Bab 26

1.1K 291 64
                                    

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Sakura untuk yang kedua belas kalinya hari ini. Dia perlambat laju mobil ketika hendak berbelok menuju jalan ke rumahku selagi aku berusaha menjaga jantung ini tidak melompat keluar dari dada.

Sudah seperti itu sepanjang hari. Tiap kali aku mendekati Sakura, aku bisa dengar kata-kata yang telah kulatih dengan Bibi Rin. Aku tak sanggup mengatakannya, tapi mereka terus terngiang-ngiang di kepala. Kuhirup napas dalam-dalam dan menyodok goresan kecil berbentuk ikan di bagian dalam pintu mobil, aku sadar itu telah jadi kebiasaan. Kebiasaan adalah hal yang berbahaya bagiku, karena begitu dimulai, aku hampir tak pernah bisa berhenti, tapi setidaknya itu mengalihkan perhatianku dari topik yang sedang dibahas.

“Sasuke?” Suara Sakura agak menurun, dan aku meliriknya.

“Maaf,” gumamku.

“Tidak apa-apa,” kata Sakura, “pikiranmu tampaknya teralihkan hari ini.”

Aku sedikit mendengus.

“Pikiranku biasanya memang sering teralihkan,” kataku.

“Lebih dari biasanya,” Sakura mengoreksi.

“Hanya sedang berpikir,” aku mengaku.

“Tentang?”

Tentang mengajakmu pergi makan malam denganku besok.

Aku tidak berkata apa-apa. Kupejamkan mata sebentar dan membayangkan apa yang telah kulatih dengan Bibi Rin tadi malam. Mulutku terasa sakit hanya untuk membuat kata-kata itu, sepertinya aku tak bisa melakukannya.

Dengan pandangan kuarahkan ke jendela, kuputuskan untuk memulai dari hal yang sedikit lebih mudah.

“Besok Hari Sabtu,” kataku. Ini awal yang bagus, bukan?

“Ya,” jawab Sakura. Dia melihat ke arahku saat bicara.

“Apa kau ... um ... maksudku, apa kau ...” Aku terdiam, berusaha mencari tahu apa yang ingin kukatakan. Jendela agak beruap karena hujan yang dingin di luar ditampa oleh kehangatan yang berasal dari pemanas mobil. Saat aku bicara, kulihat napasku menyebarkan kondensasi di jendela. “Apa kau ... melakukan sesuatu besok?”

“Tidak juga,” kata Sakura sambil mengangkat bahu. Dia nyalakan lampu sein dan duduk menunggu mobil yang lewat, lalu berhenti di depan jalan rumahku dan mematikan mobil. “Ayah seharusnya pergi memancing dengan temannya, tapi kurasa itu dibatalkan. Mungkin aku akan selesaikan makalah sastra lebih awal agar aku tidak mati kebosanan.”

Sekarang atau tidak sama sekali.

Dengan jantung berdebar-debar, tangan gemetar, dan napas tak menentu, aku mengutarakannya.

“Apakaumaumakanmalamdenganku?”

Aku memejamkan mata dan berusaha menahan keheningan yang datang setelahnya. Aku bisa dengar napasku sendiri dan detak jantungku, mereka kedengaran cukup keras hingga memblokir yang lain. Sepertinya aku hampir meledak ketika merasakan ujung jari Sakura menempel di tanganku.

“Uchiha Sasuke,” nada suara Sakura agak terkejut. “Sepertinya kau mengajakku berkencan.”

“Itu ... um ...” Aku harus berhenti, menelan ludah beberapa kali, dan kemudian menarik napas dalam-dalam untuk lanjut bicara. Nada suaraku sangat rendah sehingga aku hampir tak bisa dengar diriku sendiri. “Itu tidak apa?”

“Ya, tidak apa,” kata Sakura sambil tertawa lembut. “Aku senang kau akhirnya mengajakku.”

“Benarkah?” Aku cepat-cepat meliriknya, dan kemudian kembali melihat tanganku.

“Lama sekali kau baru mengajakku,” kata Sakura. Saat aku melihat wajahnya, dia tersenyum.

“Aku tidak tahu apa yang akan kau katakan,” aku mengakui.

Ya. Dia bilang ya. Dia bilang ya padaku.

“Setelah sekian lama kita habiskan waktu bersama?” Sakura sedikit menggelengkan kepalanya. “Kita perlu meningkatkan rasa percaya dirimu.”

“Benarkah?”

“Ya.”

Sakura berbalik ke arahku saat itu, pertama-tama dia tekuk lututnya ke kursi mobil dan kemudian dia angkat tubuhnya sehingga dia duduk di atas kaki. Dia miringkan kepalanya ke kiri untuk melihat wajahku. Aku tidak bergerak. Perutku masih jungkir balik.

“Tahu tidak,” kata Sakura lembut sambil lebih mendekatkan kepalanya ke arahku, “aku hampir putus asa. Sudah lama aku ingin mengajakmu kencan, tapi aku tidak yakin bagaimana kau akan menerimanya. Aku senang kau akhirnya bertanya padaku.”

“Benarkah?” kulirik Sakura sebentar, lalu buang muka lagi. Semuanya terjadi begitu cepat dan sangat lambat di saat yang bersamaan, membuatku sungguh kebingungan.

“Tentu saja.” Dari sudut mata, kulihat Sakura menggelengkan kepala.

“Kau tidak pernah melihatku,” kata Sakura tiba-tiba.

Aku jadi tegang dan berusaha memahami nada bicaranya. Sakura tidak tampak marah, tapi memori lain ketika seseorang membuat pernyataan yang sama padaku dalam nada marah terus menghantui. Itulah yang sering jadi hal terakhir yang mereka katakan sebelum pergi dariku dan tak kembali lagi.

“Aku melihatmu,” bisikku saat rasa takut merayap masuk. Tanganku mulai gemetar. “Aku melihatmu lebih sering dari orang lain.”

“Tidak apa-apa,” aku dengar suara Sakura yang tenang memanggil dari samping. Kutatap pangkuan saat Sakura bergerak agak lebih dekat. “Sasuke, sungguh itu tidak apa-apa.”

Ujung jarinya menyentuh rahangku.

“Sekarang, tataplah aku,” kata Sakura pelan. “Aku takkan menyakitimu.”

Kupaksa mataku melihat Sakura saat dia memegang rahangku dan memposisikan kepalaku ke arahnya. Matanya hijau sempurna, bulu matanya sungguh lentik dan tak perlu senyawa kimia apa pun untuk membuatnya terlihat lebih panjang.

Dia sungguh cantik.

Tidak dapat menahannya lebih lama lagi, mataku menatap ke bawah, lalu ke kanan, fokus pada garis cokelat di lengan bajunya. Seluruh ototku masih tegang, dan aku tahu aku harus memukul samsak malam ini.

“Kenapa begitu sulit?” tanya Sakura.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Tak ada yang pernah menanyakan hal itu sebelumnya. Bagaimana caranya aku bisa jelaskan bahwa terkadang sungguh terasa menyakitkan untuk menatap mata seseorang? Mungkin mereka bisa lihat ke dalam diriku, dan melihat sesuatu yang buruk sekali. Lebih parah lagi, mungkin aku akan lihat sesuatu di dalam jiwa mereka, dan aku akan temukan sesuatu yang mengerikan tentang mereka. Bagaimana jika reinkarnasi itu nyata, dan jika aku menatap cukup lama aku bisa lihat kehidupan masa lalu dari jiwa-jiwa itu di dalam diri mereka?

Mungkin Sakura akan tahu betapa anehnya aku karena memikirkan hal-hal itu.

Jemari Sakura membelai rahangku, menggelitiknya sedikit. Aku berusaha meliriknya lagi, tapi aku masih tidak bisa menatapnya lama-lama. Aku melihat ke bawah dan mataku terfokus pada bibir Sakura saat lidahnya terjulur untuk membasahi bibir.

“Begitulah,” kataku akhirnya. Ini mungkin jawaban paling payah di dunia, tapi hanya itu yang kupunya.

“Pejamkan matamu kalau begitu,” kata Sakura.

“Apa?” bisikku. Tatapanku kembali fokus ke bibir Sakura ketika dia bergerak lebih dekat. Saking dekatnya, wajah kami hampir bersentuhan.

“Tutuplah matamu,” kata Sakura lembut.

Belum siap, pikirku dalam hati, tapi pertempuran internal sudah berkecamuk. Aku tahu apa yang Sakura pikirkan – tak perlu jadi pembaca pikiran untuk memahaminya ketika dia mendekatkan bibir kami. Sebagian dari diri ini ingin lari berteriak keluar dari mobil, tapi ada bagian lain – yang jauh di lubuk hatiku – ingin tahu bagaimana rasanya.

Kelopak mataku tertutup.

Aku rasakan sentuhan bibirnya – hangat dan lembut – di bibirku.

Aku tidak percaya apa yang terjadi, tapi yang pasti aku tidak ingin berhenti.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang