“Apa kau sungguh akan membiarkanku duduk di sini, padahal tiket lotere ada di dapur, mungkin tiket itulah yang menang, dan akan kedaluwarsa besok? Begitukah?”
“Ya.”
“Kau sangat keras kepala.”
Sudah lima belas kali dalam satu jam ini Sakura mengungkit-ungkit tentang tiket lotere. Aku sungguh berharap dia takkan bahas apa pun lagi tentang itu, aku bahkan sedang mempertimbangkan untuk menyelinap ke dapur tengah malam dan membuang tiket lotere terkutuk itu kembali ke tempat sampah, dimana tempat seharusnya dia berada.
Sisi positifnya, dengan menghindari tiket lotere dan semua hal yang berkaitan dengannya, aku jadi banyak mengepak barang. Kotak ketigaku hampir selesai, dan begitu selesai nanti, akan kupastikan aku berakhir dengan kue dan seks.
Mungkin keduanya sekaligus.
“Sasuke, aku sedang memikirkan tiket lotere itu,” kata Sakura.
“Jangan,” kataku otomatis. Kumasukkan kalkulator dan stapler ke dalam kotak, kedua hal itu selalu dibutuhkan di sekolah. Aku bertanya-tanya di mana pembuka staplerku berada.
“Dengarkan aku sebentar,” Sakura bersikeras.
Aku menggelengkan kepala keras-keras.
“Kau menghindari ini,” kata Sakura.
“Ya,” jawabku.
“Sasuke, ini tidak baik untukmu.”
Aku mengabaikannya, dan terus mengambil berbagai perlengkapan alat tulis dari laci meja dan memasukkannya ke dalam kotak. Buku catatan, gunting, pena lima warna – bisa dipakai untuk menulis catatan dengan warna berbeda tiap hari dalam seminggu – dan pelubang kertas bergabung dengan stapler dan kalkulator.
“Dokter Tsunade sudah bilang jika kau menghindari hal-hal yang membuatmu gelisah, itu sama saja dengan tidak mengatasi masalah,” kata Sakura.
Aku menghela napas dan menyilangkan tangan di atas meja. Kuletakkan dahiku di sana. Sakura mengelus rambutku dan aku kembali menghela napas panjang.
“Kenapa kau tidak ingin tahu apakah benar tiket lotere itu yang menang atau bukan?” tanya Sakura pelan.
“Karena jika ya, aku harus melakukan sesuatu,” kataku. “Selama aku tidak tahu, aku tidak harus buat keputusan.”
“Tapi jika kau menunggu, tiket loterenya sudah pasti tidak akan menang,” kata Sakura. “Tiketnya akan kedaluwarsa, dan kemudian tak ada gunanya lagi bagimu.”
“Tiket lotere itu memang tidak ada gunanya bagiku,” aku bersikeras.
“Kau tidak ingin uangnya.”
“Tidak, aku tak ingin uang itu.”
“Apa yang paling mengganggu pikiranmu – tidak menginginkan uang, atau harus membuat keputusan tentang hal itu?” tanya Sakura.
“Keputusan.” Begitu kata itu keluar dari mulutku, aku sadar itu benar sekaligus salah.
“Kau tidak bisa menghindari keputusan,” kata Sakura. Dia terus mengelus rambutku, yang tampaknya membuatku relatif stabil saat dia berbicara. “Membuat pilihan adalah hal penting dalam semua aspek kehidupan, dan menghindari hal sulit takkan membantumu dalam jangka panjang. Kau tidak bisa cuma menunggu berbagai hal hilang begitu saja. Bagaimana jika kau tidak bisa putuskan ingin makan apa untuk makan malam? Pada akhirnya, kau akan kelaparan.”
“Sudah lama aku tidak perlu memutuskan akan makan malam apa,” kataku.
“Tapi pernah, bukan?”
“Aku tak pernah kelaparan,” kataku.
“Pergi tidur dengan perut lapar?”
“Ya.”
“Kalau kau tidak mau uangnya, Sasuke ...” Sakura berhenti sejenak dan menghela napas panjang. “Ya, kurasa aku akan mendukungnya. Aku takkan menyukai keputusanmu itu, dan aku takkan pura-pura mengerti, tapi aku tetap akan mendukungnya. Namun menolak untuk membuat keputusan? Aku tak bisa biarkan kau berbuat begitu.”
Kuangkat kepala, kutatap mata Sakura sejenak sebelum kembali melihat lantai. Ekspresi Sakura memberitahuku segalanya – aku tahu dia benar, dia tahu itu, dan dia takkan biarkan aku menghindar begitu saja. Aku juga tahu dia benar tentang hal lain – ini bukan tentang tiket lotere atau uang. Aku hanya tidak ingin harus memutuskan sesuatu. Ada terlalu banyak hal untuk dipertimbangkan dan perlu dikhawatirkan, terlalu banyak pilihan seperti itu – aku tak ingin menghadapinya.
Bagaimana jika aku terus mengabaikan semua yang tak ingin kuhadapi? Apa jadinya bagi Sakura? Jika aku ingin dia tinggal bersamaku – dan itu sudah pasti – aku tak bisa begitu saja menghindari keputusan besar dalam hidup kami. Aku tidak boleh melimpahkan segalanya pada Sakura dan berharap dia membuat keputusan untukku. Itu tidak adil, dan itu namanya bukan komitmen, yang seharusnya kami miliki.
“Oke,” bisikku.
“Oke?” Sakura mengulangi, mengubah satu kata jadi pertanyaan.
“Aku akan melihatnya,” kataku. “Aku akan lihat dan cari tahu apakah itu tiket lotere yang menang.”
•••
Kedua tangan dan kakiku terasa dingin, mati rasa, dan panas sekaligus. Tanganku gemetaran hebat, aku tidak sanggup benar-benar harus melihat angka di atas secarik kertas kecil yang bernoda saus dan agak bau itu.
“Aku menemukannya,” Sakura mengumumkan. Dia balikkan layar laptop dan menampilkan situs lotere. “Apa angkanya cocok?”
Kucoba untuk fokus pada kertas yang sudah remuk itu, tapi aku tidak bisa benar-benar melihatnya. Aku berakhir menjatuhkannya di atas meja sebelah laptop dan membacanya dengan cara seperti itu.
Layar laptop menunjukkan angka 9, 23, 61, 82, 54, dan 99.
Sama seperti angka di tiket lotere.
“Oh Tuhan,” gumam Sakura.
Tanganku berhenti gemetar, dan perasaan takut menyelimutiku. Di satu titik, aku berubah jadi orang kaya-raya membanjiri otak ini. Pertama, semuanya tampak luar biasa. Aku mampu membayar asuransi kesehatan dan pengobatan. Perawatan Itachi ditingkatkan. Biaya kuliahku dan Sakura takkan jadi masalah lagi. Kemudian hal-hal mulai berubah – argumen tentang apa yang harus dilakukan dengan uang itu, organisasi mana yang paling pantas dapat sumbangan, dan kerabat mana yang harus dihindari bulan ini jadi titik fokus percakapanku dengan Sakura.
“Aku tidak menginginkannya,” bisikku. Mataku beralih ke wajahnya. Sakura sama syoknya seperti aku. “Aku tidak bisa mengambil risiko itu, Sakura. Aku tidak bisa.”
Selama beberapa menit, kami berdua terus bergantian menatap tiket lotere dan layar laptop. Perasaan aneh itu masih menyelimuti sekujur tubuhku, karena aku tahu ini belum benar-benar berakhir. Ini takkan berakhir sampai aku bakar tiket lotere terkutuk itu di selokan atau mungkin langsung membuangnya ke toilet.
Tentu saja, Sakura-lah yang pertama kali keluar dari syok ini, lengkap dengan semua jawaban di ujung lidahnya.
“Aku tahu apa yang harus dilakukan dengan ini,” kata Sakura tiba-tiba. Ketika aku melihat wajahnya, matanya berbinar. “Aku tahu persis apa yang harus dilakukan.”
Sakura menjelaskan idenya padaku, dan aku ikut tersenyum.
Aku tidak bisa membantah rencananya, jadi aku setuju untuk melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...