Bab 66

1.4K 252 36
                                    

“Bawa yang ini,” kata Sakura sambil menyodorkan sebuah kantong belanjaan ke tanganku. Dia bersandar ke bagasi mobilku untuk mengeluarkan yang lain, dan aku bisa lihat kulit mulus di antara ujung kemeja dan celana pendeknya. Aku menghela napas, dan fokus kembali ke kantong di tanganku, yang kuyakini berisi kue. Kuintip sedikit, tapi Sakura sudah kembali tegak dan menggoyangkan jarinya.

“Tidak boleh mengintip!”

“Aku sudah bisa mencium aromanya, tahu,” kataku. Aroma stroberi, gula, dan kue yang hangat menguasai indra penciumanku.

“Ya, tapi, kan, kau tidak bisa lihat, dan itulah yang terpenting.”

“Kenapa?”

“Tidak boleh bertanya!” tawa Sakura dan menuju ke rumah sambil membawa kantong lain, yang berisi bihun, sayuran, dan berbagai botol saus.

Kulirik ke belakang, curiga Paman Kizashi tiba-tiba datang dan mengumumkan dia tidak jadi memancing, lalu memutuskan ingin bergabung dengan kami untuk makan malam. Jika bukan ayah Sakura, mungkin Bibi Rin atau Paman Kakashi yang muncul memeriksaku. Aku belum melihat mereka lagi sejak Rabu, dan tidak aneh jika Paman Kakashi tiba-tiba muncul membawa makan malam sementara Bibi Rin bersiap-siap untuk perjalanan bisnis.

“Hentikan,” kata Sakura dengan lembut.

“Hentikan apa?”

“Memikirkan semua skenario buruk.”

“Oh.”

Sakura mulai mengeluarkan semua isi kantong dan meletakkannya di atas meja. Kubantu memotong bawang saat dia membuat saus dan masak mie. Kuperhatikan dengan seksama Sakura menggoreng tofu dan sayuran dalam saus, lalu menambahkan mie, telur, dan kacang-kacangan. Dia hidangkan ke piring, dan kami mulai makan.

Ini lezat.

“Sepertinya kue stroberi tidak cocok dengan makan malam kita,” kata Sakura.

“Kue cocok dengan apa saja,” kataku sambil mengangkat bahu. Sakura hanya tersenyum dan menatapku dengan bulu matanya yang lentik itu. Aku buang muka dengan cepat, leher dan pipiku jadi panas. “Maksudku, kue buatanmu sangat enak, tidak peduli apa pun makanan utamanya.”

Kami selesai makan malam, bersih-bersih, lalu Sakura memberiku sepotong kue stroberi yang didekorasi dengan hiasan yang rumit, dan ada kalimat Selamat Atas Kelulusan di atasnya.

“Aku sedih kau tidak dapat ijazah seperti kami di upacara kelulusan,” kata Sakura, “dan pesta kelulusan berakhir seperti bencana. Aku ingin merayakannya denganmu – kecil-kecilan.”

Sejujurnya, itu sama sekali tidak penting bagiku. Aku tidak peduli harus berjalan melintasi panggung bersama orang lain, atau bahkan dapat ijazah lewat pos, bukan diserahkan padaku langsung oleh Kepala Sekolah Sarutobi. Aku hampir mengatakan itu pada Sakura, tapi kemudian aku sadar dia telah bersusah payah mendekorasi kue untuk merayakannya bersamaku.

Ketika aku melihat wajahnya, ada sedikit kekhawatiran di sana, dan aku jadi tahu betapa pentingnya ini bagi Sakura.

Inilah realisasinya, dan aku baru sadar apa yang selama ini Sakura lakukan – dia telah melakukan upaya ekstra untukku – aku terkejut dan cuma bisa duduk diam selama beberapa menit. Seolah-olah sesuatu di dalam kepalaku tiba-tiba mengalir begitu saja.

Bahkan saat Ibu dan Ayah masih hidup dan melakukan sesuatu untukku, aku tidak pernah memikirkan ini – kau lupa pada apa yang penting bagimu dan hanya berfokus pada apa yang penting bagi orang lain. Dokterku dulu pernah membicarakannya, tapi aku tidak pernah mengerti apa maksudnya. Kenapa aku bisa merasa seperti itu terhadap orang lain?

Tapi aku merasakannya sekarang. Sekarang aku mengerti. Kuulurkan tangan dan menarik Sakura ke dalam pelukanku, lalu mencium bibirnya dengan lembut.

“Terima kasih,” bisikku. “Terima kasih banyak, Sakura ... kau tidak tahu betapa berartinya ini bagiku.”

“Sasuke,” kata Sakura dan mengusap rambutku. “Ini cuma kue.”

Binar di matanya memberitahuku hal sebaliknya.

“Tidak,” kataku sambil menggelengkan kepala, “bukan. Ini bukan kuenya. Ini kau. Ini semua tentangmu. Kau segalanya bagiku, bahkan lebih ... walaupun ini tidak masuk akal, tapi begitulah adanya.”

Berbagi emosi yang mengalir di diriku sama sekali tidak terasa berlebihan, tak seperti dugaanku. Ini menyegarkan. Menawan. Seru.

Erotis.

Ini emosi paling murni yang pernah kualami.

Kuulurkan tangan dan mengangkat Sakura ke dalam pelukanku, memeluknya di dada. Kutatap matanya, dan dia balas menatapku. Untuk kali ini, tak ada kecemasan – tak ada keanehan ketika jiwa kami terhubung melalui tatapan. Saat tangannya menelusuri pipiku, aku tidak bergerak, tegang, atau pun membeku. Aku hanya menatap matanya, ingin cari tahu bagaimana caranya aku bisa mengungkapkan pada Sakura betapa berartinya dia bagiku.

“Aku mencintaimu,” kataku.

“Aku juga mencintaimu,” jawab Sakura.

Kalimat saja tidak cukup. Dekat pun tidak. Aku menggeleng perlahan, namun tetap menatap matanya.

“Aku ingin tunjukkan padamu.”

“Tunjukkan padaku?”

Aku menciumnya, dan ujung lidahku terulur dan menyentuh bibirnya.

“Aku ingin tunjukkan padamu,” kataku lagi. “Aku ingin tunjukkan betapa aku mencintaimu.”

Aku tidak bisa menunggu lagi, jadi kubawa dia ke kamarku.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang