Bab 60

1.4K 251 41
                                    

Sakura membuka pintu penumpang mobil.

“Apa kau akan keluar?” tanya Sakura.

Aku hanya menatap lantai mobil dan bertanya-tanya bagaimana caranya aku harus jawab pertanyaan itu. Aku berhasil tidak terlalu memikirkan pesta kelulusan sampai pada akhirnya harus berangkat dan sekarang aku di sini, aku jadi tidak yakin lagi ini ide yang bagus. Perutku melilit.

“Sasuke?”

Aku menghela napas dan memutar kakiku ke arah pintu, mencolek goresan berbentuk ikan sebelum keluar dan berharap kami kembali ke kamarku melakukan hal-hal lain. Sakura memegang tanganku dan menarikku ke arahnya sebelum menempatkan bibirnya tepat di sudut bibirku.

“Semua akan baik-baik saja,” kata Sakura. “Dan jika terlalu berat, kita akan jalan-jalan sebentar di pantai, jauh dari semua orang sampai kau tenang. Jika itu tidak berhasil, kita pulang, bagaimana?”

“Oke,” gumamku, tidak yakin itu benar atau tidak. Aku tidak ingin merusak malam ini.

Upacara kelulusan telah usai. Aku melewatkan acara itu, sebagai gantinya pergi makan malam bersama Paman Kakashi dan Bibi Rin. Ijazah akan kuterima via pos minggu depan. Aku dan Sakura diterima di universitas yang sama – dia jurusan pendidikan dan aku di bidang teknologi informasi. Tiga per empat biaya kuliahku terbayarkan oleh beasiswa, dan kemudian sisanya dibayarkan oleh pihak Kepolisian Takumi. Mereka rupanya punya dana tersendiri bagi warga yang membantu mengurangi kriminalitas, dan karena aksiku waktu itu melibatkan pengedar narkoba lokal, aku memenangkan dana pendidikan. Dana itu hanya akan bertahan sampai tahun pertamaku kuliah, tapi itu awal yang baik. Sakura juga menerima beasiswa yang menanggung setengah dari keseluruhan biaya, tapi dia tidak perlu mengkhawatirkan setengahnya lagi, karena telah dibayarkan oleh Paman Kizashi, jadi kami berdua siap kuliah di musim gugur.

Mataku tetap terpaku di tanah saat Sakura membawaku ke kumpulan orang-orang. Ketika aku melihat ke atas, aku jadi tahu sebagian besar angkatan kami sudah ada di sini, lengkap dengan stereo portabel, tenda, kotak pendingin minuman, dan panggangan. Ada api unggun terletak lebih dekat ke pantai, tepat di luar garis pasang.

Sakura tersenyum lebar saat dia mendekati para lulusan lainnya, dia lambaikan tangan dan menyapa mereka, seolah-olah normal bagiku untuk berada di sini bersamanya. Beberapa orang juga menyapaku, tapi karena banyaknya orang dan semua hal yang terjadi sekaligus, aku tidak berhasil menanggapi satu pun dari mereka.

“Hai semuanya!” Uzumaki Naruto berdiri di atas kayu besar yang digunakan orang-orang sebagai tempat duduk dan melambaikan tangan di udara. “Sekarang karena Sakura akhirnya tiba di sini, aku ada sedikit pengumuman.”

Hinata memelototi Naruto dari tempatnya berdiri di atas pasir.

“Apa, Sayang?” Naruto menundukkan kepala dan Hinata berbisik di telinganya. “Oh, sial. Maaf. Sekarang, karena Sakura dan Sasuke ada di sini, aku punya pengumuman. Atau sebaiknya, aku dan Hinata punya pengumuman.”

Naruto menarik tangan Hinata sampai dia berdiri di atas kayu bersamanya, dan Naruto memeluk pinggangnya. Naruto menyeringai lebar, sementara wajah Hinata merah padam.

“Sekarang setelah lulus, kami ingin memberi tahu kalian semua bahwa ...” Naruto berhenti bicara, kemudian menatap Hinata sambil tersenyum. “Aku dan Hinata akan menikah musim panas ini!”

Sejumlah orang bicara sekaligus. Banyak jeritan demi jeritan datang dari para gadis, dan dengus tawa dari para lelaki, lalu kemudian ada satu suara yang lebih tinggi dari lainnya.

“Oh, Tuhan,” teriak Yamanaka Ino. “Kau hamil?”

Suasana di sini tiba-tiba jadi sunyi, satu-satunya suara yang bisa didengar adalah debur ombak di belakang kami dan derak kayu saat terbakar. Tubuhku jadi tegang. Ketika aku melihat Sakura, mulutnya menganga dan perlahan dia menggelengkan kepala.

“Kau janji!” teriak Hinata ketika melepaskan tangan Naruto dari pinggangnya. “Kau bilang takkan ada yang tahu!”

Hinata kemudian tersentak dan menutup mulutnya sendiri dengan tangan. Mata Naruto melebar, dan dia mulai menggelengkan kepalanya seperti Sakura. Kemudian Hinata berurai air mata sambil berlari ke pantai.

Aku merasa seperti sedang nonton film.

“Sial,” gerutu Naruto.

“Kau keterlaluan!” teriak Shion pada Ino.

“Apa?” tanya Ino pura-pura polos, bahkan aku pun menyadarinya. “Apa lagi alasan kau menikah di usia delapan belas tahun?”

Semua orang meledak pada saat itu – Ino membela diri, Naruto syok berdiri sembari salah seorang temannya berusaha mengkonfirmasi berita, Tenten dan Lee berusaha menjauhkan Shion dari Ino, dan semua orang bergosip, terlibat pembicaraan, mereka syok sekaligus bingung.

“Sasuke,” kata Sakura. Dia kencangkan cengkeramannya di tanganku sejenak. “Aku harus mengejar Hinata.”

Mata kami bertemu sejenak, aku mengangguk saat Sakura melepaskan jariku dan dia berlari melewati pasir mengejar temannya itu. Aku berada di paling ujung, bertanya-tanya sendiri apa aku harus makan berondong jagung atau tidak. Kakiku bergoyang-goyang sedikit, terpikir untuk kembali ke mobil, tapi aku tidak tahu bagaimana perasaan Sakura tentang hal itu, lagi pula kunci mobil juga dipegang Sakura.

Entah apa yang harus kulakukan selanjutnya, jadi aku berdiri saja di sini.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang