Bab 39

1.1K 277 40
                                    

Saat aku sampai di meja dapur Sakura, aku sudah makan setengah kue itu dan perutku begah. Namun, itu semua sepadan. Sakura memberiku segelas susu dingin sebagai pencuci mulut.

“Aku belum pernah lihat orang makan kue sebanyak itu dalam satu kali duduk,” kata Sakura sambil tertawa.

“Kuenya enak,” jawabku. Kulap mulut dengan punggung tangan.

Sakura meraih tanganku dan membawaku ke ruang keluarga, di sini aku bisa lihat pusatnya fokus pada televisi layar lebar milik Tuan Haruno. Televisi itu mendominasi ruangan, dan juga ada sofa dan kursi dimiringkan ke arah sana. Aku dan Sakura duduk di sofa yang agak usang, tapi sangat nyaman, dan kuperhatikan sekitar ruangan.

Ukuran ruang keluarga menguasai sebagian besar rumah ini, sungguh. Tempat sederhana ini sepertinya cocok untuk Sakura dan ayahnya. Rumah ini … nyaman.

Aku menyukainya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sakura.

“Ya,” kataku.

“Apa kau mau nonton TV?”

“Oke.” Sepertinya pas, sungguh. Ini sekitaran waktu kami nonton TV di rumahku setelah mengerjakan PR. Jadi nonton di rumah Sakura tidaklah jauh berbeda. Kulirik Sakura dan tersenyum, dia gonta-ganti saluran. “Aku suka TV ini.”

“Ini TV kebanggaan Ayah,” Sakura mencibir. “Ayah bercerita tentang TV ini, seolah-olah TV ini adikku. Ayah dan temannya biasa menghabiskan waktu berjam-jam nonton pertandingan bisbol.”

“Ayahmu suka bisbol,” kataku, ini pernyataan.

“Hampir sesuka memancing,” Sakura membenarkan. “Aku tidak percaya kau juga menyukai kedua hal itu.”

“Bisbol lumayan,” kataku. “Aku agak kesulitan menontonnya di televisi, tapi aku suka nonton pertandingan langsung. Ada banyak untuk ditonton di sana. Pertandingan langsung tidak bergerak secepat tayangan televisi, dan di stadion ada banyak hal-hal lain yang bisa jadi fokusku juga.”

“Kau membuat Ayah terkesan, itu pasti.”

“Benarkah?”

“Ya,” kata Sakura. “Semua teman kencanku selalu diajak memancing oleh Ayah. Mereka semua membencinya.”

“Oh,” kataku, dan aku mengerutkan kening. Aku teringat dengan Inuzuka Kiba, dan tidak suka itu. Untungnya, Sakura menemukan acara favorit kami dan kepalaku rebah di pangkuannya.

Sakura menyentuh rambutku, dan meskipun aku rileks – dan ini tidak pernah terjadi di luar rumahku atau rumah Paman Kakashi, tetap saja aku memikirkan semua orang yang pernah Sakura kencani.

“Pacarmu ada berapa?” kudengar bibirku bersuara. Aku meringis pada saat yang bersamaan, dan tangan Sakura berhenti bergerak di rambutku.

“Tiga, kurasa,” jawab Sakura, suaranya pelan.

“Siapa saja mereka?” Terkadang mulutku ini bekerja sendiri tanpa pernah berkonsultasi dengan kepala. Mulutku bahkan tidak peduli jika aku ingin tahu jawaban atas pertanyaan itu atau tidak.

“Aku berkencan dengan Morio kelas sepuluh,” kata Sakura. Nada suaranya agak tajam saat itu. “Kami berkencan mungkin dua bulan – sama sekali tidak serius. Lalu aku berkencan dengan Akasuna Gaara sebentar tahun lalu, dan kemudian Kiba, yang sudah kau ketahui.”

Untuk sementara, aku tidak bertanya apa-apa lagi dan Sakura terus memainkan rambutku selagi aku memikirkan tiga lelaki yang dia kencani sebelum aku. Aku tidak tahu banyak tentang Gaara – dia pendiam dan pemain terompet di marching band sekolah. Morio dan Kiba – mereka berdua termasuk dalam kategori murid berandalan.

Sepertinya Sakura punya selera yang buruk dalam memilih pasangan.

Apa aku juga termasuk ke dalam kategori itu?

Jika ayah Sakura tidak pulang, aku akan mengajukan pertanyaan. Namun kehadirannya sungguh membuatku takut.

“Oh, hai,” kata Tuan Haruno sambil berjalan ke ruangan.

Aku langsung duduk dan beringsut ke ujung sofa, bertanya-tanya apa yang Tuan Haruno pikirkan ketika melihat kepalaku ada di pangkuan Sakura. Sakura melayangkan tatapan aneh padaku dan sedikit menggelengkan kepala.

“Siapa yang makan kue setengah?” tanya Tuan Haruno, dan aku langsung melihat lantai.

“Aku membuatnya khusus untuk Sasuke, Ayah,” kata Sakura singkat. Dia mencibir. “Aku yakin Sasuke akan berbagi jika Ayah minta dengan baik.”

“Bagaimana, Sasuke?” panggil Tuan Haruno. “Apa kau mau bagi sepotong denganku?”

“Oh ... um ... tentu!” gumamku. “Maksudku, tentu saja, Tuan.”

Tuan Haruno juga mencibir, tawanya sangat mirip dengan tawa Sakura.

“Bagus kalau begitu,” tambah Tuan Haruno. “Karena kalau tidak, aku akan minta biaya sewa sofa dan TV.”

Kulirik Tuan Haruno dan kemudian Sakura. Mereka berdua menahan tawa, tapi aku tidak sepenuhnya yakin lelucon itu. Humor bukan hal yang mudah bagiku, dan sering kali apa yang menurutku lucu ternyata tidak dianggap lucu oleh orang lain. Walaupun begitu, Sakura dan Tuan Haruno sepertinya tidak menertawakanku, jadi aku tersenyum kecil dan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan sudah tertangkap basah oleh ayahnya.

Sungguh, Tuan Haruno sepertinya tidak keberatan.

Beberapa jam kemudian dan pertandingan bisbol hampir berakhir, aku pulang membawa dua potong kue terakhir. Aku masuk mobil, dengan hati-hati menempatkan wadahnya di kursi penumpang agar tidak jatuh saat aku berbelok nanti, dan aku pulang sambil tersenyum.

Hal yang membuatku paling bahagia adalah betapa normalnya semua ini.

Aku tak bisa memikirkan hal lain, jadi aku pergi tidur dan memimpikan rumah Sakura.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang