Rasanya aku bisa saja tertidur sambil duduk di sini, di tepi tempat tidur rumah sakit dengan tangan Sakura di rambutku dan hidungku di lekukan lehernya. Dia wangi, lembut, nyaman, dan hangat. Rasanya tidak ada yang telah terjadi sama sekali, seperti kami baru saja menghabiskan malam dengan duduk di sofa empuk di ruang keluarga, menonton TV.
“Jangan lakukan itu padaku lagi,” bisik Sakura di atas kepalaku, hancur sudah fasad bahwa semuanya baik-baik saja. “Maksudku, apa pun yang berkecamuk di kepalamu, kita akan hadapi bersama, ya? Jangan lari lagi dariku.”
“Maaf,” bisikku. “Aku hanya ... tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa menghentikan mobil.”
“Aku akan membelikanmu ponsel,” geram Sakura. “Setidaknya agar aku bisa menemukanmu.”
Sebelum aku sempat berdebat, ada seseorang yang berdeham menyela kami. Aku tidak perlu menengadah, aku langsung tahu itu adalah ayahnya – Sang Pengacara – yang membuka tirai dan melihatku menyentuh putrinya setelah dia menyeretku keluar dari mobil tengah malam.
Hanya karena Sakura berada di sini dan benar-benar tenang menghadapi situasilah makanya tubuhku tidak terlalu kaku. Entah benar begitu, atau mungkin aku sungguh lelah karena serangan panik tadi. Aku masih tegang sampai pada titik di mana aku tak bisa segera melepaskan Sakura. Jemariku agak mencengkeram sisi tubuh Sakura saat memeluknya. Kemudian aku sadar betapa buruk ini kelihatannya, jadi kulepaskan Sakura dan bersandar ke belakang. Sakura mundur setengah langkah dariku, dan kutatap ubin lantai.
“Hei, aku hanya ingin bilang tagihan rumah sakitmu sudah bukan jadi masalah lagi,” kata Tuan Haruno. “Karena aku menghubungi polisi untuk mengantarkan ambulans, jadi mereka akan memulangkanmu tanpa dikenakan biaya, oke?”
“Um ... oke, terima kasih, Tuan,” gumamku. Semoga cukup keras untuk didengar. Aku tahu tanggapan itu belum cukup – tapi aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan.
“Sama-sama,” jawab Tuan Haruno. Untuk waktu yang lama, dia tidak mengatakan apa-apa lagi, aku juga tidak tahu harus berkata apa, dan Sakura tampak puas hanya dengan mengusap-usap pahaku. Dia garuk denim jinsku, itu sangat mengalihkan perhatian. Sepertinya aku tidak bisa fokus pada hal lain.
“Bibi dan pamanmu bilang mereka akan ambil mobilmu,” kata Tuan Haruno. “Sakura, sepertinya kau akan antar Sasuke ke rumah begitu dia diperbolehkan pulang?”
“Ya, aku akan mengantarnya pulang, Ayah,” jawab Sakura.
“Jangan lama-lama,” kata Tuan Haruno padanya. “Sudah larut – aku ingin kau segera pulang setelah itu. Aku akan menunggumu.”
“Aku akan segera pulang,” kata Sakura tanpa ragu-ragu. Kucoba untuk tidak menunjukkan kekecewaan mendengar kalimat Sakura. Aku ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit, tapi selama aku di sini, Sakura ada bersamaku.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku pada Sakura. Aku terbayang Itachi – bagaimana dia bisa memberitahumu jam berapa sekarang di kota mana pun.
“Hampir jam empat pagi,” Sakura memberitahuku.
Aku menatapnya, dan pasti keterkejutan yang kurasa mudah terbaca di raut muka ini.
“Ya,” kata Sakura, “selama itu. Kau mengerti sekarang kenapa aku begitu khawatir?”
“Maaf,” kataku lagi.
“Berhentilah minta maaf,” Sakura menghela napas. “Jangan lakukan itu lagi.”
Aku mengangguk, tahu betul bahwa aku tak bisa menjamin hal seperti itu, tapi aku tak ingin membicarakannya di depan Tuan Haruno. Sungguh tidak bisa dipercaya aku berada di ruangan yang sama dengan Tuan Haruno dan tidak mengalami serangan panik lagi. Mungkin karena aku masih lemas.
“Jadi …” kata Tuan Haruno tiba-tiba, “kau suka olahraga?”
“Um ... ya, Tuan,” kataku. Kucoba melakukan kontak mata, tapi kumis Tuan Haruno mengalihkan perhatian. Terus kulihat kumisnya itu sampai aku sadar aku memerhatikannya terlalu lama. Aku cepat-cepat menatap lantai. “Kuharap aku bisa nonton Sakura bermain voli nanti, Tuan, dan ayahku biasa membawaku ke pertandingan bisbol setiap musim panas.”
“Bisbol, ya?” komentar Tuan Haruno. Kulihat dia mengangguk dari sudut mata. “Aku biasanya nonton pertandingan bisbol di rumah. Bahkan aku beli telivisi layar lebar hanya untuk itu.”
Aku kembali mengangguk, tak tahu apa lagi yang harus kukatakan.
“Bagaimana pendapatmu tentang memancing?”
Kulirik Tuan Haruno, berusaha memahami pertanyaan itu, tapi kumisnya terus mengalihkan perhatian.
“Aku suka memancing, Tuan,” kataku akhirnya.
Sakura cekikikan, dan aku meliriknya. Dia tersenyum lebar.
“Apa kau yang menyuruhnya bilang begitu?” tanya Tuan Haruno pada Sakura sambil mengedipkan mata.
“Sama sekali tidak, Ayah,” jawab Sakura.
"Kenapa kau suka memancing, Sasuke?” tanya Tuan Haruno.
Kupikirkan sebentar sebelum menjawab. Sepertinya jawabanku akan jadi hal penting, tapi aku tidak tahu bagaimana berkata. Kuputuskan untuk bicara yang sebenarnya.
“Memancing itu sepi, Tuan,” kataku. “Tenang.”
“Ya,” kata Tuan Haruno. “Kau harus ikut aku memancing kapan-kapan.”
Aku kembali membeku dan bertanya-tanya apakah Tuan Haruno serius.
“Jadi, yang kau katakan di mobil tadi,” tambah Tuan Haruno sebelum aku selesai memahami jawabannya, “Apa itu benar? Semua nilaimu A?”
“Um ... ya, Tuan,” jawabku.
Tuan Haruno kembali mengangguk sebelum dia berbalik pergi.
“Ya, Sakura,” kata Tuan Haruno, “yang pasti bocah Inuzuka itu sudah kalah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...