Sebenarnya sangat mungkin untuk meminta Sakura menyetir.
Tentu saja itu juga takkan berhasil, karena aku takkan bisa keluar dari mobil dan bergerak sedikit pun untuk menjalankan misi ini. Aku berbelok di jalan, dan memperlambat mobil saat kami mendekati sebuah rumah sederhana di dekat ujung jalan buntu.
Sakura menyelipkan tiket lotere itu dengan rapi ke dalam kartu, yang kemudian dia simpan di amplop. Di amplop itu, ada dua kata sederhana.
Untuk bayimu.
“Bagaimana jika mereka tidak percaya itu asli?” tanyaku untuk yang keseratus kalinya. “Bagaimana jika mereka tidak bisa ke Takumi sebelum tengah malam? Bagaimana jika—”
“Berhentilah berandai-andai,” kata Sakura. Dia julurkan lehernya ke luar jendela mobil untuk melihat jalan. “Aku tidak lihat mobil Naruto – menurutku kita aman.”
“Aku tidak ingin mereka tahu dari mana asalnya tiket lotere itu,” kataku lagi. “Bagaimana jika Dokter Tsunade—”
“Diamlah,” kata Sakura. “Aku tahu, Sayang. Jangan khawatir. Dia bilang dia akan melakukannya, bukan?”
“Kurasa begitu.”
“Kalau begitu kita akan baik-baik saja.”
Dengan kakiku menginjak rem, kami berhenti di depan rumah batu bata itu. Sakura melompat keluar, berlari ke pintu, dan menyelipkan amplop itu ke dalam lubang surat. Dia cepat-cepat berbalik dan berlari kembali ke mobil, memasang sabuk pengaman.
“Ayo pergi! Susuri jalan dan menghilang dari pandangan!” seru Sakura sambil bernyanyi.
Kami parkir di jalan sebelahnya dan menunggu. Sakura terengah-engah, meskipun aku tahu lari singkat itu tidak membuatnya lelah. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana rasanya, jadi aku hanya duduk dan menatap tanganku di kemudi saat Sakura mengeluarkan ponsel.
“Kami sudah selesai,” kata Sakura. “Amplopnya sudah masuk ke rumah, dan Hinata semestinya dalam perjalanan pulang kerja sekarang. Apa Dokter masih menyimpan nomor yang kuberikan? Bagus!”
Kulirik Sakura saat dia berbalik menghadapku. Matanya cerah, penuh kegembiraan dan tak ada kekhawatiran sama sekali. Tatapannya membuatku agak tenang, meskipun aku tidak bisa menatap wajahnya terlalu lama.
“Sempurna!” kata Sakura. “Terima kasih banyak telah setuju untuk melakukan ini, Dokter Tsunade. Menurutku Dokter satu-satunya orang yang dipercaya Sasuke untuk menjaga ini tetap anonim. Sampai jumpa!”
Sakura meraih tanganku.
“Ayo pergi,” katanya. “Aku harus dengar ini!”
Aku menggelengkan kepala, sama sekali tidak yakin apa bagusnya bagian ini, tapi aku tetap keluar dari mobil dan mengikuti Sakura mengendap-endap di antara rumah, melewati halaman belakang, dan masuk ke semak belukar bunga lilac tepat di sisi jalan masuk rumah Hyuuga. Kami berjongkok dan menghilang dari pandangan persis di depan mobil Naruto yang berhenti di halaman.
“Menurutku ini omong kosong,” kata Naruto. “Maksudku, yang benar saja, Hinata, siapa yang akan melakukan hal seperti ini?”
“Aku tidak tahu,” kata Hinata sambil bermanuver keluar dari mobil. “Tapi, tak ada salahnya untuk cari tahu, bukan?”
Mereka berjalan ke pintu depan, di luar jangkauan pendengaran. Hanya semenit kemudian mereka kembali, amplop di tangan.
“Jika ini palsu, untuk apa seseorang repot-repot menodainya?” kata Hinata ketika mereka kembali ke luar. “Tak ada yang mau repot-repot begini jika hanya sekadar lelucon.”
“Ini tidak lucu,” gerutu Naruto.
“Benar, tapi tak ada ruginya bagi kita jika ini palsu.”
“Aku hanya akan buang-buang waktu dan bensin,” kata Naruto.
“Ini layak dicoba ...”
Pintu mobil tertutup, dan kedua calon orang tua itu terus berkendara menyusuri jalan. Sakura berbalik ke arahku dan menggenggam kedua tanganku. Matanya masih berbinar penuh kegembiraannya, dan dia sedikit memekik saat mencengkeram ujung jariku sebelum kami berdua kembali berlari melewati halaman menuju tempat mobilku diparkir.
Tanganku agak gemetaran, hingga membuatku sulit untuk memutar kunci. Jantungku berdebar kencang, aku bahkan bisa lihat denyut nadiku di pergelangan tangan. Kucoba bernapas dengan tenang, tapi bukan panik yang kurasa – aku sama bersemangatnya seperti Sakura.
Kami sering tersenyum ketika saling lirik dalam perjalanan kembali ke rumahku. Begitu mobil berada di halaman dan dimatikan, kami berdua melompat keluar dan berlari ke rumah. Kuraba-raba kunciku sementara jantung ini terus berdebar kencang, dan Sakura bergegas melewatiku begitu pintu dibuka. Dia langsung berlari ke ruang keluarga dan melemparkan tubuhnya ke sofa sambil tertawa.
“Oh Tuhan, ini luar biasa!” pekiknya.
Aku terperangkap dalam antusiasme Sakura, kulemparkan diriku ke udara dan mendarat di atasnya. Dia terus tertawa saat aku mencium leher dan bahunya, dan kemudian dengan cepat kusibakkan bahu baju Sakura agar bisa mencium dan mencolek tanda lahir di sebelah tali bra-nya itu. Sakura memeluk kepalaku, dan dia membawa wajahku ke arahnya dan memberiku ciuman yang panjang dan penuh gairah.
“Aku mencintaimu,” kata Sakura.
“Aku mencintaimu dan ide-idemu,” kataku. “Tak terpikir olehku untuk memberikannya pada bayi mereka. Mereka berdua sangat khawatir ...”
“Dan sekarang mereka tidak perlu khawatir lagi.”
“Hinata hampir sama beruntungnya dengan aku karena memilikimu,” kataku, dan aku kembali menciumnya.
“Rasanya senang melakukan hal seperti itu, bukan?” kata Sakura sambil mengangguk. “Dan mereka takkan tahu darimana asal tiket lotere itu. Terima kasih pada Dokter Tsunade.”
“Aku senang,” jawabku sambil tersenyum.
Aku tidak dapat menyangkal betapa bahagianya aku karena telah melakukan hal ini, jadi kulimpahkan perasaan ini pada Sakura seribu kali lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...