Epilog

3.3K 321 116
                                    

Kosong.

Kata itu merayap di otakku saat aku berjalan mengelilingi rumah. Tak ada perabot, tak ada foto di dinding, bahkan tak ada tirai yang menyelubungi jendela. Semua karpet telah dicuci dan mengeluarkan bau aneh, dindingnya juga dicat ulang warna putih.

“Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Sakura.

“Tidak,” kataku. Aku mengangkat bahu dan mengerutkan kening memikirkan apa maksud semua ini.

Ketika aku melirik ke luar jendela, aku bisa lihat tanda “dijual” di halaman depan rumah tempatku dibesarkan. Ini adalah rumah yang dibeli orang tuaku ketika aku masih balita, dan satu-satunya tempat tinggal yang kuingat. Meskipun bagian logis dari diriku sadar ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, tapi tetap saja tanganku tidak berhenti gemetaran karena memikirkan implikasi tidak lagi punya rumah yang sudah terasa seperti bagian dari keluargaku.

Aku jarang mengunjungi rumah ini dalam dua tahun terakhir. Sunagakure sudah jadi pusat kehidupanku dan Sakura sekarang – dia lanjut kuliah pascasarjana, aku bekerja di sebuah perusahaan perangkat lunak. Kami dekat dengan Itachi, dan sejak Paman Kakashi dipromosikan jadi kepala kantor perusahaan asuransi di Kumo, hampir tak ada alasan untuk mengunjungi Konohagakure lagi. Ketika kami berkunjung, kami biasanya tinggal di rumah Paman Kizashi.

“Aku sangat yakin aku tidak ingin melakukan ini,” kataku. “Tapi seseorang beberapa tahun yang lalu telah mengajariku – meskipun membuat keputusan itu sangat sulit, aku takkan bisa menjalani kehidupan dengan terus menghindari hal-hal sulit.”

Rasanya seperti aku meninggalkan Ibu dan Ayah.

Aku tahu tidak ada alasan logis dan nyata untuk merasa seperti itu, tapi tetap saja aku bertanya-tanya apa mereka akan menyetujui keputusan ini. Aku tahu Itachi takkan setuju jika dia tahu atau mengerti, tapi dia juga sangat nyaman di kamar yang telah didekorasi Sakura untuknya. Kamar itu memiliki semua hal yang dia suka – mulai dari jam besar lantai di sudut ruangan – hadiah dari Hinata – hingga lukisan jam Salvador Dali di dinding. Itachi tidak sering mengunjungi kami, hanya pada hari libur dan acara-acara khusus, tapi kehadirannya sungguh menyenangkan.

“Kau tidak harus menyukainya,” Sakura mengingatkanku. “Banyak orang tidak suka mengambil keputusan. Meski begitu, kau menerima perubahan sekarang, itu perubahan besar dalam dirimu.”

“Kurasa begitu,” kataku sambil mengangkat bahu.

Tangan Sakura bertumpu di pundakku, dan dia membalikkan tubuhku ke arahnya.

“Jangan merendahkan dirimu, Uchiha Sasuke,” kata Sakura dengan tegas. “Kau membuat begitu banyak kemajuan dalam satu tahun terakhir, sungguh menakjubkan. Kau tidak hanya menerima perubahan, tapi kau membuat keputusan tanpa berdebat dan mengkhawatirkannya selama berminggu-minggu. Tahun lalu aku bahkan tidak menyangka kita akan berdiri di sini dan melakukan percakapan ini. Meskipun kau terus melihat tanda dijual itu, kau tidak ketakutan sama sekali. Bahkan ketika makelar menancapkannya di tanah.”

Kutatap mata Sakura sejenak sebelum melihat keluar jendela lagi. Sakura menjatuhkan tangannya dan berbalik untuk melihat halaman bersamaku.

“Ada saat-saat dimana keputusan hampir tidak mungkin dibuat,” aku setuju. “Ini tetap sulit, tapi aku tahu ini hal yang benar untuk dilakukan. Mungkin aku telah membuat kesalahan di masa lalu hanya karena aku menolak untuk membuat keputusan.”

“Kau bisa jadi jutawan,” goda Sakura.

Aku kembali mengangkat bahu dan berbalik dari jendela. Aku teringat saat pesta ulang tahun ketika masih kecil – baik ulang tahunku, maupun Itachi, meskipun dia tidak pernah membuka kadonya. Aku ingat pertama kali Paman Kakashi membawa Bibi Rin ke rumah, dan bagaimana Itachi sangat membencinya. Namun, ada juga kenangan yang lebih gelap – seperti ketika petugas kepolisian datang untuk memberi tahu kami bahwa Ayah takkan pernah pulang lagi ke rumah.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang