Bab 49

1.2K 274 52
                                    

“Apa kau akan keluar dari bantal?”

“Tidak.” Terus terang, lumayan menyenangkan di bawah bantal. Di sini lembut, hangat, dan wangi seperti Sakura. Di sini juga gelap, dan wajahku tersembunyi, jadi Sakura tidak bisa melihatku setelah aku mengaku padanya aku pernah membayangkan berhubungan seks dengannya.

Aku bisa dengar Sakura menghela napas dan merasakan jemarinya mengusap area antara bahu dan leherku. Ototku masih sakit di sana, dan sungguh nyaman ketika disentuhnya.

“Kau bertingkah konyol.”

Aku mengangkat bahu, selimut jatuh dari bahuku. Sakura menariknya kembali.

“Lagi pula aku masih bisa melihat dirimu!” kata Sakura sambil tertawa. Aku kembali mengangkat bahu, tapi Sakura menahan selimut agar tidak jatuh lagi. Jemarinya menelusuri bahuku hingga lengan atas. Rasanya sama seperti saat dia mengusap rambutku, aku jadi agak rileks.

“Aku juga, tahu,” kata Sakura pelan.

“Kau juga apa?” tanyaku.

“Memikirkanmu,” dia menegaskan. Suara Sakura jadi turun lebih rendah. “Ketika aku di sini ... di tempat tidur.”

Aku menelan ludah dan memejamkan mata, meskipun aku tidak bisa lihat apa-apa dari sini. Aku mengerti apa yang dia katakan, dan aku juga ingat apa yang telah kulakukan saat di tempat tidur dan memikirkannya.

Jari Sakura menelusuri lenganku, dan secara refleks kucengkeram sisi tubuhnya. Tangannya terlepas dari lenganku dan sekarang berada di pinggulku. Dengan telapak tangannya ditempatkan dengan erat di pahaku, Sakura menggusap celana jinsku. Aku kembali menelan ludah, aku dilema antara berharap Sakura memindahkan tangannya ke depan celanaku, atau berharap dia menyuruhku pulang.

“Sakura,” kataku sambil menarik kepala keluar dari bawah bantal dan melirik wajahnya. Aku menarik napas dalam-dalam, masih tidak tahu apa aku sungguh setuju dengan hal yang akan kukatakan atau tidak. “Aku mau, sungguh … tapi kau ketakutkan. Selain itu … ya, aku … aku … Sakura, aku belum siap.”

Sakura menghentikan gerakan tangannya sejenak sebelum dia mengangkatnya lagi. Dia tangkup pipiku dan berusaha agar aku menghadapnya, tapi aku lebih memilih untuk kembali bersembunyi di bawah bantal daripada menatap matanya pada saat ini.

“Kenapa aku merasa posisi kita terbalik dalam hal ini?” kata Sakura sambil tertawa pelan. “Bukankah para lelaki seharusnya berusaha membujuk para gadis untuk melakukan hal itu?”

Aku kembali angkat bahu.

“Aku tidak tahu,” jawabku. “Tapi Sakura ... aku masih membiasakan diri dengan kenyataan aku punya pacar. Apalagi yang secantik dirimu. Aku tidak mau …”

Suaraku hilang, dan aku memiringkan kepala kembali ke bantal. Sakura membelai rambutku.

“Tidak mau apa?” tanya Sakura pelan.

“Aku tidak mau ...” Aku menggertakkan gigi dan memaksa diri ini untuk bicara. “Aku tidak mau mengecewakanmu.”

Kali ini, ketika aku tidak menoleh ke arah Sakura, dia merunduk dan menempatkan wajahnya ke bantal di sampingku, mendorong bantalku sedikit hingga wajahku lebih kelihatan. Sakura bergerak maju sampai hidung kami bersentuhan.

“Aku juga tidak tahu harus berbuat apa,” kata Sakura. “Tapi aku sangat yakin kau takkan mengecewakanku.”

Kami berciuman dengan lembut sebelum Sakura kembali mundur dan memejamkan matanya. Kupeluk Sakura lebih erat, menariknya ke dadaku. Beberapa menit kemudian, dia tertidur.

•••

Aku dan Sakura lebih banyak tidur sepanjang Hari Minggu, dan tidak sadar bahwa cerita tentang penyerangan kami telah sampai ke berita lokal. Paman Kizashi pasti tahu, tapi dia tidak memberitahu salah seorang dari kami. Mungkin Paman Kizashi tidak ingin Sakura kepikiran hingga tidak bisa tidur malam itu. Bagaimanapun juga, saat kami keluar dari mobil Sakura Senin pagi dan mulai berjalan menuju gedung sekolah, semuanya berhenti untuk menatap kami.

“Astaga,” gerutu Sakura pelan.

“Apa?” tanyaku.

“Setengah dari tim sepak bola ada di sana,” kata Sakura. “Lihatlah mereka. Mereka semua pasti sudah tahu apa yang terjadi.”

Ketika mataku melesat ke arah gedung sekolah, kulihat mereka memerhatikan kami jalan mendekat. Sakura berbalik ke arahku dan berusaha mendorongku ke belakang.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku. “Bel pertama sebentar lagi berbunyi. Kita harus berada di loker atau aku takkan sampai di kelas tepat waktu.”

“Sasuke, mereka tahu!” kata Sakura agak lebih keras. “Mereka semua teman Kiba – rekan satu timnya! Aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan!”

Kuraih lengan Sakura dan menariknya ke hadapanku. Kutatap matanya sejenak untuk mengingatkannya. “Aku takkan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu.”

“Bagaimana jika mereka ingin menyakitimu?” bisik Sakura.

Kulirik ke balik bahuku, ada enam orang lelaki bertubuh besar di dekat pintu masuk – semuanya pemain sepak bola. Setidaknya ada puluhan murid lain yang berdiri juga di sekitar sana, rasanya mereka takkan melakukan apa-apa dengan penonton sebanyak itu.

“Kita akan baik-baik saja,” kataku. Kubalikkan tubuh Sakura, kuletakkan tangan di bahunya agar dia tetap berada di dekatku, kutundukkan kepala, dan mulai berjalan menuju gerbang

Saat kami mendekati gerbang, mereka semua berdiri agak lebih tegak. Beberapa diantaranya berjalan maju sedikit.

Tubuhku jadi tegang. Terlepas dari apa yang kukatakan, sepertinya aku tidak bisa menangani enam orang sekaligus. Aku hanya bisa menangani dua orang sekaligus, dengan asumsi bahwa mereka tak lebih terampil daripada aku, tapi aku tidak bisa ambil risiko lebih dari itu. Jika penilaianku salah – jika mereka akan melakukan sesuatu yang lain – aku tidak tahu akan berbuat apa.

Lenganku mengencang di pinggang Sakura, dan kupertimbangkan untuk berbalik dan berlari menggendong Sakura. Saat itulah aku mendongak dan melihat Morio yang juga tergabung dalam tim. Dia melihat ke arahku saat mengangkat tangannya.

Saat itulah tepuk tangan dimulai.

Semua pemain sepak bola, semua siswa, dan bahkan beberapa orang guru yang berdiri di sana bertepuk tangan saat kami berjalan menuju gerbang. Langkah kakiku melambat karena bingung. Sakura mengalihkan tatapannya dariku ke siswa yang bertepuk tangan dan kembali lagi melihatku, lalu dia tersenyum.

Aku tidak tahu ada apa ini, jadi kutarik Sakura lebih dekat saat kami berjalan melewati kerumunan.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang