Bab 29

1.1K 266 31
                                    

“Oh Tuhan! Rambutku berantakan sekali!”

Sakura tertawa saat dia turun dari mobil dan berusaha merapikan rambut di belakang kepalanya dengan jari. Rambutnya sungguh mencuat ke mana-mana, yang membuatku teringat dengan rambutku sendiri yang tak bisa dijinakkan. Sakura beranjak ke dekat bemper depan, lalu langkah dan tawanya berhenti seketika saat melihat senyum masam pamanku. Mata Sakura terbelalak sebentar, lalu dia pejamkan matanya rapat-rapat.

“Oh, celaka,” kata Sakura pelan.

“Kedengarannya benar begitu,” jawab Paman Kakashi. “Pasti sulit mengemudi dengan embun di jendela, ya? Kau ingin aku periksa defroster mobilmu?”

“Tidak ada defroster, Paman Kakashi,” jawab Sakura dengan mata yang masih terpejam. Dia buka matanya, lalu melirikku sambil menggigit bibir. “Sepertinya defroster mobil belum diciptakan saat mobilku diproduksi.”

“Jelas,” dengus Paman Kakashi. “Setidaknya mobil tua itu terbuat dari barang yang lebih kuat, jadi tidak bergoyang-goyang seperti mobil sekarang.”

Wajah Sakura jadi merah padam, tapi aku tidak yakin kenapa. Paman Kakashi menoleh padaku dan aku tidak mengerti ekspresinya saat dia menggelengkan kepala dan memberi isyarat pada kami berdua untuk masuk rumah. Sakura tampak ragu, seolah-olah dia ingin lari terbirit-birit, tapi dia cuma menunduk dan kami semua masuk rumah. Ujung telingaku panas, dan kucoba memikirkan apa penyebabnya.

“Aku awalnya ingin bertanya pada Rin apa kau berhasil mengajaknya kencan atau bagaimana,” kata Paman Kakashi dengan pelan di dekat mukaku saat kami berjalan ke ruang keluarga. “Sepertinya aku tidak perlu bertanya lagi, ya?”

“Um ...” Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan saat ini, jadi ucapan selanjutnya lebih terdengar seperti pertanyaan. “Kami akan makan malam besok?”

“Kau seharusnya melakukan itu terlebih dahulu,” Paman Kakashi mendengus.

Sakura duduk di sofa, wajahnya masih merah tapi matanya sekarang menyipit. Dia silangkan tangan di dada dan menatap Paman Kakashi, karena Paman Kakashi terus menggelengkan kepala padanya. Sakura menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke meja.

“Kurasa kalian berdua benar-benar terkoneksi,” Paman Kakashi tertawa. Sepertinya aku belum pernah dengar Paman Kakashi tertawa seperti itu sebelumnya. Dia sungguh tidak geli.

“Tahu tidak, aku sudah muak dengan sindiran Paman!” Sakura tiba-tiba berteriak keras, cukup untuk membuatku terkejut. “Lagi pula itu bukan urusan Paman!”

“Wah!” Mata Paman Kakashi juga menyipit, dan dia melangkah menuju sofa. “Kaulah yang bilang padaku kau hanya ingin berteman dengan keponakanku, dan ketika itu kubalas bahwa ucapanmu cuma omong kosong. Bagaimana ceritanya sekarang? Ini masih proyek sains bagimu?”

“Ceritaku, dan juga yang lainnya, bukan urusan Paman!” ulang Sakura. “Pamanlah yang bersikap bangga ketika Paman pikir Paman telah menangkap basah aku dan dia sebelumnya!”

“Kumohon, jangan bertengkar,” gumamku, tapi pasti terlalu pelan bagi mereka hingga tidak dengar suaraku, karena keduanya tak kunjung berhenti.

“Ya, aku bertanya padamu apa yang kau rencanakan, dan kau bilang yang kau inginkan hanyalah jadi temannya. Sialan. Sekarang kalian melakukannya di mobil pinggir jalan.”

“Kami tidak melakukannya!” Sakura balas menggeram. “Dan sekali pun jika kami melakukannya, itu bukan urusan Paman!”

Sepertinya ada tema tetap untuk semua komentar Sakura.

“Dia keponakanku, dan itu membuatnya jadi urusanku!”

“Umurnya delapan belas tahun, begitu juga aku!” bentak Sakura. “Apa Paman berencana untuk memperlakukannya seperti anak kecil selamanya?”

“Apa-apaan ini?” Paman Kakashi balas menggeram. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan. Kau tidak tahu apa-apa tentang kami, dan kau tidak tahu semua yang telah kami lalui sebagai sebuah keluarga – sial, dia tidak bisa bicara dengan teman-teman, karena tak satu pun dari kalian para keparat mau mengenalnya.”

“Aku tidak tahu sebelumnya!” Sakura balas berteriak. “Paman ingin aku lakukan apa? Minta maaf karena tidak mengenalnya lebih awal? Yang benar saja!”

“Bagaimana kalau minta maaf atas segala omong kosong yang telah kalian lakukan padanya sepanjang hidupnya?” teriak Paman Kakashi. “Bagaimana kalau minta maaf atas mata lebamnya ketika kelas tiga? Bagaimana kalau minta maaf, karena sudah mengeluarkan semua barang dari lokernya dan membuangnya di lantai? Bagaimana dengan semua omong kosong itu, hah?”

“Aku tidak pernah melakukan semua itu!”

“Tapi temanmu yang melakukannya!”

“Aku tidak tahu siapa yang melakukannya!” kata Sakura membela diri. “Dan jika aku tahu, aku akan hentikan mereka!”

“Oh, tentu saja, seperti yang kau lakukan ketika si brengsek Inuzuka itu melecehkannya tempo hari! Kau ingat Inuzuka, bukan? Salah seorang temanmu, benar? Sejujurnya, aku sangat yakin kau pernah berkencan dengannya, benar?”

“Itu bukan urusan—”

“Apa yang sedang kau permainkan, Haruno?” Paman Kakashi menyela. “Karena ini sudah terlampau jauh!”

“Dasar brengs ...”

Aku berbalik perlahan dan berjalan keluar dari ruang keluarga, menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Kulepas bajuku, memakai sarung tangan, dan berdiri di atas matras.

Aku tidak tahan dengar pertengkaran mereka lagi, jadi kulampiaskan perasaanku pada samsak.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang