Bab 8

1.3K 310 22
                                    

Sekolah sangat bising keesokan harinya.

Aku cenderung mengabaikan sebagian besar suara di sekitar saat berjalan melewati aula, tapi aku dapat membedakan mana suara seseorang yang lebih keras dari biasa atau beberapa orang bicara sekaligus. Bagaimana pun juga, aku tidak menyukainya.

Dalam kelas biologi, anak baru itu duduk lagi di kursiku, padahal aku masuk ruangan tiga puluh detik sebelum bel berbunyi. Aku berhenti di lorong, tak kunjung berjalan menuju tempat duduk. Jika aku mengatakannya pada Guru Iruka, kemungkinan besar dia akan bereaksi seperti sebelumnya, dan Paman Kakashi akhirnya akan menghubungi Guru Iruka. Sungguh, aku tidak ingin itu terjadi.

Aku ingin menjaga diriku sendiri.

Aku berdiri di sini, menatap kakiku.

“Hei, Sasuke!” Suaranya terdengar dari sisi lain ruangan.

Dari sudut mata, aku bisa lihat Sakura berdiri dan berjalan ke arahku, meskipun aku tidak mengangkat kepala.

“Ayo, duduk di dekatku,” kata Sakura. “Kita bisa diskusikan tugas kelompok.”

Aku melompat sedikit ketika Sakura meraih tanganku dan mulai menarikku ke belakangnya. Kakiku tidak bergerak – sepertinya kaki ini sama bingungnya dengan kepalaku. Sakura berhenti, lalu berbalik.

“Maukah kau duduk di belakangku, Sasuke?”

“Oke,” kataku pelan, dan kakiku memutuskan untuk ikut.

Kulihat Inuzuka Kiba memutar bola mata saat Sakura membawaku ke kursi di belakangnya. Sakura memukul bahunya saat dia lewat.

“Hai, Sasuke,” sapa Kiba dengan nada suara yang ganjil. “Bagaimana? Harimu menyenangkan?”

Aku membeku sejenak, berusaha memikirkan bagaimana harus menanggapinya. Kiba tidak pernah mengatakan sesuatu yang baik padaku, dan biasanya aku mengabaikannya. Terkadang dia mendorongku di aula, tapi dia tak pernah mengatakan sesuatu yang sopan.

Sepertinya dia juga tidak bersikap sopan sekarang.

“Aku sarapan panekuk hari ini,” kataku, lalu meringis. Entah itu benar atau tidak, tapi biasanya aku memanaskan panekuk dengan oven di pagi hari ketika aku dalam suasana hati yang baik.

Kiba tertawa.

“Dasar orang aneh,” gumamnya.

“Diamlah!” Sakura mendesis. “Ayo duduk, Sasuke. Guru Iruka akan memulai pelajaran.”

Aku duduk di kursi belakang Sakura, tepat di tempatku kemarin. Ini masih terlalu jauh dari pintu, tapi sesekali Sakura melihat ke belakang dan tersenyum padaku.

“Apa kau dengar tentang pemenang tiket lotere?” tanya Kiba pada Sakura saat Guru Iruka berbalik.

“Tidak, tiket lotere apa?”

“Tiket lotere Takaruji – itu dijual di pompa bensin Takumi. 112 juta riyo.”

“Tidak mungkin!”

“Ya, menakjubkan, bukan!” Kiba berseri-seri, seolah dialah yang mendapatkannya.

“Siapa yang menang?”

“Siapa pun itu belum mengaku.”

“Wow!” gumam Sakura.

“Mari kita lihat siapa yang akan punya mobil Ferrari baru!” Kiba tertawa terbahak-bahak.

“Kiba, tolong perhatikan!” bentak Guru Iruka.

“Maaf.”

Setelah kelas berakhir, Sakura mengingatkan aku untuk pergi ke rumahnya sepulang sekolah.

“Sampai jumpa pukul empat, ya? Apa kau butuh tumpangan?”

“Tidak,” jawabku. “Aku bawa mobil bibiku.”

“Oh, baiklah. Oke, sampai jumpa nanti!” Sakura tersenyum dan melambaikan tangan sambil berjalan menyusuri lorong sekolah. Aku hanya berdiri di samping dan melihatnya pergi. Bel berbunyi, dan aku sadar akan terlambat untuk kelas berikutnya jika aku tidak bergerak cepat.

Sepulang sekolah, aku pergi ke kediaman Haruno, parkir di pinggir jalan sampai pukul tiga lewat 59 menit, dan kemudian benar-benar gagal keluar dari mobil. Begitu jam berubah jadi pukul empat, aku tahu tidak mungkin aku bisa berjalan ke pintu rumahnya. Kuhirup napas dalam-dalam sebelum menyetir kembali ke rumah.

Begitu aku sampai di rumah, aku duduk di sofa sambil memegangi kepala.

Aku tidak bisa melakukan ini.

Aku tidak bisa mengerjakan tugas kelompok dengan Haruno Sakura.

Tidak mungkin.

Bel pintu berbunyi, dan aku tahu itu Sakura jauh sebelum dia mulai menggedor pintu dan berteriak padaku untuk membiarkannya masuk. Mengingat kegigihannya kemarin, aku mengalah dan akhirnya membuka pintu.

“Sasuke! Kenapa kau tidak datang?”

Terkejut dengan pertanyaan Sakura yang tiba-tiba ini, aku hanya bisa diam berdiri dan menatap kakinya – sepatu keds hitam dengan tali kuning cerah. Aku penasaran kenapa dia pilih tali sepatu warna itu, karena jelas warna itu bukan tali asli sepatunya.

“Sasuke?” kata Sakura. Suaranya jadi lembut. “Apa kau lupa untuk datang?”

“Tidak,” jawabku. “Aku ada di sana.”

“Kau ada di sana?” ulang Sakura. “Sasuke, aku menunggumu, tapi kau tidak mengetuk pintu.”

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak?”

Kutatap wajahnya, lalu cepat-cepat buang muka. Kutendang ujung kakiku dengan tumit.

“Tidak apa-apa,” kata Sakura, “kau bisa memberitahuku.”

Sakura meraih tanganku. Jemarinya melingkari milikku, dan tangannya benar-benar lembut. Aku jadi bertanya-tanya apa dia sering mengoleskan lotion. Tangan ibuku selalu kering di musim dingin, dan Ibu mengolesinya dengan lotion setelah cuci tangan.

“Sasuke?”

“Aku cuma ... tidak bisa,” bisikku.

“Apa kau ingin kita kerja kelompok di sini?”

“Oke.”

Aku tidak mampu menolaknya, jadi kami siapkan hal-hal untuk tugas kelompok di atas meja makan.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang