Bab 25

1.1K 264 25
                                    

“Ini takkan berhasil!” teriakku, aku keluar dari ruang keluarga. Aku berbalik dan menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Samsak mengambil alih beban amarah, frustrasi, dan kekecewaanku pada diri sendiri.

Setelah aku selesai, otot-otot terasa sakit dan aku masih sangat berantakan. Mengeluarkan tenaga sebanyak itu telah membuatku lelah, tapi pikiranku sama saja galaunya. Bibi Rin sudah meletakkan cupcake di piring untukku ketika aku kembali ke atas, yang kumakan dalam kesunyian.

“Kau ingin mencoba lagi?” tanya Bibi Rin saat aku makan kue kedua.

“Tidak.”

“Kau tahu aku tidak mau dengar jawaban itu.”

“Jika aku bahkan tidak bisa bertanya pada Bibi, bagaimana aku bisa bertanya pada Sakura?” gumamku. “Di samping itu, mana mungkin dia akan bilang ya.”

“Kenapa tidak?”

“Bibi serius?” bentakku. “Bibi tidak ada di sini sebelumnya, tapi Bibi sudah pernah lihat aku serangan panik parah, bukan? Mana ada yang mau berkencan denganku. Aku kacau balau!”

Aku berdiri dari kursi dan berjalan tanpa tujuan. Aku akhirnya berdiri di tengah ruang keluarga sambil menatap ke luar jendela, ke pohon pinus besar di halaman belakang. Tupai itu kembali.

Aku tidak bermaksud marah pada Bibi Rin. Aku tahu Bibi Rin berusaha membantu, dan dia hanya ingin yang terbaik bagiku, tapi Bibi Rin semestinya sadar tak ada harapan bagiku. Sia-sia saja.

“Sasuke, hentikan.”

“Hentikan apa?” aku membentak.

“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri,” kata Bibi Rin. “Kukira kau telah melampiaskan semua itu di samsak tinju.”

“Ya, bagi orang sebodoh aku, samsaknya tidak cukup besar.”

“Sasuke ...” bibiku menghela napas dan duduk di sofa. “Kau jauh dari kata bodoh. Kau juga punya banyak hal yang bisa kau tawaran pada seorang gadis.”

Aku mendengus.

“Ya, ketidakstabilan dan kegilaan. Sungguh menggodanya aku.”

Aku juga bisa bicara sarkasme.

“Cukup!” Bibi Rin berteriak cukup keras hingga aku melompat kaget. Aku melirik ke sana, wajahnya merah padam. “Kau stabil dan tidak gila, sialan! Kau hanya punya bentuk ringan dari gangguan yang sangat umum dialami banyak orang. Kau cerdas, berdedikasi, manis, dan tampan! Aku tidak percaya tak satu pun gadis mengajakmu kencan!”

“Jangan konyol, Bibi.” Aku mengernyitkan kening dan mengalihkan pandanganku darinya.

“Tidak,” kata Bibi Rin. “Ini mungkin sangat tidak pantas untuk kuucapkan, tapi Sasuke, kau lelaki yang sangat menarik. Apa kau tidak pernah lihat cermin?”

“Tentu saja pernah,” kataku, masih mengerutkan kening. “Dan apa yang Bibi katakan masih saja konyol.”

“Itu tidak konyol.”

“Para gadis tidak menatapku seperti itu,” kataku dengan cemberut. “Mereka sama sekali tidak melihatku.”

“Demi Tuhan,” gerutu Bibi Rin. Dia berdiri dan keluar dari ruangan. “Ayo!”

Aku mengikutinya ke ruang kerja di mana komputer berada. Bibi duduk di kursi dan membuka Facebook. Kulihat Bibi Rin masuk ke akunnya dan menggulir laman sampai dia temukan sebuah foto Natal. Paman Kakashi berdiri di dekat pohon dan menggantung hiasan, aku duduk di kakinya dengan seutas lampu di tangan, tersenyum ke arah kamera.

Aku tidak ingat apa yang dikatakan Paman Kakashi hingga aku tertawa, tapi aku ingat Bibi Rin mengambil foto itu tiba-tiba. Biasanya aku tidak peduli jika fotoku diambil, tapi ketika itu Bibi Rin memanggil namaku dan memotretnya sebelum aku sempat bereaksi. Aku tidak suka melihat ke kamera, jadi fotoku biasanya berakhir seperti aku sedang sembelit.

“Sejujurnya, aku takkan tunjukkan ini padamu,” kata Bibi Rin, “tapi jelas kau tidak sadar, bukan?”

“Tidak sadar tentang apa, Bibi?” tanyaku.

“Baca ini,” kata Bibi Rin. Dia geser kursi ke belakang sehingga aku bisa lihat semua komentar yang tercantum di bawah foto.

Siapa lelaki yang duduk di lantai itu?

Sial, itu keponakanmu? Kuharap aku dua puluh tahun lebih muda!

Astaga, tampan sekali!

Whoa, apa kau harus menguncinya di malam hari?

Aku yakin gadis-gadis di sekolahnya gagal belajar, karena terlalu sibuk mengawasinya!

Kirim dia ke sini, ya!

Laman-laman berikutnya berisi komentar serupa.

“Jika kau mau beri kesempatan pada seorang gadis untuk mengenalmu,” kata Bibi Rin dengan lembut di belakangku, “dan mereka tahu betapa hangat dan perhatiannya dirimu, aku yakin takkan ada yang menolakmu. Jelas-jelas Sakura peduli padamu, jika tidak, dia takkan habiskan seluruh waktu luangnya di sini, bukan?”

“Entahlah,” gumamku. Kembali kugulir laman dan melihat foto, berusaha mencari tahu apa yang sedang dibicarakan teman-teman Bibi Rin. Itu cuma aku. Rambutku berantakan seperti biasa dengan pohon Natal jadi latar belakang. Memang aku terlihat agak berbeda dari kebanyakan fotoku, karena di sini aku tersenyum dan melihat ke kamera.

“Kakashi pikir kau akan malu jika aku tunjukkan ini padamu,” kata Bibi Rin, “tapi menurutku sekarang kau perlu tahu. Kau lelaki yang tampan, Sasuke. Cuma gadis buta atau bodohlah yang bilang tidak.”

“Sakura tidak bodoh,” kataku membela diri. “Dia benar-benar pintar.”

“Itulah maksudku.”

Aku menggelengkan kepala dan membaca beberapa komentar lagi. Inti komentar mereka sama. Karena teman-teman Bibi Rin berusia tiga puluhan atau lebih, aku jadi merasa aneh. Kulirik Bibi Rin.

“Menurut Bibi, dia akan bilang ya?” tanyaku.

“Kau tidak akan tahu, kecuali kau berhasil bertanya padanya,” jawab Bibi Rin sambil mengangkat alis.

Aku tidak bisa berdebat lagi, jadi aku setuju untuk kembali latihan.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang