itu sulit, tapi kau tidak boleh begitu saja bilang apa yang menurutmu ingin kudengar, Sasuke. Tidak boleh.”

“Tahu tidak, jika kau tidak mendorongnya ke dalam situasi dimana dia belum siap, dia takkan berakhir di sini!” geram Paman Kakashi.

“Kakashi!” desis Bibi Rin, dan kemudian dia cengkeram lengan Paman Kakashi dan menariknya keluar menuju lorong. “Kau dan aku akan bicara tentang hal ini lagi!”

Sakura memerhatikan mereka berbelok di sudut dan menghilang dari pandangan. Kuambil kesempatan itu untuk melihat lebih dekat wajahnya. Rambutnya agak diikalkan, tergerai membingkai wajahnya yang pucat. Ada noda gelap di bawah matanya, dan aku sadar dia telah memakai riasan mata, aku belum pernah lihat dia pakai itu sebelumnya, tapi yang jelas ada sedikit polesan di sekitar matanya. Warnanya biru tua, sama seperti warna baju yang dikenakannya. Saat aku menatap Sakura, air mata mengalir di pipinya.

“Kenapa kau menangis?” tanyaku bingung.

Sakura berbalik ke arahku, dan aku mengalihkan pandangan ke pipinya.

“Aku mengkhawatirkanmu,” kata Sakura lagi. “Dan juga, Paman Kakashi mungkin benar. Aku terlalu berlebihan mendorongmu, bukan?”

Jemari Sakura mengelus rahangku.

“Tolong katakan padaku,” bisiknya. “Tolong katakan padaku jika ini terlalu berat untukmu.”

“Apanya yang terlalu berat?” aku juga berbisik.

“Aku … kau … kita …”

Aku menelan ludah dan mencoba berpikir, yang tidak begitu mudah dilakukan saat ini. Aku masih mati rasa, dan otot-ototku sakit karena serangan panik. Sulit untuk fokus dan menenangkan diri setelahnya, dan aku masih belum jadi diri sendiri seutuhnya. Bahkan jika aku sudah bisa menguasai diri, aku pun tidak yakin akan jauh lebih baik.

“Benar, bukan?” kata Sakura, suaranya masih pelan. Dari sudut mata, aku bisa lihat kepala dan bahunya terkulai. “Kau tidak ... ingin melakukan ini, bukan?”

Aku tahu aku perlu mengatakan sesuatu. Aku ingin mengatakan sesuatu, hanya saja aku tidak tahu apa. Aku tidak ingin berbohong padanya, dan banyak dari hal ini memang terasa berlebihan untukku. Di waktu yang bersaman, hal itu sepadan dengan ketidaknyamanan yang kualami demi dapat bersamanya. Jika ada yang mengatakan aku bisa bersama Sakura, tapi aku akan dapat serangan panik tiap hari, aku akan setuju tanpa ragu-ragu. Masalahnya adalah aku tidak tahu bagaimana mengatakan itu padanya.

Sambil menarik napas dalam-dalam, kupaksa lenganku yang tampaknya mengunci diri di samping tubuh ini dan kupeluk pinggang Sakura, kutarik tubuhnya mendekat. Kurebahkan kepalaku di bahunya, dan mengecup lehernya.

Aku tidak bisa mengatakan apa yang ingin kusampaikan, jadi kutunjukkan saja padanya.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang