Ada saat-saat dimana aku berpikir Tuhan membenciku. Aku ingat pernah bertanya pada Ibu kenapa Tuhan menciptakan aku seperti ini. Ibu selalu bersikeras aku istimewa dan Tuhan tak pernah membuat kita melalui apa pun melebihi kemampuan kita. Keesokan harinya, aku kembali berpikir bahwa itu semua omong kosong.
Setelah kematian orang tuaku, ini adalah hari terburuk dalam hidupku.
Hari dimulai dengan baik – aku tidak punya PR, jadi aku berhasil menyelesaikan situs sebelum tengah hari. Ini juga hari gajian, jadi kutransfer semua uang yang terkumpul di akun Paypal ke bank, jadi aku punya cukup uang untuk mengajak Sakura makan malam di Takumi.
Suasana menurun tepat setelah aku kembali dari bank, dimulai dengan menelepon Sakura.
“Hai!” sapa Sakura ceria. “Apa kau sudah siap untuk malam ini?”
“Tidak juga,” aku mengaku. “Aku tidak tahu harus pakai apa.”
Sakura tertawa.
“Itu hanya Takumi,” kata Sakura. “Sepertinya tak ada tempat di kota itu yang mewajibkan kita pakai jas dan dasi.”
“Aku tahu,” kataku, “aku hanya ingin ... aku tidak tahu ...”
Suaraku menghilang. Aku sadar seharusnya aku melakukan percakapan ini dengan Bibi Rin, bukan dengan teman kencanku.
“Jika ini bisa membantu, aku hanya pakai jins dan blus.”
“Ya,” kataku, mengangguk sia-sia ke telepon, “itu membantu.”
“Ada satu hal lagi,” tambah Sakura. Sesuatu tentang nada suaranya membuatku tegang, bahkan sebelum kalimat itu keluar dari mulutnya. “Ayahku bilang dia harus bertemu denganmu sebelum kita keluar. Aku tahu ini konyol, tapi Ayah memang seperti itu.”
“Ayahmu ...” aku menelan ludah agar tidak tersedak, “... ingin bertemu denganku?”
“Ya, Ayah agak memaksa.”
Aku mulai sesak napas dan hampir tidak dengar Sakura bertanya apa itu tidak apa-apa, dan kujawab itu tidak masalah sehingga aku bisa tutup telepon dan duduk dengan kepala di antara kedua kaki karena hendak pingsan.
Itu tidak banyak membantu, dan kepalaku terus pusing.
Kucoba untuk tidak memikirkan kemelut dalam kepala – sungguh. Kucoba memikirkan kemeja apa yang akan kukenakan dengan celana jins hitam dan sepatu apa yang paling cocok dengan semua itu. Aku bahkan sepuluh kali mengangkat telepon ingin menghubungi Bibi Rin untuk minta bantuan, tapi aku tak kunjung menekan nomornya. Jika aku menelepon Bibi Rin, dia pasti dengar panik yang kurasa, dan kemudian Bibi Rin akan tiba di sini lima menit kemudian. Aku tak ingin Bibi Rin datang. Aku ingin melakukan ini sendiri. Aku sudah bilang pada Paman Kakashi aku tidak butuh bantuan, dan aku bertekad untuk melakukan semuanya sendiri, bahkan jika itu berarti pergi ke rumah Sakura untuk menemui ayahnya.
Sial, sial, sial.
Dia punya senapan.
Oke, aku tahu ayahnya takkan menembakku, tapi bagaimana jika dia membenciku? Bagaimana jika dia pikir aku aneh, dan bilang pada Sakura dia tidak boleh keluar denganku? Ayahnya mungkin ingin aku menjabat tangannya dan juga menatap matanya. Jika aku tidak melakukan itu, dia pasti berpikir ada yang tidak beres denganku.
Apa yang sudah Sakura katakan pada ayahnya? Apa ayahnya tahu aku mengalami serangan panik, sehingga aku ketakutan di sekolah secara semi-reguler, atau aku memukul samsak ketika pikiranku sudah tidak tahan lagi? Apa ayahnya khawatir aku akan marah dan memukul Sakura?
Aku takkan pernah melakukan hal seperti itu, tapi bagaimana jika dia pikir aku akan berbuat begitu? Bagaimana jika ayahnya bertanya tentang hal itu dan aku ragu-ragu? Aku pasti akan ragu, karena dengan memikirkan kemungkinan pertanyaan saja sudah membuatku kembali panik.
Kupilih sebuah kemeja lengan panjang dan memasang sepatu keds hitam-putih. Aku tidak bisa memikirkan apa lagi yang harus kukenakan sekarang. Tapi, bukankah apa yang kaukenakan jadi membekas sebagai kesan pertama, dan Ayah Sakura akan memerhatikan apa yang kukenakan. Kulemparkan kemeja hijau itu kembali ke lemari dan meraih yang biru.
Pengacara suka warna biru, bukan?
Saat aku duduk di mobil, aku bahkan tidak bisa memasukkan kuncinya. Telapak tangan berkeringat, kepala berdenyut-denyut, dan mataku perih mulai berair.
“Jangan lakukan ini, jangan lakukan ini,” bisikku pada diri sendiri. Kucoba menghirup napas dalam-dalam, tapi akhirnya malah terengah-engah. Kupegang dada kiri dan menekan tulang dada di sana. Entah aku mencoba bernapas normal atau hanya menjaga agar jantungku tidak melarikan diri. Kucoba memasukkan kunci lagi, tapi tetap tidak berhasil.
Kulirik jam di mobil. Aku harus segera pergi agar tiba di rumah Sakura tepat waktu.
“Tidak, tidak, tidak,” gerutuku. Kucoba lagi kuncinya, tapi tanganku sungguh gemetaran.
Ganti pemandangan, aku ingat.
Aku turun dari mobil dan mulai mondar-mandir di jalan. Kuusap muka, berusaha menenangkan diri. Yang harus kulakukan hanyanya pergi ke sana dan bertemu dengan ayahnya – itu saja. Cuma enam puluh detik waktu yang diperlukan untuk bertanya bagaimana kabar Tuan dan Sakura, lalu kami bisa pergi kencan.
Kencan.
Aku baru berhasil menenangkan diri setelah memikirkan kencan itu sendiri, tapi sekarang aku harus pikirkan bertemu ayahnya. Ini benar-benar luar biasa. Sebelum menelepon Sakura, aku sudah punya gambaran yang cukup, dan aku senang akan melihatnya lagi, sekali pun tidak dalam situasi yang sama seperti biasa. Selain itu, Bibi Rin juga telah memberi banyak ide tentang hal-hal apa saja untuk dibicarakan selama berkendara. Aku tidak pernah bertanya pada Sakura tentang tim voli, jadi aku akan jadikannya sebagai topik percakapan malam ini.
Mungkin Sakura bisa datang ke rumahku saja.
Tidak, aku sudah reservasi restoran.
Sial, sial, sial.
Ujung jari menekan mata saat aku bersandar di mobil dan berusaha meyakinkan diri bahwa normal jika gugup ketika akan bertemu ayah kekasihmu dan aku tidak harus khawatir tentang hal itu.
Kekasih?
Kuhabiskan waktu beberapa menit untuk bertanya-tanya apa itu benar atau tidak. Kupikir begitu. Maksudku, Sakura datang ke rumahku hampir setiap hari dan dia menciumku. Aku sangat yakin itu berarti dia kekasihku, tapi mungkin aku harus konfirmasi padanya.
Itu pun jika aku berhasil sampai di rumahnya.
“Kau bodoh,” geramku sendiri saat aku kembali ke dalam mobil. Kugertakkan gigi dan memutar kunci. Mobil menderu, dan aku berhasil memutar arah, tapi aku tidak bisa melepaskan kaki dari rem.
Melangkah satu-satu.
Kupejamkan mata dan perlahan mencoba bernapas lagi. Yang harus kulakukan adalah mengemudi ke sana. Rumah Sakura bahkan tidak terlalu jauh, dan aku selalu lewat depan rumahnya ketika pergi ke sekolah. Tentu saja, akhir-akhir ini aku tidak mengemudi sendiri – Sakura yang menjemputku.
Dengan mengencangkan cengkeraman di roda kemudi, kulepaskan kaki dari rem dan berbelok ke jalan raya. Aku terus berkonsentrasi ke jalanan menuju rumah Sakura alih-alih memikirkan apa yang akan kulakukan begitu sampai di sana. Sungguh sulit rasanya. Tentu saja, begitu aku sampai di rumah Sakura, aku hanya lewat.
Berpikir untuk berhenti saja sudah membuat tubuh ini mati rasa.
Aku terus berkendara 500 meter dari Kediaman Haruno dan menepi di jalan. Perlahan-lahan kuparkir mobil dan mematikan mesin. Sesaat aku hanya menatap keluar kaca depan, tapi tak lama setelah itu, kurebahkan kursi hingga hampir rata, aku meringkuk dan tubuhku mulai gemetaran.
Aku tak bisa memiliki apa yang orang lain miliki, jadi aku menyerah saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...