Hari sudah gelap saat kami sampai di mobil, dan aku kelelahan. Sakura memegang tanganku setelah kami meluncur ke kursi belakang, meskipun aku tahu Paman Kakashi dan Bibi Rin bisa melihat kami, tapi tetap saja kusesuaikan sabuk pengaman dan merebahkan kepala di pangkuan Sakura. Begitu dia mengelus rambutku, aku memejamkan mata dan melayang.
Aku bisa dengar suara-suara pelan yang sepertinya datang dari sekitarku, namun tidak jelas arahnya.
“Terima kasih atas peringatannya, Paman Kakashi. Itu lumayan ... aneh.”
“Mereka masuk ke dunia mereka sendiri, itu pasti.”
“Aku sangat ketakutan saat pertama kali melihat mereka seperti itu. Seolah-olah semua orang di sekitar mereka hilang.”
“Apa mereka saling bicara?” Jemari yang lembut membelai rambutku, dan aku menghela napas.
“Tebakanmu sama bagusnya dengan tebakanku.” Paman Kakashi tertawa pelan. “Mikoto selalu bilang mereka punya bahasa sendiri, tapi Fugaku pikir mereka cuma senang tidak harus berinteraksi dengan siapa pun.”
“Sasuke tidak banyak bicara tentang orang tuanya. Dia juga tidak banyak bicara tentang Itachi.”
“Itu masih sulit baginya. Dia merasa sangat bersalah tentang di mana Itachi ditempatkan sekarang, dan Fugaku-lah satu-satunya yang bisa meyakinkan hal sebaliknya begitu dia mulai ambil kesimpulan.”
“Saudaraku hebat dalam hal itu. Fugaku selalu tahu apa yang harus dikatakan pada Sasuke agar dia mau berpikir ulang. Aku sudah mencoba, tapi dia tidak terlalu memercayaiku.”
“Kau luar biasa untuknya.” Aku bisa dengar Bibi Rin beringsut di kursi. “Entah apa yang kau lakukan—”
Paman Kakashi tertawa, dan jemari Sakura berhenti sejenak sebelumnya dia memijat kulit kepalaku.
“Ya ... apa pun itu, aku takkan berdebat. Itu berhasil.”
“Dia sangat berarti bagiku.” Kata-kata yang lembut bergabung dengan sentuhan jemari yang hangat di pipiku. Ini sudah cukup untuk mengirimku lebih jauh, lebih tenang dalam gelap.
•••“Maukah kau mempertimbangkannya? Kau punya waktu tiga minggu untuk bersiap-siap, dan aku akan bantu semampuku.”
Kuremas telapak tangan agar berhenti gemetaran. Gerakan itu tampaknya berpindah ke kakiku, yang mulai bergoyang-goyang sebagai gantinya. Kepalaku terisi penuh dengan segala situasi imajiner yang tidak siap kutangani, jadi aku melompat dan berlari ke ruang bawah.
Sarung tinju terasa nyaman di tanganku saat tinjuku terhubung dengan samsak berkali-kali.
Sakura ingin ikut pesta kelulusan di pantai. Acaranya diadakan lebih dari tiga minggu lagi, dan hampir seluruh murid angkatan kami akan ada di sana, kecuali Inuzuka Kiba, yang telah mengaku bersalah atas tuduhan penyerangan, kepemilikan narkoba, dan akan menghadiri persidangan alih-alih mengenakan topi persegi kelulusan.
Sakura ingin aku pergi bersamanya.
Sudah kuputuskan tidak akan menghadiri upacara kelulusan, duduk di tengah sekelompok murid-murid lain, menunggu untuk berjalan melintasi panggung yang mungkin tidak bisa menahan berat orang-orang yang berdiri di sana. Tak mungkin aku mampu melakukan itu, sementara semua orang melihatku dan menungguku tersandung di tangga atau panik ketika giliranku untuk menjabat tangan kepala sekolah. Tidak mungkin. Nilaiku sudah masuk dan ijazahku sudah diamankan. Aku tidak harus menghadiri upacara kelulusan, dan aku takkan menempatkan diriku melalui semua itu.
Semua teman Sakura dari tim voli akan hadir di pesta itu.
Itu akan jadi kali terakhir Sakura berkumpul dengan mereka, sementara Sakura sudah jarang bersama mereka sejak dia berkencan denganku.
Aku tak ingin jadi seseorang yang menahan langkahnya.
Aku tidak ingin pergi ke pesta.
Orang-orang tidak memperlakukanku lagi seperti setelah malam yang menegangkan di Takumi, dan kuanggap itu sebagai berkah, tapi tetap saja banyak dari mereka masih berusaha mengajakku bicara, dan aku tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Mereka bertanya tentang pengalamanku berkelahi, atau hanya bertanya tentang berbagai tugas sekolah – yang ini tidak jadi masalah. Semuanya masih bermuara pada hal yang sama – aku tidak bisa menangani semua perhatian yang mereka berikan.
Tapi Sakura berbeda.
Dia populer, diterima, dan disukai oleh banyak orang.
Aku menahan langkahnya.
Tinjuku menghantam samsak, lalu aku berputar dan mendaratkan tendangan demi tendangan.
Ada sesuatu yang sangat egois di dalam diri ini yang menginginkan Sakura hanya untuk diriku sendiri. Aku ingin membawanya pergi dan menyembunyikannya, jadi aku tidak perlu membaginya dengan siapa pun. Aku sama sekali tidak punya keinginan untuk keluar bersama orang-orang yang kemungkinan besar takkan pernah kutemui lagi setelah malam itu berakhir. Aku tidak pernah menghadiri pesta, dan aku tidak tahu apa yang diharapkan. Aku bahkan tidak tahu harus mengharapkan apa.
Tidak benar meminta Sakura tinggal bersamaku ketika dia seharusnya bersenang-senang dengan temannya, dan aku tahu Sakura takkan pergi tanpa aku. Bagaimana ketika kami kuliah dia ingin keluar dan bertemu orang-orang, sementara aku tidak mau? Apa aku juga akan menahannya saat itu? Bagaimana setelah lulus kuliah? Apa aku akan mencegahnya mendapat pekerjaan bagus karena aku tidak ingin dia pindah ke mana pun dia dapat tawaran?
Aku tidak bisa melakukan itu pada Sakura.
Tanganku sakit, tapi aku terus meninju.
Sakura adalah salah satu orang terpenting dalam hidupku. Tak pernah terpikir aku punya hubungan seperti ini sebelumnya, dan jika aku melakukan hal untuk mengacaukan hubungan ini, maka tidak mungkin rasanya aku akan temukan sesuatu seperti ini lagi. Bahkan jika aku menemukan seseorang sesabar dan seperhatian Sakura, tapi takkan sama, karena itu bukan dia. Tak ada orang lain yang akan menyentuhku seperti dia.
Dengan napas terengah-engah, aku melangkah dari matras dan berjalan kembali ke atas. Sakura ada di dapur, mengaduk sesuatu dalam panci besar yang aromanya seperti sayuran dan rempah-rempah.
“Aku akan ikut,” kataku pelan, dan melihat senyum Sakura merekah. Dia letakkan sendok di panci dan melingkarkan lengannya di leherku.
“Terima kasih,” bisik Sakura. “Terima kasih banyak.”
Aku tidak mau menahan langkahnya, jadi akan kuberikan apa pun yang dia butuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...