Bab 42

1.2K 278 49
                                    

Aku benar-benar tidak punya niat untuk memberi tahu Sakura tentang pertemuanku dengan Inuzuka Kiba. Bukan karena aku tidak ingin Sakura tahu, tapi aku cenderung menaruh hal semacam itu di masa lalu dan tak terlalu memikirkannya. Memikirkannya dan bertindak dipengaruhi emosi takkan menghasilkan apa-apa, selain menambah kesengsaraan. Membicarakannya dengan Sakura berarti membawa hal itu kembali ke masa sekarang, dan aku tidak biasa lakukan itu.

Rupanya, Shikamaru tidak sejalan denganku.

“Jadi, apa yang akan kalian berdua lakukan terhadap Inuzuka?” tanya Shikamaru ketika Sakura duduk di meja kami. Aku baru saja mengeluarkan roti lapisku yang agak penyet dan mengatur letaknya berdekatan dengan wortel dan lain-lain. Aku yakin ada memar di dada karena jatuh menimpa apel, tapi apel itu sendiri tampak baik-baik saja.

“Maksudmu?” tanya Sakura.

Shikamaru lanjut bicara sebelum aku sempat menghentikannya. “Dia baru saja menungkai kaki Sasuke dan mendorongnya,” sembur Shikamaru. “Kurasa dia belum selesai. Dia pernah bilang pada Sasuke untuk menjauh darimu, dan itu sebelum kalian terang-terangan memamerkan hubungan.”

Shikamaru mencibir, dan Sakura menoleh ke arahku. Kupegang-pegang rotiku yang penyet, tidak mau melihat penampilannya. Aku bisa rasakan tatapan Sakura, dan ada sensasi panas yang memancar dari tubuhnya ke tubuhku.

“Dasar bajingan,” gumam Sakura, dan dia berbalik dari bangku dan bergegas menyeberangi ruangan, tepat ketika aku membuka bungkusan wortel.

“Sial,” gerutu Shikamaru. “Dia marah.”

Aku mendongak dan melihat Sakura sudah berada di meja tempat Kiba duduk bersama teman-teman tim sepak bolanya. Aku tidak tahu apa yang Sakura rencanakan, tapi aku merasa terdorong untuk mengikutinya dan berusaha menghentikannya dari … ya, apapun yang sedang dia pikirkan.

“Apa yang salah di dirimu?” Sakura membungkuk dengan telapak tangannya di atas meja depan Kiba. Kiba bersandar sehingga kursinya hanya berdiri dengan dua kaki belakang dan dia menyeringai pada Sakura.

“Aku tidak mengerti apa maksudmu, Sayang,” jawab Kiba dengan seringai lebar. “Sejauh yang kuketahui, aku sempurna.”

Teman-temannya tertawa, dan Sakura melanjutkan omelannya.

“Tinggalkan aku dan Sasuke sendiri!” perintah Sakura. Dia angkat tangan dari meja dan menggoyangkan jari telunjuknya ke arah Kiba. “Aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu, dan kau sudah tahu itu! Kukira kita setidaknya bisa berteman, tapi tingkahmu membuat itu tidak mungkin terjadi!”

Suara keras kaki depan bangku Kiba membentur lantai saat dia bergerak maju membuatku ngeri. Tampaknya banyak orang terdiam di sekitar kami tepat saat itu, dan ruangan jadi sunyi. Saat aku menatapnya, ada sorot di mata Kiba yang tidak kusukai sama sekali. Itu kelihatan seperti seseorang yang hanya ingin menunjukkan pada teman-temannya betapa hebatnya dia dengan menindas orang lain. Tatapannya itu penuh kebencian, dan tiba-tiba aku sama sekali tidak ingin Sakura berada di dekatnya. Kucengkeram bagian bawah lengan Sakura, berusaha membujuknya pergi.

“Oh, kita takkan pernah berteman,” cibir Kiba sambil mencondongkan tubuh ke dekatnya. Aku terus mencengkeram lengan Sakura, tapi dia tidak mau bergerak. “Tidak pernah hanya sekedar teman.”

Saat itulah mereka mulai saling berteriak.

“Kau bajingan—”

“Dasar jalang sok suci—”

“Brengsek!”

Kutarik lengan Sakura agak keras, sebaiknya kubawa Sakura pergi sebelum ada guru yang datang. Selain itu, aku masih tidak suka tatapan Kiba, dan aku tidak ingin Sakura berada di dekatnya lagi. Jika memungkinkan untuk selamanya.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang