Bab 16

1.1K 288 38
                                    

Sakura menjemput dan mengantarku ke sekolah keesokan harinya. Aku memikirkannya dan memikirkannya lagi sebelumnya, tapi aku tidak mempertimbangkan apa yang orang lain pikirkan ketika aku keluar dari mobil Sakura. Tempat parkir penuh dengan para siswa dan mobil, sepertinya mereka semua memerhatikanku turun dari mobilnya.

Sakura muncul di depan dan tersenyum padaku. Dia sepertinya tidak memerhatikan cara murid-murid lain melihat kami saat kami berjalan ke gedung sekolah bersama. Sakura bicara sepanjang waktu, tapi aku tidak tahu apa yang dia katakan.

Aku hanya fokus agar tetap bernafas.

“Sampai jumpa di biologi!” kata Sakura saat dia meninggalkanku di loker untuk bergabung dengan teman-temannya. Aku tidak menjawab, tapi kuhabiskan waktu sejenak untuk mengatur ulang barang-barangku dan menggantung tas di dalam loker. Setelah menarik napas beberapa kali, aku berhasil menenangkan diri dan pergi ke kelas.

Makan siang hari itu … aneh.

Aku biasanya duduk dengan Shikamaru saat makan siang. Terkadang temannya Naruto dan pacar Naruto Hinata bergabung dengan kami, tapi biasanya kami duduk di ujung meja panjang sendirian. Shikamaru biasanya memilah-milah koleksi kartu Pokémon sambil makan karage yang disediakan kantin, dan aku akan makan makanan yang sama yang selalu kubuat untuk makan siang – dua potong roti selai kacang, keripik kentang, tomat, sebuah apel, dan sekaleng soda.

Aku makan siang seperti itu dari dulu.

Baru saja aku duduk di bangku dan hendak buka kotak makan siang, Sakura sudah muncul di sampingku.

“Hei,” kata Sakura pelan, “bagaimana harimu?”

Shikamaru berhenti makan dan mendongak dari karagenya. Dia bolak-balik memerhatikanku dan Sakura. Tanganku berhenti di atas kotak makan.

“Tidak apa-apa,” kata Sakura. Tangannya terulur perlahan ke arahku, dan jemarinya mengusap lembut tanganku. “Aku tidak akan duduk di sini. Aku hanya ingin memberitahumu aku harus pulang lebih awal hari ini. Ayahku harus bawa mobil dinasnya ke bengkel di Takumi, dan aku harus mengantar Ayah pulang. Aku juga takkan masuk kelas biologi dan baru pulang nanti malam. Aku sudah bicara dengan Paman Kakashi dan dia bilang Bibi Rin akan menjemputmu pulang sekolah. Kita bisa mengerjakan tugas kelompok lagi besok.”

“Tidak ada tugas kelompok sore ini?” kataku dengan napas terengah-engah. Aku tidak sadar telah menahan napas.

“Tidak, aku minta maaf,” jawab Sakura. “Aku bahkan baru dikabari ayahku satu jam yang lalu.”

“Kau bicara dengan Paman Kakashi?”

“Ya, Paman Kakashi memberikan nomor ponselnya padaku.”

“Oh.” Kutatap roti. Tepi ujungnya agak bengkok, dan aku bertanya-tanya apakah seluruh roti seperti itu.

Sakura kembali menarik tangannya dan kemudian mencondongkan tubuh ke depan di atas meja. Posisinya jadi lebih rendah dari kepalaku, dan dia makin merunduk, memiringkan kepalanya, lalu berusaha menatap wajahku. Aku meliriknya, tapi buang muka lagi ketika dia tersenyum.

“Aku akan ke rumahmu besok,” kata Sakura. “Janji.”

“Oke,” kataku. Aku mulai membuka kotak makan.

“Sampai jumpa,” kata Sakura sambil berdiri kembali dan berbalik.

Aku terus mengatur makan siang. Roti, keripik kentang, dan tomat semuanya menyatu, karena aku makan semuanya secara berurutan. Aku selalu makan satu gigitan masing-masing dan berusaha untuk makan dengan jumlah gigitan yang sama sampai habis. Aku biasanya berhasil dalam hal itu. Aku minum soda sampai habis, dan apel selalu kumakan terakhir.

Saat aku makan, aku merasa aneh. Sensasi menggelitik kecil itu kembali lagi, dan aku tidak mengerti kenapa. Sepertinya aku agak kecewa karena Sakura tidak mengantarku pulang atau datang ke rumahku sore ini, dan aku tidak yakin mengapa.

Aku kaget ketika mendengar suara keras yang disebabkan oleh Inuzuka Kiba yang naik ke bangku kantin, dan kemudian duduk di atas meja. Kucoba mengabaikan betapa salahnya tindakan itu – duduk di atas meja dengan kaki di atas bangku – tapi aku tidak bisa. Itu jelas salah sehingga rasanya tak pantas ditunjukkan oleh siswa SMA yang hampir lulus.

“Kau tidak seharusnya duduk di meja,” bisikku.

“Persetan kau, dasar orang aneh,” geram Kiba padaku. Dia letakkan tangannya di salah satu sisi wadah tempatku mengatur makan siang di atas meja, dan mendekatkan wajahnya padaku.

Aku ingin mundur, tapi aku membeku pada saat yang bersamaan. Tangannya begitu dekat dengan makan siangku, itu menegangkan, dan aku tidak bisa fokus pada hal lain. Aku mulai pusing, dan bertanya-tanya apa aku akan sesak napas.

“Entah apa yang kau coba lakukan,” kata Kiba, “tapi aku hampir saja berhasil mengajak Sakura ke pesta prom sampai perhatiannya teralihkan oleh anjing kecil yang tersesat bernama Uchiha Souke.”

“Hei, Inuzuka, jangan ganggu dia,” gumam Shikamaru. “Dia tidak melakukan apa-apa.”

“Apa ada yang minta pendapatmu, Nara?”

Shikamaru tidak menjawab.

“Jadi, dengarkan aku baik-baik,” kata Kiba sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. “Kau harus menjauh dari Sakura, kau dengar aku?”

“Kami harus mengerjakan tugas biologi,” kudengar mulutku bicara sebagai tanggapan.

“Kerjakan sendiri!” bentak Kiba. “Aku tidak peduli apa yang harus kau lakukan, asalkan kau jauh-jauh dari gadisku.”

Saat itulah dia mengulurkan tangannya yang gemuk itu dan menjentikkan jarinya, lalu mengenai apelku yang kemudian melayang dari meja dan jatuh ke lantai.

Apel tidak boleh di lantai, terutama apel yang akan kujadikan makan siang.

Sial, sial, sial.

Aku tak bisa makan apel itu sekarang. Tak ada cara. Aku juga harus makan apel untuk makan siang – aku selalu makan apel untuk makan siang setiap hari. Aku tidak punya uang, jadi aku tak bisa beli lagi, dan aku hanya perlu apel.

Kupejamkan mata dan mulai menghitung sampai seratus secepat mungkin. Aku tahu Kiba masih bicara, dan aku merasa dia memukul bahuku, tapi aku tidak buka mata. Aku terus menghitung, mengganti metode setiap kali aku mencapai seratus. Aku hitung dengan kelipatan dua, lalu tiga, lalu bilangan prima.

Itu tidak membantu.

Di mana aku akan dapatkan apel lagi?

Shikamaru mengatakan sesuatu pada Kiba, tapi aku juga tidak bisa memahaminya.

Bisakah aku mencuci apel yang ada di lantai?

Tidak.

Tentu saja tidak.

Memikirkan apel yang ada di lantai, lalu memikirkan Sakura, dan tidak lagi bekerja sama dengannya. Dia takkan datang ke rumahku jika kami tidak mengerjakan tugas. Setelah mobilku selesai diperbaiki, dia takkan lagi mengantarku ke sekolah, yang berarti aku hanya akan melihatnya saat kelas biologi saja.

Saat ini aku duduk tepat di sebelah Inuzuka Kiba.

Membayangkan untuk tidak berada di dekat Sakura hampir sama buruknya dengan apel di lantai.

Aku bahkan tidak dapat memahaminya, jadi kubuka mata dan menatap mata Inuzuka.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang