Bab 30

1.3K 275 23
                                    

Saat aku berhenti, lengan dan bahuku sakit, pinggulku juga pegal. Mungkin aku berlatih terlalu lama – aku pernah melakukan ini sebelumnya. Setidaknya aku tidak dengar teriakan mereka lagi. Kuhirup napas perlahan untuk menenangkan diri sebelum melangkah dari matras dan membungkuk, menahan kedua tanganku di lutut.

“Kau baik-baik saja?”

Aku mengangkat kepala dan berbalik menghadap Bibi Rin yang tengah bersandar di dinding luar area latihan.

“Tidak,” jawabku. “Di mana Paman Kakashi dan Sakura, Bibi?”

“Di lantai atas,” kata Bibi Rin, “sedang kusetrap.”

“Setrap?”

“Ya,” jawab Bibi Rin, “dan mereka akan tetap seperti itu sampai mereka berdua berhenti bertingkah seperti anak-anak. Setidaknya Sakura punya alasan, karena dia masih remaja.”

“Aku tidak tahu kenapa mereka begitu marah,” kataku. “Mereka tidak mau berhenti.”

“Ya, aku bisa jawab hal itu,” kata Bibi Rin. “Mereka berdua peduli padamu, namun cara mereka menunjukkan kepedulian sungguh payah.”

“Paman Kakashi mengantar mobilku.”

“Ya,” Bibi Rin membenarkan. “Aku datang untuk menjemputnya, ketika aku masuk rumah mereka sedang bertengkar hebat. Kau mau memberitahuku apa yang terjadi?”

“Um ...” Aku sungguh tidak tahu harus berkata apa.

Bibi Rin mencibir.

“Kupikir kau hanya akan mengajaknya kencan.”

“Sudah,” kataku sambil tersenyum kecil. “Dia bilang ya.”

“Aku sudah tahu itu,” jawab Bibi Rin. “Lalu apa yang terjadi?”

Wajahku jadi panas, dan kuputuskan untuk tidak ingin membahas detailnya. Akhirnya kubilang pada Bibi Rin Sakura menciumku.

“Saat kami turun dari mobilnya, Paman Kakashi ada di sana.”

“Dan dia bersikap sangat protektif, ya?”

“Ya, kurasa begitu.” Aku duduk di bangku dekat tikar dan mulai menarik sarung tinju. “Kenapa Paman Kakashi melakukan itu?”

“Karena dia bimbang,” jawab Bibi Rin.

“Apa maksud Bibi bimbang? Bimbang karena apa?”

Bibi Rin menghela napas dan meletakkan sebelah tangan di pinggulnya. “Bimbang antara ingin mengatakan sesuatu yang sangat tidak sopan tentang betapa bangganya dia padamu, sekaligus ingin mengatakan sesuatu yang mungkin akan disampaikan ayahmu.”

Kulepas sarung tinju dan meletakkannya di pangkuan sembari memikirkan hal itu.

“Dia pikir Fugaku akan khawatir,” lanjut Bibi Rin. “Dia pikir ayahmu akan bilang padamu untuk pelan-pelan dan pikirkan matang-matang – pastikan memang inilah yang kau mau. Di sisi lain, Kakashi ingin tos dan berteriak gembira, pepet terus gadis itu!

Aku sedikit merengut. Aku tidak suka Paman Kakashi bicara pada Sakura seperti itu.

“Paman Kakashi tidak bersikap baik padanya,” kataku akhirnya.

“Tidak, memang tidak.”

“Aku tak ingin Paman Kakashi berbuat seperti itu lagi pada Sakura.”

Bibi Rin memiringkan kepalanya, dan aku berusaha menatap matanya sejenak, berharap Bibi Rin tahu aku serius. Aku tidak ingin Paman Kakashi bicara seperti itu pada Sakura. Aku ingin Paman Kakashi bersikap baik padanya.

“Kau sangat menyukainya, ya?” kata Bibi Rin.

Kualihkan tatapan dan mengangkat bahu. Lalu aku memikirkannya sebentar, dan ingat bagaimana rasanya menyentuh bibir Sakura dengan bibirku, dan bagaimana rasanya tubuh Sakura di bawah tubuhku. Perasaanku jadi hangat, dan tanpa sadar aku tersenyum kecil saat menjilat bibirku.

“Ya, kau menyukainya,” tegas Bibi Rin.

“Ya,” kataku pelan.

“Kenapa?”

Mataku menyipit, tapi aku tahu Bibi Rin sama sekali tidak bermaksud jahat – Bibi Rin hanya ingin mengerti, dan untuk membuatnya paham aku harus cari tahu sendiri.

“Dia ... pengertian,” kataku pada Bibi Rin. “Dia tidak membuatku merasa seperti orang bodoh.”

“Kau tidak bodoh.”

“Aku tahu,” kataku, “tapi terkadang aku merasa seperti itu, dan terkadang murid lain di sekolah berusaha membuatku merasa bodoh atau aneh. Aku tahu ada yang … salah di diriku.”

“Tak ada yang salah di dirimu,” kata Bibi Rin berapi-api. “Kau hanya berbeda. Itu bukan hal buruk; kau tidak seperti kebanyakan orang. Tidak semua orang bisa menghadapinya.”

“Sakura bisa.”

“Aku sudah tahu itu dari caranya bertengkar sengit dengan pamanmu,” Bibi Rin tertawa.

Aku juga tersenyum mendengarnya. Sakura bukan orang yang gampang menyerah.

“Kau siap ke atas?”

“Ya,” kataku.

“Pakai bajumu,” kata Bibi Rin. “Dan demi Tuhan, kuharap kau segera mandi.”

“Aku akan mandi,” aku terkekeh. Aku berdiri dan meletakkan kembali sarung tinju di rak sebelum beralih ke bibiku. “Dia membuatku merasa normal. Dia membuatku merasa mungkin aku bisa memiliki apa yang orang lain miliki.”

“Kau bisa,” bibiku membenarkan. “Dari dulu aku tahu kau pasti bisa.”

Aku tidak sabar untuk kembali ke atas bertemu Sakura, jadi kuikuti bibiku keluar dari ruang bawah tanah.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang